21. KECELAKAAN RINGAN

2144 Words
Guratan kening Weeby makin terbentuk, sementara itu, Marcell sudah tampak kelelahan. Rasa-rasanya waktu bergulir begitu lambat. Untungnya, nasib baik masih mau berpihak pada mereka, anjing hitam milik penjaga kebun itu sudah tidak lagi mengejarnya. Marcell semakin melambat mendorong gerobak, seperkian detik selanjutnya akhirnya ia berhenti sejenak. Ingin metralkan napasnya agar berjalan lagi dengan normal. Sedangkan Weeby memejamkan matanya, sekarang ia sudah bernapas dengan lega. "Mau ke kantin nggak?" tanya Weeby, melihat Marcell yang kelelahan seperti itu membuat jiwa kepeduliannya tersentak, apalagi Marcell yang masih saja menetralisasi napasnya. Cukup sebagai bukti kalau cowok itu sedang kekurangan air. "Nggak usah, malah ngulur waktu aja." Weeby mengangguk setuju, mengiyakan perkataan Marcell. Setelah tiga menit mengatur napas, Marcell mulai mendorong Bumblebee lagi, namun perkataan Weeby selanjutnya membuat Marcell mengurungkan niatnya untuk mulai mendorong. "Gue turun aja, elo kayaknya lelah tuh." Marcell tersenyum kikuk, lalu kembali berkata, "enggak usah," jawabnya kilas. Sebelum Weeby membantah lagi, Marcell sudah mendorong gerobak. Weeby mendesah singkat, mengikuti perintah Marcell. Satu ide kemudian muncul begitu saja diotak Marcell, setiap menyangkut Weeby, pikirannya selalu terhubung dengan keusilan. Marcell lantas tersenyum miring, lalu berdehem singkat. "Marcell, anjing tadi ngejar lagi nggak?" tanya Weeby, suaranya parau, tidak berani menatap ke arah belakang, sekarang ia terlalu takut apabila ada anjing tadi yang mengejarnya, lagi. Gerobak yang kini ditumpanginya semakin lama semakin cepat, kaki Weeby rasanya melemas, ia takut bukan main. Marcell juga tak kunjung merespons ucapannya, membuat kadar ketakutan Weeby kian bertambah. "Marcell, kenapa lo dorong gerobaknya kenceng banget, apa bener anjing tadi ngejar lagi?" Pertanyaan itu meluncur lagi, bahkan serupa dengan pertanyaan Weeby sebelumnya. Masih sama, Marcell memilih mengunci mulutnya, berusaha menahan tawa karena Weeby sudah terlihat sangat ketakutan. Marcell juga melihat punggung Weeby yang mulai bergetar. Semakin waktu berjalan, semakin cepat pula putaran roda gerobak kuning itu. Di atas sana, Weeby menahan napas, hal itu dilakukan karena ia terlalu takut pada situasi ini. "Marcell awas ada batu!" Weeby berteriak keras, matanya sudah membola lantaran sorot matanya melihat batu besar di depan yang berjarak tiga meter dari sini. Marcell langsung tercekat, ia tidak melihat apa yang Weeby lihat, punggung Weeby menjadi salah satu alasannya, memang Marcell tidak melihat jalanan di depan sana. Marcell berusaha mengerem dengan memelankan langkah kakinya, namun gerobak ini malah terus melaju, menyeret Marcell sampai terhuyung ke depan. Weeby berteriak histeris, menutup matanya begitu rapat, sama sekali tidak ada keberanian untuk melihat situasi di depan sana saat jarak gerobak yang kini ditumpangi sudah menyisahkan satu meter dari batu besar itu. Seperkian detik selanjutnya, Weeby terjatuh ke jalanan saat gerobak itu menubruk dengan kerasnya, sementara itu, Marcell langsung terkejut melihat Weeby yang tersungkur begitu saja akibat ulahnya. Sikap usil Marcell sudah berujung kecelakaan kecil seperti itu, niatnya untuk membuat Weeby takut malah terjadi seperti ini. Merasa kasihan dan bersalah pada Weeby, secepat kilat Marcell langsung menghampiri cewek itu. Berjongkok dihadapan Weeby, sembari memegang tangan cewek itu untuk membantu bangkit dari sungkurannya. "Weeby, lo nggak pa-pa?" tanya Marcell khawatir, Weeby tidak menghiraukan, ia hanya meringis menahan perih. Dan rupanya, lutut Weeby terluka, mengeluarkan darah segar dari sana. Semakin lama dibiarkan, Weeby semakin pula meracau kesakitan. Untuk sekadar bangkit dari duduknya saja rasanya sangat lemas. "Ayo By, kita ke UKS sekarang, lo terluka, lutut lo berdarah." Marcell sudah bersiap untuk menggendong Weeby pergi ke UKS, namun ucapan seseorang yang masuk ke indera pendengarannya membuat Marcell mengurungkan niatnya itu. Menoleh ke belakang, Marcell langsung terkejut, Resti sudah berjalan ke arahnya. "Jangan tolongin dia, biar sendiri aja. Tuhan nyiptain kaki buat jalan." Resti berucap datar sambil terus melangkah maju, Weeby tidak mau membalas ucapan Resti. Yang sekarang dipikirkan adalah menahan perih di lututnya ini. "Resti, jangan ngomong gitu, lo nggak lihat Weeby lututnya berdarah gitu?" "Pokoknya nggak boleh, lo pacar gue dan lo harus nurut, ayo pergi ke kelas sekarang juga." Resti menggertakan giginya, Marcell menjadi bingung sekarang, ia sebenarnya sangat iba pada Weeby yang kondisinya tidak meyakinkan itu, sementara disisi lain Marcell tidak mau Resti marah kepada dirinya. "Gue bakal ke kelas, tapi sebelum itu gue mau bawa Weeby ke UKS dulu, kasihan dia," balas Marcell, menatap teduh ke arah Resti, berupaya agar Resti luluh dan mengangguk setuju. "Nggak bisa, buruan ayo!" Resti semakin mendesak Marcell, sementara Marcell menatap kasihan pada Weeby. Bagaimanapun juga ini kesalahan dirinya. Resti tidak mau menyerah, kali ini ia mendorong Marcell agar lekas pergi dari hadapan Weeby. Kepergian Marcell dan Resti tidak menjadi masalah bagi Weeby, yang kali ini menjadi pusat perhatiannya adalah luka dilututnya. Dan Marcell lebih memilih mengikuti permintaan Resti meskipun dengan hati yang tidak enak dengan Weeby. Marcell menatap Weeby menyesal, sementara Resti semakin mendesaknya untuk pergi. Tak lama setelah itu, Erza tiba-tiba datang mendekat ke arah Weeby. Cowok itu melihat lutut Weeby yang berdarah. Erza segera membawa Weeby ke UKS dan mengobati lutut cewek itu. "Masih sakit nggak?" Weeby mengangguk lemas, memandangi luka itu sekali lagi, kemudian mendongak, menatap cowok dihadapannya ini dalam diam. Biasanya cowok itu akan terus mengganggunya. "Kenapa lo sampai jatuh segala sih? Ada gerobak sampah segala lagi di situ." "Lo nggak denger pas di kelas? Pak Subroto kan nyuruh gue sama Marcell buat mungut sampah di setiap kelas." Erza hanya mengiyakan dengan anggukan kepala singkat, yang kini ada di kepalanya adalah kenapa Marcell menghilang di saat Weeby seperti ini. Bukannya informasi yang ia dapat dari Weeby barusan adalah Marcell bersama dengan cewek itu bertugas untuk membuang sampah? "Terus, kenapa tuh bocah tengik, udah salah, malah kabur pula." Erza menggerutu, lalu memandangi Weeby dengan pancaran wajah yang lekat. "Pergi sama Resti." Ya, hanya kata itu yang dapat Weeby sampaikan untuk sekarang ini, ia memang berkata jujur. Tapi mengingat kejadian tadi, Weeby merasakan hatinya sakit, sakit saat Marcell malah pergi menuruti kemauan Resti padahal sudah jelas jika cowok itu telah melakukan kesalahan. "Ya udah, lo mau balik ke kelas nggak?" Erza sudah menggeser kursi ke belakang, lalu ia beranjak dari sana, dan menatap Weeby untuk menerima jawaban. "Iya, gue mau ke kelas, nggak betah gue lama-lama di sini, lagian kalo lo pergi gue nggak ada temen bicara tuh," balas Weeby singkat, mulai menggeser bokongnya ke tepi brankar. "Gue bakal panggil Uti ke sini kalo lo mau." "Nggak usah, gue mau ikut lo balik ke kelas aja." Weeby mulai menurunkan kakinya dari atas kasur UKS, lalu nyeri dilututnya sedikit mulai mereda, lantas ekspresi Weeby berubah menjadi menahan sakit. Erza langsung tercekat, bergerak menghampiri Weeby, dan mulai membantu cewek itu untuk berjalan. Erza tahu, Weeby masih belum bisa berjalan dengan baik, luka itu cukup besar dan Weeby seharusnya tidak boleh banyak bergerak. "Sebaiknya lo di sini aja By, lo nggak boleh banyak gerak supaya kaki lo cepet sembuh, nanti gue bakal panggil Uti atau Netta dan Kenya supaya ke sini nemenin elo, mau ya?" Setelah dipikir sebanyak dua kali, Weeby akhirnya menyetujui usulan dari Erza untuk tetap di dalam UKS, tiduran di atas brankar sembari menatap langit-langit UKS yang bercat berwarna putih. Hening, hanya Weeby satu-satunya makhluk bernyawa di tempat ini, sampai gerakan napas yang keluar masuk lewat lubang hidungnya terdengar oleh Weeby sendiri. Lalu Erza yang sudah tiba di kelas tiba-tiba langsung melangkah menuju sohibnya. "Marcell!" Pandangan Marcell seketika langsung beralih dari Resti, dan sekarang seluruh tatapannya terekspose untuk Erza yang sedang berjalan ke arahnya. Langkah cowok itu terlihat sangat tergesa. "Apa?" Erza yang berdiri didekatnya membuat Marcell harus mendongak, meneliti wajah Erza yang terlihat sangat aneh, bisa dibilang jika cowok itu tengah marah kepada dirinya. "Weeby sekarang di mana?" tanya Erza, mencoba memancing Marcell, ia ingin mendengar jawaban apa yang akan Marcell lontarkan. Tidak langsung menyahut, Marcell memilih memalingkan muka, mencoba memutar otaknya untuk menjawab. Seperkian detik berlalu, Marcell kemudian kembali menatap Erza yang sudah menaikkan salah satu alisnya ke atas. "Di UKS mungkin." "Gue butuh jawaban yang meyakinkan, bukan berdasar dari mungkin," balas Erza, sorot matanya tajam, ia marah kepada Marcell yang meninggalkan Weeby begitu saja. Jika keadaan Weeby baik-baik saja, Erza tak keberatan jika Marcell pergi, namun sekarang Weeby sedang terluka dan tidak bisa berjalan. "Nggak bisa jawab kan elo?" Erza berdecih, lalu memutar bola mata dengan malas. Ditatapnya Marcell dengan senyuman miring. Mendapati Marcell yang masih diam, menundukkan kepalanya dalam-dalam membuat Erza terpancing untuk menyahut ucapan lagi. "Gue mau lo temuin Weeby di UKS, lalu minta maaf sama dia. Setelah itu, elo bantu Weeby tuntun kembali ke kelas, dia masih belum bisa jalan." Marcell hanya mengganguk kepalanya dengan singkat, lalu lekas keluar dari dalam kelas dan bergegas pergi ke tempat di mana Weeby sedang di sana. Marcell juga tidak tega, hanya keadaan yang tidak memungkinkan untuk menolong cewek itu karena Resti. Ketika sudah sampai di sana, napasnya sudah memburu karena ia berlari, spontan Marcell membuka pintu UKS yang sedikit tertutup sampai gerakan itu berbunyi dengan keras. Weeby terkejut, mengangkat tubuhnya, lalu melihat ke arah ambang pintu yang memperlihatkan Marcell yang berdiri dengan kokoh di sana. Kontak mata kemudian terjalin diantara kedua remaja tersebut. "Marcell, lo ngapain di sini? Bukannya Erza mau manggil Uti? Terus, kenapa lo yang datang sih?" Weeby bersungut sebal, menyilangkan tangannya didepan dadanya, lalu dilanjutkan memutar malas kedua bola matanya. Marcell tidak kunjung menjawab, ia melangkah maju mendekat ke Weeby, sementara itu, Weeby tercengang dan kemudian diam. "Gue anterin lo balik ke kelas, ayo!" Marcell berseru, ia langsung memegang lengan Weeby untuk membantu cewek itu untuk turun dari brankar, namun Weeby malah menepis kuat tangan Marcell. Tercekat dengan heboh, sorot mata Marcell kini menyapu wajah cantik Weeby, masih setengah tidak percaya Weeby melakukan hal seperti itu kepada dirinya. Marcell lalu menghela napasnya dengan panjang. "Gue enggak mau, lagian udah terlambat. Ke mana aja lo saat gue jatuh di lapangan tadi? Pergi sama pacar lo? Sementara gue sendiri menahan sakit akibat ulah lo itu. Lo benar-benar tidak tahu diri tau nggak?!" Emosi Weeby kini sudah memuncak, lalu menyembur begitu cepat, Marcell yang sudah tahu bahwa dirinya salah hanya diam, pasrah begitu saja, sama sekali tidak menyela dan memberontak. Memang inilah kenyataannya, Marcell yang bersalah dalam insiden ini. "Iya, gue minta maaf kalo gitu, ayo gue bantuin lo pergi ke kelas." Hanya itu, kata yang Marcell keluarkan. Tersentak dan terkejut, Weeby seakan tidak percaya Marcell tengah meminta maaf pada dirinya. Seorang Marcell melakukan hal seperti itu rasanya sangat mustahil. Apakah dunia ini akan kiamat? Weeby jadi curiga kalau Marcell sedang kemasukan arwah gentayangan. "Gue bisa jalan sendiri, gue nggak mau kejadian seperti tadi keulang lagi." Ya memang, Weeby takut Marcell akan meninggalkan dirinya lagi jika tiba-tiba saja Resti datang dan menyeret Marcell begitu saja. Weeby tidak mau, membayangkan saja rasanya sungguh sakit. "Nggak bakal, gue janji nggak akan ngulangi lagi kesalahan yang sama." Marcell berkata begitu meyakinkan, seolah apa yang akan dilakukan sepenuhnya membuat Weeby mengangkat sudut bibirnya. Mengangguk setuju, itulah yang keputusan Weeby ambil. Sebenarnya bukan alasan kenapa ia melakukan hal itu, hanya saja, Weeby tidak mau terus menerus merenung di dalam UKS seorang diri. Hal itu membuat dirinya merasa bosan. Weeby meringis lagi, kakinya terasa sangat nyut-nyutan saat dirinya dibantu oleh Marcell turun dari ranjang UKS. Mencoba bertahan dan menahan rasa sakit yang menyelubungi, Weeby terus bertumpu pada Marcell, berjalan tertatih. Satu tangannya ia rangkulan dipundak marcell. Marcell menuntut Weeby dengan gerakan perlahan, kakinya terus menyusuri koridor begitu lamban, takut jika rasa sakit yang kini Weeby rasakan semakin besar. "By, Lo kenapa?" Marcell memperlambat jalan kakinya, menoleh ke samping dan mendapati Weeby yang memegang keningnya, raut wajahnya kini terlihat sangat pucat. "Marcell, gue pusing banget," ucap Weeby lirih, sekarang ia benar-benar tidak melanjutkan jalan kakinya, berdiri di tempat, masih bertumbuh pada badan Marcell yang kokoh. "By, lo pucet banget." Tidak menyahut, Weeby semakin merasakan pusing yang mendalam, lalu ia memejamkan matanya, berharap agar rasa sakit dikepalanya itu kunjung menghilang. Namun apa daya, Weeby sudah tidak kuat menopang tubuhnya, tulang kakinya seakan patah, tidak bisa berjalan. Detik kian berlanjut, Weeby sekarang tidak sadarkan diri, kepalanya bersandar pada pundak Marcell. Merasa aneh, Marcell segera menoleh, lalu ia terkejut, membulatkan matanya begitu lebar. Marcell segera menangkup wajah Weeby, sekadar untuk melihat wajah cewek itu, Marcell kemudian menepuk pipi Weeby, berniat agar Weeby merasakan tepukan tangannya dan segera bangun, alih-alih melakukan hal itu, Weeby malah masih berdiam diri, wajah tirusnya semakin pucat. "By, kenapa lo pakek pingsan segala?" ucap Marcell keras, dan tentu saja Weeby tidak mendengarnya. Rupanya, efek obat itu sangatlah kuat, Weeby akhir-akhir ini bahkan sering pingsan tak kenal waktu, fisiknya yang lemah seringkali membuat Weeby frustrasi. Bagaimanapun, hari ini Weeby sudah mengonsumsi obat lebih banyak dari biasanya. Paksaan itu, paksaan dari Andika yang membuat Weeby limbung dan seperti ini jadinya. Marcell masih mencoba membangunkan Weeby dari tidurnya, masih menepuk-nepuk pipi cewek itu. Detik kian berlalu, Marcell sudah mulai lelah, apalagi tubuh Weeby sudah menopang pada dirinya. Hanya ini jalan satu-satunya yang dapat Marcell ambil, yakni pergi ke tempat semula, yaitu UKS. Marcell mencoba mengambil langkah lagi, dan kali ini tentu saja lebih susah. Merasa tidak nyaman, Marcell segera memindahkan Weeby ke posisi lebih nyaman. Dengan cekatan, Marcell langsung membopong Weeby ala bridal style. Ya, posisi seperti ini juga memudahkan Marcell untuk berjalan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD