Bab 13

1042 Words
Bab 13 Kutautkan tanganku di bawah lengan Mas Bima lalu kuangkat badannya dan kupindahkan ke atas kursi roda yang telah kusiapkan di sisi ranjangnya. Badan yang dulu gagah, kini mulai mengecil, bahkan tubuhnya pun terasa lebih ringan dari saat pertama ia terbaring. Tubuh yang dulunya menjadi pelindung bagiku dan kedua anakku, kini terbaring lemah karena kondisi kesehatannya. Tubuh yang dulunya memberi kehangatan tiap malam, kini hanya mampu kupeluk tanpa mampu membalas. Namun aku maklum, keadaan seperti ini pun bukan atas kemauannya. Bisa apa manusia jika Tuhan sudah berkehendak? Sebagai seorang wanita normal, terkadang aku merindukan belaian yang dulu kerap ia berikan. Namun hidup tak hanya butuh belaian, ada banyak kelebihan yang telah ia berikan padaku juga keluarga kecilku. Rasanya tak pantas jika ia kutinggalkan hanya karena ia tak mampu lagi memberikan kebutuhan biologis padaku. Ah suamiku, cepatlah sembuh agar kita bisa menikmati indahnya malam seperti dahulu. Boleh kan kita sedikit berharap? Tak ada yang tak mungkin jika Tuhan sudah berkehendak. Selesai kusuapi, kubasuh tubuhnya dengan waslap hangat. Lalu kuganti bajunya dengan baju yang bersih. Tak lupa juga kubersihkan dan kutata kembali sprei kasurnya. "Sudah selesai, Mas. Mas tampan," ucapku memuji Mas Bima. Tampak di wajahnya ia sedang berusaha untuk tersenyum, namun bibirnya kelu, susah untuk digerakkan. Seharusnya stroke yang dialaminya tak lantas membuatnya lumpuh seperti ini. Saking semangatnya ia berusaha sembuh, namun usaha yang belum membuahkan hasil malah membuat semangatnya menurun dan malah membuat keadaannya semakin parah. Makanya aku tak pernah membebaninya dengan masalah yang berat agar tak semakin membuatnya terpuruk. Selesai merawat Mas Bima, kini saatnya aku merawat diriku sendiri. Bukan merawat, hanya saja saatnya aku untuk membersihkan diri juga mengisi perut yang sudah kosong sedari tadi. Terlebih bersiap untuk menata hati karena beberapa jam lagi aku harus kembali memasuki gedung mengerikan itu. Aku juga butuh asupan energi. Bukan energi untuk melayani, tetapi lebih ke asupan tenaga energi untuk bisa berpikir jernih agar aku bisa lari dari jeratan tamu yang haus belaian kasih sayang. Sejenak kupejamkan mata, kuhembuskan napas pelan agar oksigen tersalurkan dengan baik di tiap pembuluh darah menuju ke otak. Tak lupa juga kuluruskan kakiku agar tubuh terasa rileks. Menata hati dan pikiran karena tak ada yang bisa kuandalkan selain diriku sendiri jika terjadi apa-apa di sana nanti. Bakda magrib, aku telah siap. Aku tak mau Arum menjemputku di sini dan dilihat oleh Danisa. Jelas kedatangan Arum akan membuat Danisa semakin bertanya-tanya akan pekerjaanku. Lebih baik aku saja yang datang kerumahnya. Entah kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam diriku. Akupun tak tau apa itu, namun yang jelas aku lebih siap mental hari ini. Aku mengenakan gamis polos warna hijau dengan kerudung segitiga warna senada. Tanpa make up tebal, aku hanya memoles sedikit bedak bungkusan plastik yang kubeli di warung mbak Darmi. Tanpa tas ataupun aksesoris lainnya, aku hanya mengenakan sendal selop polos yang menjadi satu-satunya sandal milikku. "Waah Mbak Dewi rajin sekali," teriak Arum saat melihatku datang ke rumahnya. "Aku datang hanya untuk bertanggung jawab atas langkah yang telah aku ambil. Aku datang bukan karena aku senang bekerja dengan kamu," desisku yang membuat Arum terperangah. Jelas saja, selama aku tinggal di kampung ini, tak pernah sekalipun aku berkata kasar pada tetangga. Hanya pada Arum, hanya padanya yang telah memberikan jalan untukku masuk ke dalam dunianya yang menjijikkan ini. "Ealah, wong lagi butuh uang aja pake jual mahal! Yang penting anak bisa sembuh dan punya uang untuk berobat!" dengusnya sambil mencebikkan bibir. "Seseorang bisa saja salah langkah, Rum. Dan kuanggap ini sebagai bentuk tanggung jawabku atas kesalahan langkah yang sudah kupilih," sergahku. "Halah nggak usah banyak omong deh, Mbak! Lagi butuh uang aja, dah diterima saja kerja beginian yang penting biaya rumah sakit tertutupi!" Tanpa menunggu jawabanku Arum masuk ke dalam kamarnya, mengambil tas juga sandal hak tinggi miliknya. "Dah yuk Mbak! Mobilnya udah nunggu di depan tuh!" Arum pun mengunci pintu rumahnya dan kami berdua segera masuk ke dalam mobil berwarna hitam yang sudah menunggu di depan rumah Arum. Dengan hati yang berdebar aku mengikuti langkah Arum menuju mobil jemputannya. Mungkinkah Tuan Bram hadir kembali sebagai tamu ku seperti kemarin? Aku pasrah saat Arum menggandeng ku untuk menuju ruangan ganti. Aroma asing begitu menguar di hidungku. Kulihat di atas meja yang terletak di depan meja resepsionis terdapat beberapa pengunjung dengan botol berlogo bintang di depannya. Aku berjalan sambil menunduk, malu pada hijab yang kukenakan. Sama seperti kemarin, aku di dandani dengan make up tebal. Baju gamis yang kukenakan terpaksa harus kulepas. Arum menggantinya dengan dress selutut berwarna hijau. Lagi-lagi aku harus menghela napas saat baju dengan bahan minim ini menempel di tubuhku. Beruntung kali ini baju yang kukenakan lebih tertutup, hanya saja lengan bajunya hanya sampai di atas siku. "Mbak Dewi cantik juga kalau pakai baju gini," bisik Arum. Ia menatapku dengan seringai mengejek. Tak mampu membalas ucapannya, aku hanya diam. Membiarkan ia menikmati perasaan yang berkecamuk dalam dadanya. Entahlah, apa yang Arum pikirkan. Aku hanya mampu berdiam diri sambil mencari cara agar aku bisa lepas dari tempat ini. "Nggak sia-sia aku ngajak Mbak Dewi ke sini, Tuan Bram puas dengan pelayanan Mbak." Arum menjawil daguku. Namun aku hanya mampu membalasnya dengan lirikan tajam. Ia menatapku seakan aku sudah lihai dengan pekerjaan ini, padahal aku tak melakukan apa-apa. Tak mungkin juga aku bercerita pada Arum perihal kebaikan Tuan Bram. Biarlah kebaikannya menjadi rahasia antara aku dengan dirinya saja. "Say, ditunggu mami tuh!" teriak lelaki bertubuh gemulai yang tadi menjemput kami. "Siap, merapat say," sahut Arum kemudian. "Sudah siap, Mbak? Yuk ke mami dulu," ajaknya. Kali ini Arum berjalan lebih dulu di depanku. Sedangkan aku berjalan di belakangnya. Sambil menunduk aku melangkah dengan gontai. Menikmati aroma asap rokok yang menguar di sepanjang lorong menuju ruangan mami. Sorot kerlap kerlip lampu dalam ruangan tampak keluar dari celah bawah pintu. Alunan musik di dalam ruangan terdengar samar. Hatiku semakin tak karuan. Arum tak banyak bicara kali ini. Ia berjalan dengan pandangan lurus ke depan. Bunyi hak sepatu yang melekat di kakinya terdengar seirama. Ia sudah seperti model kelas atas yang berjalan dengan berlenggak lenggok bak berada di atas pentas. "Malam, Mi," sapanya setelah pintu terbuka. Kami lantas mendekat ke meja yang kursi di belakangnya menjadi singgasana wanita bertubuh tambun itu. "Malam, Rum. Gimana kerjaan temanmu ini? Aman?" "Aman, Mi. Kemarin berhasil ajak Tuan Bram check in," ungkap Arum seraya melirik wajahku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD