Bab 11

1190 Words
Bab 11 Kupikir jika sedikit saja uang pemberian Tuan Bram kubagi pada Feni untuk membeli kursi roda, masih cukup untuk menebus biaya rumah sakit Rani. Namun aku salah. Biaya untuk observasi luka di kepalanya cukup besar untuk ukuran orang sepertiku. Kini aku sedang duduk kursi di depan pintu kamar rawat Rani. Menatap nanar nota pembayaran yang masih kurang sedikit lagi. Berpikir kemana harus mencari tambahan biaya selain ikut kerja bersama Arum. Sudah cukup sekali saja aku masuk ke dalam tempat seperti itu. Aku tak mau lagi. "Kok nggak masuk, Nduk?" Suara ibu mengagetkanku. Segera ku masukkan nota pembayaran dalam kantong gamisku. Lalu kuusap air mata yang mengalir di pipi. Rasa ini sungguh membuatku tak bisa menghentikan air mataku untuk tak mengalir. Namun, aku tak mau ibu melihatku menangis. "Nggak apa-apa, Bu. Lagi pengen duduk di sini sebentar sebelum masuk melihat keadaan Rani." Aku memaksakan diri untuk tetap tersenyum di depan ibu. Walau terasa berat, aku tetap berusaha menahan diri untuk tidak menangis di hadapannya. Ibu lantas duduk di sampingku. Tubuhnya ia rapatkan dengan tubuhku. Kemudian Satu tangannya meraih pundakku untuk di peluknya. Tak peduli banyak lalu lalang pengunjung di depan kami. Ibu tetap melakukannya. "Maafkan ibu, hanya bisa membantu kamu menjaga Rani seperti ini." Kepala ibu lantas bersandar di bahuku. Terdengar helaan napas panjang dadi bibirnya. Aku yang hanya sebagai seorang menantu, terharu melihat sikap ibu. Rasanya aku tak hanya sekedar menjadi menantu, tetapi lebih seperti menjadi anak kandungnya sendiri. "Tak apa, Bu, jangan bersedih. Dewi senang ibu bisa membantu menjaga Rani di rumah sakit, saya tak berharap lebih. Biarlah urusan biaya saya yang mencarinya," ucapku pelan. Kuraih tangan ibu, lantas kugenggam erat. Aku tak mau membuatnya berkecil hati. Bagiku cukup membantuku seperti ini, aku tak berharap lebih padanya yang kecantikannya sudah pudar termakan usia. "Bekerjalah, Nak. Jangan khawatir soal Rani, biar ibu yang jaga. Kamu urus pekerjaanmu sama suamimu saja. Kamu perempuan, kekuatan badanmu terbatas. Jika kamu memaksa tubuhmu untuk bergerak lebih, bukan tak mungkin kamu juga akan sakit nantinya." Kepala ibu kembali tegak, juga tubuh kami yang semula rapat, kini sudah berjarak. Mungkin ibu merasa bahwa sejak tadi kami menjadi pusat perhatian orang-orang disekitar. "Terima kasih, Bu. Sebenarnya berat untuk saya meninggalkan Rani bersama ibu, tapi apa daya keadaan memaksa untuk saya meninggalkanya." Aku menunduk, menatap nanar kuku-kuku pada jari yang sebenarnya tak perlu diperhatikan. Menghibur diri. "Kemarin Rani sempat nangis, teriak mencarimu, tapi sudah ibu beri pengertian bahwa kamu sedang mencari biaya untuk biaya berobatnya. Ia lantas mengerti, dan sejak itu sudah tak pernah menangis mencarimu lagi. Sekarang keadaannya sudah lebih baik, nyeri di kepalanya sudah banyak berkurang. Semoga saja besok Rani sudah boleh pulang." Mendengar apa yang disampaikan ibu membuatku merasa bersalah. Seharusnya ibunya yang berada di sisinya. Menemani dan merawatnya, namun aku tak sanggup membagi tubuhku untuk beberapa pekerjaan dengan jarak yang lumayan jauh. Pekerjaan di rumah sudah sangat menguras tenaga, ditambah beberapa hari lalu aku harus berjalan kaki dari rumah sakit hingga rumah, itu membuat badanku terasa remuk. Jika bukan ciptaan Allah, entah akan menjadi apa tubuhku ini. "Terima kasih, Bu, sudah membantu saya merawat Rani dengan baik. Jika ibu berkenan, tinggal lah bersama kami, Bu. Bantu saya menjaga Mas Bima juga Rani saat saya sedang bekerja," ucapku memohon. Aku merasa bahwa aku butuh bantuan ibu, bukan untuk membantuku mengerjakan pekerjaan rumah. Aku hanya butuh teman untuk menjaga Mas Bima juga Rani saat aku sedang bekerja. "Apa ibu tidak menjadi beban nantinya buatmu?" tanya ibu cemas. Matanya menatap lurus bola mataku, seperti pedang siap menusuk musuhnya, seperti pistol siap menembak lawannya. Kuhadapkan tubuhku bada tubuh ibu. Kupegang tangannya dengan lembut juga penuh cinta. Kupasang wajah seramah dan semanis mungkin untuk menunjukkan pada ibu bahwa aku senang ibu bersedia tinggal bersama kami. "Sudah lebih dari tiga puluh tahun ibu merawat Mas Bima, sudah sepuluh tahun saya menjadi bagian dari keluarga ibu, maka izinkan saya berbakti pada ibu sebagaimana Mas Bima berbakti pada ibu saat masih sehat dulu. Sungguh ibu bukan beban buat kami, ibu itu ibarat permata yang harus dijaga dan dimuliakan." Kembali air mataku menetes, mengingat betapa dulu Mas Bima memuliakan empat wanita di sekitarnya. Istrinya, ibunya dan dua anaknya. "Terima kasih, Nak. Terima kasih kamu sudah menganggap ibu seperti ibu kandung kamu sendiri," lirihnya sambil terisak. Kami berdua lantas sama-sama terisak, menikmati luapan rasa yang terkadang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Rinduku pada kedua orang tuaku membuatku menjadikan ibu sebagai pelampiasan rindu. Bukankah mertua dan orang tua kandung tetap disebut orang tua? Meskipun salah satu dari mereka tak melahirkanku, tapi melahirkan tulang rusuk yang aku menjadi bagian didalamnya. "Mbaahh!" Suara Rani mengagetkan kami berdua. Tanpa aba-aba, kami lantas sama-sama bangkit menuju pusat suara. "Ibuuuuuu!" teriak Rani saat melihatku ada di depannya. Segera kuraih ia dalam dekapan, betapa aku sangat merindukannya. "Ibu di sini, Nak. Jangan menangis," ucapku setelah Rani berada dalam pelukan dengan isakan lirih. Ia peluk erat tubuhku, seakan tak mau lagi jauh dariku. "Sakit, Ibuu," isaknya lagi. Kusambut pelukan Rani dengan usapan lembut di punggungnya, menyalurkan rasa sayang agar ia tenang. "Tak apa, nanti kalau sudah minum obat, sakitnya hilang. Adek nggak boleh bersedih kalau ibu nggak ada, ibu sedang berusaha agar Adek bisa segera pulang ke rumah," bisikku di dekat telinganya. "Sungguh? Kapan Adek boleh pulang Ibu?" tanyanya penuh semangat. Ia hadapkan wajahnya tepat di depan wajahku. Lalu ditatapnya manik mataku dengan pandangan yang tajam. Tatapan itu seakan menuntut ku untuk memberikan jawaban sesuai dengan apa yang ada dalam hatinya. "Kalau dokter bilang adek sudah boleh pulang, kita pasti pulang. Makanya adek harus rajin minum obat biar cepat sembuh." "Kemarin-kemarin adik pintar, Bu. Minum obatnya ngga pakai rewel, iya kan, Nek?" Wajah Rani menghadap sang nenek. Meminta persetujuan atas apa yang diucapkannya. Ibu hanya tersenyum sambil mengangguk, mengiyakan apa yang diucapkan oleh Rani. Akupun turut memandang ke arah ibu, turut tersenyum pula mendapati reaksi ibu. "Ya sudah Adek istirahat lagi ya? Ibu masih di sini sampai nanti sore," ucapku. "Baik, Ibu. Adek mau tidur sama Ibu di sini, Nenek duduk di situ saja ya?" ucap Rani sambil menunjuj sebuah bangku di sebelah ranjangnya. "Sipp." === Setelah puas bersama Rani di rumah sakit, aku kembali pulang naik angkutan umum untuk membersihkan tubuh Mas Bima. Beruntung aku masih punya pegangan uang sisa pembayaran separuh biaya rumah sakit, bisa kugunakan untuk biaya transportasi juga untuk makan hari ini hingga kemarin. Sepanjang perjalanan tak henti aku melihat tiap toko di pinggiran jalan. Barang kali ada tulisan bahwa mereka butuh karyawan baru. Aku tak bisa lagi ikut bersama Arum, sungguh tak bisa. Angkutan umum menurunkanku di depan gang. Butuh waktu sekitar lima menit untuk sampai di rumahku. Melewati rumah Arum yang kini tampak seperti momok bagiku. Meskipun begitu, kesempatan untuk mampir sejenak. Menyampaikan maksud hati yang sudah tak sanggup lagi kutahan. Berat langkahku untuk masuk ke dalam halaman rumah Arum. Namun aku harus memaksa diri untuk bertemu dengannya. Saat tanganku hendak mengetuk pintu, keluarlah sosok yang sedang kucari. Sedikit tergesa ia berjalan menemuiku yang masih berdiri di depan pintu rumahnya. "Mbak kemarin kucari nggak ada, diajak cek in sama Tuan Bram?" ucapnya saat jarak kami sudah dekat. Arum mempersilahkanku duduk di ruang tamu sederhana miliknya. Hanya ada sofa berukuran kecil dengan meja kaca di depannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD