17. SEBUAH ALASAN

2009 Words
Tenggorokan Weeby rasanya sangat kering, oleh sebab itu ia memutuskan untuk beranjak dari kasur dan hendak pergi ke dapur untuk mengambil segelas air putih. Menuruni tangga dengan langkah kaki lemas, Weeby akhirnya sampai di tempat yang dituju. Mengambil gelas yang masih kosong, kemudian ia beralih menuju dispenser. Tak lama gelas yang sudah kosong tadi sudah penuh oleh air. Sedetik setelah itu, cepat-cepat Weeby menenggaknya hingga tidak tersisa setetes pun. Benar-benar kehausan. Begitu tenggorakannya sudah terasa mendingan, Weeby langsung meletakkan gelas di meja, dan dilanjutkan bergegas menuju kamarnya kembali, ia masih mengantuk. Langlah kaki kecil Weeby mendadak terhenti, ia tecekat dan menelan ludahnya dengan getir, seluruh tatapannya mengarah pada sang ayah yang berjalan ke arah dirinya dengan tatapan yang super tajam. Tiba-tiba saja Weeby merasa napasnya sesak, udara disekitarnya seperti lenyap begitu saja. Tidak hanya itu, ritme dentuman jantung Weeby tampak tak berirama. "Buatin teh panas, gulanya dua sendok setengah," perintah Andika dengan tegas, tanpa ada kelembutan disetiap suku kata yang diucapkannya. Weeby hanya bisa mengangguk kecil, mengiyakan permintaannya lebih baik daripada disuruh meminum obat. Tapi kenyataannya, Weeby masih saja mengonsumsi segala macam obat yang entah untuk apa. Andika kemudian berbalik badan, melenggang dengan santai menuju sofa di ruang tamu. Setelah kepergian sang ayah, napas Weeby spontan berjalan normal kembali, namun ia masih sedikit merasakan shock. Weeby takut jika berada didekat laki-laki paruh baya itu. Secepat kilat Weeby mengambil gelas, mengisinya dengan dua setengah sendok gula, seperti apa yang diperintahkan Andika tadi. Selepas itu, weeby menambahkan sedikit serbuk teh, dan pada detik berikutnya tangan Weeby terulur dan berakhir di sebuah termos. Dengan cekatan weeby menungkan air panas yang meluncur dari termos kecil itu. Teh panas sudah jadi sedemikian rupa, dan itu tandanya Weeby harus segera mengantarkannya ke sofa depan, di mana ayahnya tengah duduk di sana. Sebelum melangkah pergi, Weeby memejamkan matanya sebentar, mentralkan deru napasnya sembari menenangkan jantungnya agar tidak terlalu berdegup dengan kencang. Setelah dirasa cukup, Weeby mulai menjejalkan langkah kakinya, tangan kecilnya ia gunakan untuk memegang secangkir teh khas buatannya. "Weeby mau ke kamar dulu ya yah?" ucap Weeby hati-hati setelah menaruh secangkir teh-nya di atas meja. Andika menurunkan koran, meletakkan di atas meja, dan dilanjutkan menyeruput sedikit teh buatan Weeby. Detik berikutnya Andika mendongak, menatap Weeby dengan raut wajah datar. Ditatap seperti itu membuat Weeby langsung kikuk dan lemas. Lemas karena otot-ototnya seketika tidak bekerja. Sungguh, tatapan Andika sangat mematikan. Weeby tidak bisa berlama-lama seperti ini. "Tunggu dulu," cegah laki-laki yang masih mengenakan pakaian kantornya. Weeby hanya menurut, memasang telinga dengan lebar, mendengar apa yang akan dikatakan oleh sang ayah. Seperti biasa, Andika merogoh saku celananya dan mengeluarkan botol kecil dari sana. Weeby sedikit membulatkan matanya, sekarang bukan hanya satu botol, melainkan ada botol yang lainnya. Bagaimana bisa Weeby tidak kaget saat melihat hal itu. Sampai saat ini pun, Weeby masih belum tahu apa motif dari sang ayah menyuruhnya untuk menelan semua benda kecil itu. "Nanti malam minum, tiga hari harus sudah habis!" Kata Andika bersuara berat, meletakkan botol kecil itu di atas meja. Menelan ludahnya dengan getir, Weeby menatap Andika dengan lesu. "Obat kemarin juga belum habis kok yah," jawab Weeby pada akhirnya, ia sudah tak tahan lagi, hanya cara menyahut ucapannya yang dapat Weeby lakukan. "Nggak mau tahu, pokoknya harus habis dalam tiga hari ini." "Tapi ini dua botol yah, mana bisa Weeby sanggup?" Suara Weeby tampak terdengar pilu, semakin lama ia terisak pelan. Ayahnya sungguh kejam pada dirinya. "Nggak ada bantahan, kamu mau jadi anak nggak nurut sama orang tua ha?!" Kesabaran Andika sedikit tersulut, ia emosi seketika. Apalagi melihat Weeby yang menangis membuatnya semakin geram. "Udah sana pergi ke kamar!" bentak Andika dengan suara sarkas, tangannya melayang di udara, menunjuk kamar Weeby yang berada di lantai atas. "Kenapa ayah jahat banget sama Weeby, kenapa Weeby selalu di suruh minum obat, kenapa harus Weeby yah?!" Entah dapat keberanian dari mana Weeby tidak takut berbicara seperti itu pada Andika, ia masih mengeluarkan air mata, menatap Andika dengan wajah yang diselimuti oleh tangisan. "Karena kamu udah bikin istri baru ayah meninggal!" Hati Weeby mendadak sakit, dia shock bukan main mendengar penuturan ayahnya itu. Tangis Weeby semakin pecah. Ucapan Andika sungguh menohok hatinya. Sekarang Weeby sudah tahu kenapa ayahnya menyuruhnya untuk meminum obat. Hal itu dilakukan laki-laki paruh baya itu adalah semena-mena untuk membalas dendam kematian Raisa, istri barunya sekaligus ibu tiri Weeby. "Kenapa dulu saat mama meninggal ayah nggak kayak gini? Kenapa baru kali ini ayah benci sama Weeby saat istri baru ayah meninggal?!" Weeby menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, menangis sejadi-jadinya. Derita yang dialaminya ini sungguh berat. Weeby tidak habis pikir kenapa sang ayah balas dendam kepada dirinya, kenapa laki-laki itu melampiaskan kekesalannya pada dirinya. Jika sebelumnya Andika berkata bahwa Weeby penyebab Raisa meninggal, itu adalah ketidakbenaran. "Cukup! Sekarang kamu pergi ke kamar!" Andika geram bukan main, raganya sudah mengeras, mulutnya sudah menggerutu, menatap Weeby dengan ekspresi garang. Tak mau menurut, Weeby masih diam di tempat. Kini ia membalas tatapan ayahnya, detik berikutnya Weeby kembali menyahut, "kenapa ayah harus kayak gini sama Weeby, apa ayah nggak sayang sama Weeby lagi?" "Karena kamu sudah buat Raisa meninggal, ayah nggak sayang sama kamu lagi semenjak kejadian itu!" ujar laki-laki paruh baya itu dengan tegas. Untuk sekian kalinya air mata Weeby turun tanpa henti, keluar dari pelupuk matanya yang sembam, meluncur begitu mulus sampai-sampai membentuk genangan yang cukup besar dikedua pipinya. Weeby akhirnya memilih menjauh, menjejalkan kakinya dari hadapan Andika, dan ia langsung berlari menuju kamarnya. Ketika Weeby mendengar perkataan ayahnya bahwa ayahnya tidak sayang lagi kepada dirinya membuat Weeby sakit hati, dadanya seketika sesak. Kenapa Laki-laki itu begitu kejam kepadanya? Kalau ujung-ujungnya seperti ini, Weeby lebih memilih tidak diselamatkan oleh Raisa pada waktu itu dari mobil yang akan menabraknya. Ya, itu lebih baik dari pada merasakan sakit setiap hari. Saat kejadian itu, Andika sudah memupuk rasa benci dan berniat membalas dendam pada anaknya, Weeby. Bahwa, semua ini bersumber dari Weeby yang menyebabkan Raisa, istri keduanya meninggal. Mengunci pintu rapat-rapat, Weeby semakin larut dalam tangisan. Mendadak ia menjadi lemas, kakinya sudah tidak menahan kuasa dan pada akhirnya ia jatuh ke lantai. Keesokan harinya, mata Weeby masih terlihat sembam karena tadi malam ia tidak tidur, asik menangis lantaran dirinya sudah tahu kenapa ayahnya menyuruhnya terus menerus meminum obat. Dan tentu saja Weeby sakit mendengarnya. Langkah kaki kecil Weeby spontan langsung terhenti di depan pintu kelasnya, menetralisir degup jantungnya dan tidak lama kemudian ia membuang napasnya secara perlahan. Masih pagi seperti ini, ekor mata Weeby langsung disuguhkan oleh pandangan tak mengenakan. Refleks Weeby memutar malas kedua bola matanya saat menangkap Marcell yang sedang menyuapi roti kepada Resti. Binar wajah bahagia menyelimuti setiap sudut wajah mereka berdua, lain dengan Weeby yang masih saja murung dan terlihat sangat lesu. Mengambil duduknya dengan perlahan, lalu Weeby meletakkan tas punggungnya di atas meja. "By, kenapa wajah lo kusut gitu, lo habis nangis?" tanya Uti, ia menatap Weeby dengan lekat, sedikit mendekatkan wajahnya ke arah muka Weeby. Weeby hanya menggeleng kecil, ia tengah berbohong. Tidak mau berkata yang sejujurnya. Tatapannya masih terfokus pada meja dihadapannya. Pikirannya masih saja kacau dan Weeby tidak mau diganggu. Namun, Weeby tidak enak hati bilang seperti itu kepada Uti, ia tidak mau teman bangkunya itu sakit hati saat mendengarnya. Lebih baik Weeby diam saja. "Lo sakit hati, ya?" goda Uti dengan cengiran khasnya, ia lalu menowel pipi Weeby dengan gerakan cepat. "Nggak, Ti. Gue baik-baik aja kok." Weeby membalasnya dengan ucapan lemah, lalu ia kembali pada lamunannya. "Ah nggak percaya gue, pasti elo sakit hati karena Marcell sama Resti udah jadian, kan?" Weeby langsung membentuk matanya dengan bulatan lebar yang hampir menyerupai bola, mendongak cepat, menatap Uti dengan raut wajah penuh dengan banyak pertanyaan. Uti hanya bisa mengerutkan keningnya ketika melihat ekspresi Weeby yang terlihat aneh itu. "Lo kenapa By? Kok kelihatannya terkejut gitu, apa jangan-jangan lo udah ketinggalan gosip yang lagi heboh banget?" Tidak menggubris ucapan Uti, Weeby malah asik bergelut dengan pikirannya. Ucapan Uti barusan sungguh menyentil hatinya. "By, kenapa lo malah bengong sih?!" Uti sudah kesal, menyenggol tangan Weeby dengan sikutnya. Seketika Weeby langsung menatap Uti kembali dengan raut wajah datar. "Sejak kapan mereka berdua pacaran?" Weeby menatap Uti dengan lekat. "Entahlah, tapi gue baru denger gosip itu dari tadi pagi sih." Weeby kembali dibuat berpikir, ia jadi teringat saat dirinya melihat Marcell yang menyuapi Resti dengan roti beberapa saat yang lalu. Mendadak Weeby merasa gelisah, seperti tidak rela jika hal itu terjadi. Weeby kembali menoleh ke belakang, ketika tatapannya sudah terpaku menatap Marcell, Weeby hanya bisa mendesah, membuang napasnya frustrasi. "Kenapa mereka pacaran sih?!" Weeby spontan sewot, melipat kedua tangannya didepan dadanya. "Lo marah By? elo cemburu lihat mereka?" ledek Uti, ia kembali menyikut lengan Weeby. "Siapa yang cemburu sih?!" ucap Weeby dengan tegas, giginya sudah bergemelutuk, menahan amarahnya. "Nggak usah emosi gitu, lagian kalo nggak cemburu ngapain lo malah teriak-teriak? Aneh banget lo," cibir Uti, menatap Weeby yang masih cemberut, berulang kali Uti memperhatikan Weeby yang selalu menoleh ke arah bangku Marcell. Mendesah ringan, Uti hanya menggelengkan kepalanya. Weeby masih diam, memikirkan perihal Marcell yang jadian dengan Resti. Pikirannya sangat kacau. Seketika wajah Weeby langsung serius, mengangkat tubuhnya dari sandaran kursi, dan membulatkan matanya dengan lebar. Sekali lagi, Weeby menoleh ke belakang, kali ini tidak sampai dua detik ia kembali ke posisi semula, entah kenapa degup jantung Weeby kian memburu saat menyadari satu hal. Satu hal yang membuatnya berpikir keras dan Marcell tidak boleh berpacaran dengan Resti. Resti cewek yang sudah tidak perawan lagi, terlebih ia tengah hamil. Weeby tidak mau Marcell terjebak dalam lingkup kehidupan Resti. Marcell tidak boleh mengaku bahwa bayi yang berada di dalam kandungan Resti adalah miliknya. Weeby harus bertindak lebih lanjut, sebelum semuanya terlambat. Weeby tidak mau Marcell bertanggung jawab atas kehamilan Resti, cowok itu tidak salah apa-apa. Segala kemungkinan-kemungkinan besar kini menyerang pikiran Weeby dengan bertubi-tubi. Sekarang Weeby hanya bisa menyusun rencana supaya Marcell putus dengan Resti. Apapun itu akan ia lakukan. "Weeby, kenapa lo ngelamun mulu sih, udah gue panggilan dari tadi juga," sungut Uti dengan sebal, ia mengerucutkan bibirnya ke depan. "Eh?" Weeby langsung sadar dari lamunannya, menatap Uti dengan mata melotot. Ish, Uti mengganggu saja kerjaannya, tidak tahu bahwa Weeby sedang berpikir keras. Tertawa dengan nyaring, Marcell menggelitik perut Resti dengan gemas, berulang kali Resti memberontak, menghindar dari serangan gelitik Marcell yang membabi buta. "Marcell, udah. Gue geli tau," kata Resti manja, masih berusaha melepaskan tangan Marcell yang semakin nakal. "Nggak mau, gue seneng," balas Marcell, tangannya semakin lincah diperut Resti. Entah sejak kapan mereka berdua kini menjadi pusat perhatian di kelas, bahkan Marcell dan Resti tidak merasa terganggu. Mereka asik tertawa dengan keras bak dunia hanya milik dua sepasang kekasih itu. Dari bangkunya, Weeby hanya bisa mencibir, menatap tidak suka dengan Marcell yang begitu asik dengan Resti. Lain dengan ketika cowok itu bersama dirinya, sudah pasti Marcell akan berubah menjadi makhluk buas yang menyebalkan. "Tuh kan, cocok banget mereka, gue kok ngiri ya?" Uti memekik histeris, memilin bibir tipisnya sembari berjingkrak heboh dengan sorot mata yang masih lekat mengarah ke arah Resti dan Marcell. "Mereka nggak cocok, sekali lagi lo ngomong gitu, gue bakal jahit bibir lo Ti," sarkas Weeby menatap Uti dengan tajam, menghunus tepat dimanik mata Uti. Uti malah menyipitkan matanya, ia yakin seratus persen bahwa Weeby tengah cemburu kepada Marcell. "Ah, tinggal bilang cemburu apa susahnya sih, heran gue sama lo By." Uti melipat kedua tangannya, sedetik setelah itu lantas ia menggelengkan kepalanya dengan gerakan cepat. Weeby sangat menyesali karena Marcell yang begitu mudahnya terperangkap dalam pesona kecantikan Resti. Weeby mau mengakui bahwa memang Resti tak kalah cantik dari artis papan atas yang sering wara-wiri di televisi. Resti tengah hamil dan itu semua akibat ulah Gama, kekasihnya dulu dan kini sudah berstatus menjadi mantan pacar Resti. Weeby akan memastikan supaya Resti tidak menuduh dan menyuruh Marcell untuk bertanggung jawab atas kehamilannya. Ya, Weeby akan mencoba sampai berhasil, ia tidak boleh menyerah begitu saja. Walaupun terkadang Marcell sangat menyebalkan, Weeby masih tidak tega bila semua itu menimpa cowok itu. Weeby memilih bangkit dari duduknya, menoleh pada Uti dan pamit hendak pergi ke taman belakang, ia mau menenangkan hati dan pikirannya. Setelah Uti mengangguk setuju, Weeby bergegas pergi, menjejalkan langkah kakinya panjang-panjang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD