Ayah,
Usiaku dua puluh enam tahun.
Aku sudah melewatinya dan aku menang.
Istrimu tercinta, Ibuku yang pemaksa, Nyonya Naraya, dia kalah.
Dia gagal menemukan jodoh untukku.
Apa kubilang...
Cinta sejati itu tidak berlaku untukku, Ayah.
***
Pondok Energi. September 2012.
Latifa Bakrie menutup bukunya. Ia memandang ke luar jendela yang menghadap sebatang pohon beringin dengan akar rambat menjuntai. Di bawah pohon itu ada satu ayunan dari besi, tempat Ifa biasanya memulihkan energinya. Satu ruangan dengan satu kamar mandi, Ifa menyebutnya Pondok Energi. Pondok ini didirikan ayahnya ketika usia Ifa sepuluh tahun, setelah rasa kepercayaan antar saudari lenyap dari hatinya. Ifa suka sendiri. Ia berteman dengan udara, pulpen dan bukunya.
Usianya dua puluh enam tahun. Jelas Ifa kini resmi menjadi perawan tua seperti prediksinya beberapa tahun silam. Ifa berusaha mengingat bahwa kecantikan hanya sebatas kulit, tapi itu tak membantu. Parasnya selalu diandalkan Nyonya Naraya untuk menjebak para pria. Cantik parasnya tak berarti lagi jika ia tak pernah tahu harus berkata apa kepada orang lain. Ifa sangat berkarakter. Cantik, pendiam dan tertutup. Sebagian pria yang dijodohkan oleh ibunya malah memberitahu kalau Ifa bisu. Jauh dalam lubuk hatinya, Ifa tahu wanita seperti apa dirinya yang sebenarnya. Wanita yang berani mengatakan apa pun, tapi entah bagaimana karakternya selalu hilang diantara hati dan mulut. Dan ia mendapati dirinya mengutarakan hal yang salah atau lebih sering lagi tidak mengatakan apa-apa sama sekali.
Nyonya Naraya juga memperparah keadaan. Beliau tidak pernah mengizinkan putri-putrinya mengenakan pakaian pilihan mereka. Aya, Ayu dan Ifa selalu memakai pakaian berwarna kuning, merah dan jingga dalam setiap pertemuan mereka dengan pria yang dijodohkan. Dan selalu, Ifa yang paling tidak cocok mengenakan warna-warna itu. Ia tak pernah menunjukkan protesnya. Nyonya Naraya berkeras warna kuning adalah simbol keceriaan. Gadis yang ceria akan selalu berhasil menjerat calon suami katanya. Ifa cukup mempercayai itu setelah Aya dan Ayu benar-benar menjerat jodoh mereka tepat ketika memakai pakaian berwarna kuning. Kebetulan kedua saudari Ifa tersebut memiliki keceriaan dalam diri mereka, ditambah pula efek serius dari warna kuning yang juga ceria. Mereka lebih cerah daripada matahari saat memikat pria-pria baik itu. Dan Nyonya Naraya mengatakan warna hijau itu melankolis. Warna hijau yang diwakili surga, rumput, pohon dan kesejukan itu dianggap terlalu melankolis oleh ibunya. Warna itu kesayangan Ifa, dan kulitnya lebih cerah terlihat saat memakai pakaian berwarna hijau. Tapi Ifa tak menunjukkan protesnya karena sejak saat itu Ifa memutuskan bahwa ia lebih baik tidak berusaha memahami jalan pikiran ibunya. Ia akan menghemat energi jika menuruti saja kemauan ibunya tanpa satu patah kata pun. Syukurlah Aya dan Ayu menemukan tambatan hati mereka setelah berusia 22 tahun. Dan di sinilah Ifa, terjebak bersama ibunya. Selamanya.
Hidup sebagai perawan tua adalah istilah yang dimaksudkan untuk membangkitkan perasan panik dan mengasihani. Namun Ifa menemukan banyak keuntungan dari dirinya yang tak menikah. Pertama, ia tak harus berhadapan dengan pria lagi. Kedua, rasanya pria-pria berusia prima lebih menyukai yang lebih muda dari usianya, dan Ibu Ifa tak ingin punya menantu yang lebih tua dua tahun dari putrinya. Yang ketiga, Ifa bisa makan tanpa bahasan jodoh. Yang keempat, Ifa bebas memilih pakaian yang ia inginkan. Sudah, terlalu banyak hal sempurna yang bisa ia raih hanya ketika menjadi perawan tua.
Ifa tersenyum, setidaknya ia merasa hangat di dalam hatinya. Energinya telah pulih dan sebelum sore berubah menjadi malam, Ifa sudah harus kembali ke rumah utama. Dari pintu pondoknya, Ifa memandangi rumah keluarga mereka. Rumah megah dengan belasan kamar kosong tak ditempati. Kadang Ifa pikir rumah itu lebih baik dijadikan hotel daripada kediaman pribadi. Namun mengingat beberapa pelayan hidup di dalamnya membuat Ifa tak tega meneruskan ide itu untuk disampaikan pada ibunya, lalu Ifa pun tak lagi memikirkan ide itu karena ia tak berani berkata-kata dengan Nyonya Naraya.
Sekitar seratus meter Ifa berjalan dari pondoknya ke rumah utama, ia terkejut saat suara pekikan anak kecil terdengar, kemudian ia bisa menebaknya. Aya dan Ayu pasti datang berkunjung, membawa keponakan Ifa yang sedang berusia kanak-kanak.
“Bibi Ifa!” seru Alan. Putra tertua Aya yang berusia enam tahun. Pria kecil itu mendatangi Ifa sambil berlari merentangkan tangannya. Dalam pelukan Ifa dia berbisik, “Ayah tidak ikut.”
Ifa paham maksudnya. Erlan, suami Aya tak senang datang berkunjung. Iparnya itu mungkin tidak akan pernah datang suka rela selama Nyonya Naraya terus menanyakan kapan Edwina, putri mereka yang berusia tiga tahun akan mulai memanggilnya nenek atau mengatakan sesuatu, apa saja. Edwina cantik seperti Aya, matanya menampilkan kecerdasan, tetapi dia memang mengalami keterlambatan berbicara.
“Bibi rambutmu kusut. Tidakkah kau membutuhkan mandi?”
“Aku bisa bersisir,” jawab Ifa tak menyukai para pelayan harus menyiapkan air mandinya lagi.
“Bagaimanapun juga, Bibi lebih cantik daripada Ibuku. Kuharap Bibi akan menikah nantinya.”
Harapan yang sudah pupus dari benak Nyonya Naraya, kenapa harapan itu berpindah kepada cucunya, Alan?
Aya menarik Alan dari pelukan Ifa. “Jangan ganggu Bibimu!”
“Aku tidak mengganggunya, aku menyapa.”
“Dia menyapaku,” Ifa membela. “Mana Edwina?”
“Bersama neneknya.”
Ifa meringis sendiri. Ia tak paham kenapa Aya rela meninggalkan anak kecil manis itu dalam pengaruh Nyonya Naraya. Masa kecil suram mereka tak perlu dirasakan oleh cucunya juga.
“Keuangan kami sulit. Erlan pikir Ibu mau sedikit membantu.”
“Investasinya?” tanya Ifa selagi mereka kembali ke rumah utama.
“Gagal. Sepertinya Erlan tak sadar kalau dia tidak cocok berinvestasi.” Aya menghela napas, “Apa Ayu berkunjung?”
“Aku baru dari Pondok.”
“Bibi Ayu ada di kamarnya. Kate menangis terus,” jawab Alan. Kate, putri Ayu.
Aya menekankan tangan di pinggulnya, “Apa yang kaulakukan, mata-mata kecil?”
Alan santai menanggapi ibunya. Ia bergidik singkat. “Menilik situasi. Tak ada yang menarik.”
Aya tersenyum mengacak rambut Alan, “Setidaknya putraku anak yang cerdas.”
Putrimu juga cerdas, batin Ifa membela Edwina. Ifa membiarkan momen mereka jadi pribadi. Ia melangkah masuk rumah dan menuju ke kamarnya. Ia menemukan Nyonya Naraya berdiri di depan pintu kamar, tanpa Edwina di sisinya.
Seperti mendengar langkah kaki Ifa, Nyonya Naraya berbalik dan senyumannya mengembang sempurna. “Oh, di situ kau ternyata.”
Ifa hanya merespon seperlunya dengan bertanya, “Ada apa, Ibu?”
“Jodohmu! Akhirnya!” Nyonya Naraya tampak terlalu senang dengan kabar yang dibawanya. Dia mendekati Ifa lalu secara tak terduga memeluk Ifa. “Kali ini aku akan mengizinkanmu memilih pakaianmu sendiri, sekalipun warnanya hijau.”
Ifa jadi bertanya-tanya, apa yang berbeda dari calon jodohnya kali ini sehingga Nyonya Naraya yang anti kasih sayang bersedia memeluknya.
“Dia akan datang besok.”
Ifa hanya mengangguk. Tak masalah siapa yang datang, dan kapan dia akan datang. Yang bisa Ifa pastikan hanya satu, dia akan pulang tanpa kabar menyenangkan.
“Kali ini kau harus mendapatkannya,” kata Nyonya Naraya penuh semangat.
“Iya, Ibu.”
“Aku suka ketika kau menurut begini. Selain keceriaan, penurut juga sifat yang disukai pria,” tambahnya riang.
Ifa memerlukan sedikit pengalihan dari bahasan jodoh ini. “Ibu, mana Edwina?”
“Oh, aku lupa! Mana anak itu?”
Ketika Nyonya Naraya terlihat mencari-cari sosok cucunya, Ifa segera menghilang ke bilik kamarnya. Ia baru setengah bulan bebas dari drama perjodohan. Apa tidak bisa Nyonya Naraya melihat kebahagiaan Ifa sebagai perawan tua?!
***
Keesokan paginya.
Pagi hari adalah udara baru. Para pohon berusaha keras menyerap polusi, mengganti semua itu dengan oksigen yang baru. Pohon saja punya andil dalam keberlangsungan bumi dan manusia. Mengapa Nyonya Naraya tak peka kalau menikah bukan jalan hidup terbaik bagi Ifa. Andil Ifa dalam kehidupan hanyalah tidak menjadi beban bagi orang lain. Ia sudah melakukannya dan ingin melakukan hal itu selamanya. Andil yang Nyonya Naraya lakukan dan bisa Ifa hargai hanya satu, melahirkan Ifa. Hanya itu.
Ifa sudah bangun, tetapi belum bersiap diri. Kebiasaannya, senang memulai hari dengan membuka mata dan menatap langit-langit kamarnya. Ifa suka menyendiri dan suka sekali kesendiriannya. Hal mudah yang sulit dipahami dalam keluarga ini. Selalu saja muncul pertanyaan-pertanyaan baru yang Ifa tak bersedia memikirkan jawabannya. Kadang muncul juga pertanyaan-pertanyaan lama yang tak memerlukan jawaban sama sekali. Semua itu menghabiskan waktu Ifa, menguras energinya tanpa guna.
Ifa mengerang pelan. Ia baru berpikir dirinya harus duduk menemui seseorang pagi ini. Ia sudah lelah. Ifa akan duduk dengan anggun sambil menyesap teh beraroma melati sambil mengambil pai buah. Oh, bukan begitu harusnya. Ifa akan duduk tenang dan anggun. Dihidangkan teh dan pai buah. Ifa mempersilakan pria itu mencicipi hidangan selagi mereka berkenalan. Ide ini luar biasa buruk. Sejak berusia sembilan belas tahun sampai setengah bulan yang lalu, tak pernah sekalipun Ifa berhasil mewujudkan rencananya itu. Yang terjadi selalu tamu prianya berdeham dan bertanya : Bolehkah saya minum? Bolehkah saya mencicipinya?
Pada dasarnya pria pilihan ibunya adalah pria terhormat. Mereka punya sopan santun, dan mereka sudah dipastikan kaya, atau setidaknya mampu menghidupi Ifa seperti kehidupan Ifa di bawah naungan Nyonya Naraya. Untuk memikirkan kehidupan nyaman bagi Ifa, Ifa menghargainya. Ifa sadar dirinya tak terbiasa mengandalkan diri sendiri dalam hal mengurus rumah tangga, dan Ifa juga tak terbiasa dengan kehadiran orang lain kecuali yang sudah dikenalnya.
Pintu dibuka. Kepala Ifa tersentak langsung menemukan ibunya di ambang pintu yang terbuka. Ifa siap mendengar ceramah paginya. Tetapi perkiraan Ifa pagi ini meleset karena Nyonya Naraya ternyata tersenyum kepadanya. Beliau mendekat. “Wajahmu segar pagi ini. Sepertinya hari ini akan lebih baik kalau kau menggunakan pakaian kuning. Sewarna matahari yang hangat, cerah dan ceria.”
Ifa tak tahu mana yang lebih baik didengarnya. Antara ceramah atau saran Nyonya Naraya atas pilihan mode-nya. Keduanya sama-sama buruk.
Nyonya Naraya menatap jendela. “Hijau pasti membawa awan mendung.”
“Hujan sudah pasti punya manfaat yang sama dengan matahari,” balas Ifa datar. Ia bermaksud baik, menjelaskan kepada ibunya bahwa hujan juga sama besar manfaatnya dengan matahari. Hujan itu air yang turun dari langit. Matahari itu energi yang dihasilkan dari benda langit pula. Tak ada kehidupan tanpa air dan matahari, keduanya sama-sama dibutuhkan.
Ifa merasa ibunya diam terlalu lama untuk seorang yang ia kenal sebagai Nyonya Naraya. Beliau biasanya tak suka pendapat orang lain yang menentang pendapatnya. Mungkin saja beliau sedang memahami kalimat Ifa. Mungkin juga sedang memikirkan kalimat lain untuk menunjukkan kefasihan berpikirnya.
“Pria itu tak akan menemuimu.”
Ifa mengulang kalimat itu dua kali di kepalanya. Segaris senyum terukir dari bibirnya. Itu melegakan. Itu kabar yang sangat baik untuk didengar.
“Ibunya yang akan menemuimu. Jika ibunya setuju, kalian akan menikah.”
Ifa mencerna informasi tambahan itu. “Jika ibunya setuju, maka dia juga akan setuju menikah denganku?”
Nyonya Naraya mengangguk. Senyumnya merekah, “Kabar yang menyenangkan.”
Ini bencana, pikir Ifa kalut. Pria itu pasrah, seperti dirinya. Kalau pun dia bukan pria pasrah, kemungkinan besar ibunya sama pemaksa seperti Nyonya Naraya.