Suara cicit burung terdengar lebih merdu pada pagi hari ini. Langit begitu cerah. Dedaunan maple tampak menguning dan jatuh berguguran, yang artinya, musim panas hampir berakhir.
Hana berjalan mendekati salah satu pohon maple yang paling besar di dekat danau, ia menyentuh batangnya yang kokoh dan terkagum-kagum.
“MasyaAllah,” bisiknya pada diri sendiri.
Jubah panjang berwarna biru tua yang dikenakannya terseok-seok di tanah. Ia mengenakan jilbab dengan renda warna senada di pinggirnya , beserta niqab yang hanya menampakkan sepasang matanya yang beririskan biru gelap yang jernih.
Ada sebuah dermaga kecil di danau tersebut, tempat biasanya sang ayah memancing. Hana berjalan ke sana, lalu duduk di pinggirnya. Ia sengaja tidak menurunkan kaki, sebab takut pakaiannya akan basah. Jadi Hana hanya duduk dengan kaki dilipat ke kanan, bersandar pada kayu di ujung, tempat tali yang mengikat perahu kecil di sana.
Hana mengeluarkan sebuah buku yang biasa ia gunakan untuk menggambar, sebilah pensil polos dan penghapus. Ia pun mulai menciptakan goresan-goresan pensilnya yang membentuk persis seperti apa yang ia imajinasikan.
Hana menjadi lupa pada waktu. Ketika mendongak, ia telah mendapati matahari berada di atas kepalanya. Perempuan bercadar hitam itu bahkan tidak sadar telah menggambar pada lembaran ketiga. Ah, ini karena kebiasaannya. Dia memang sering tidak ingat waktu ketika sedang melakukan sesuatu yang disukainya. Hanya alunan suara merdu dari muazzin yang mampu membuatnya berhenti. Hana biasa mendengarkannya. Namun di tempat ini, tidak sekalipun ia pernah mendengar suara itu lagi.
Hana menunduk. Dia rindu pada rumahnya.
***
Suara ketukan jari pada meja kayu itu menggema. Si empunya tampak tidak terganggu. Ia mengusap dagu dengan sebelah tangan.
“Bagaimana?” tanya John Fidelis pada sosok pria yang duduk di hadapannya. Kerutan di dahi pria itu bertambah. John seakan bisa membaca pikirannya.
“Dia berbeda, kan?”
“Hm… benar-benar berbeda. Dan… tertutup.”
John mengangguk. “Tapi, Justin, ayahmu dan aku…”
“Aku tahu.” Pria di hadapannya itu memotong, menatap John tajam, berikut dengan ketukan jari di meja yang langsung terhenti.
“Hah…” John Fidelis mendesah pasrah.
“Kenapa?”
“Aku… aku hanya tidak yakin pada keputusanku ini.”
Sedikit, Justin tampak terkejut. “Paman, kalau kau meragu, aku tidak akan berada di sini, memenuhi panggilanmu, dan menyetujui semuanya.”
John terkekeh. “Justin, jangan setegang itu, kau tahu kita tidak sedang berdebat di balik meja bundar. Tenangkan dirimu, Son. Sebenarnya, aku takut hal ini akan merugikanmu banyak.”
Justin memijat pangkal hidungnya. “Ya, pasti akan sangat merugikanku. Ini sungguh merepotkan. Tapi kau tahu aku tidak bisa berkata tidak padamu, terlebih pada Ayah.”
Saat itu juga, John merasa begitu lega. Dia tidak sampai mengerti apa yang saat ini tengah dirasakan lawan bicaranya. Justin Claybourne adalah pria bebas yang tidak pernah terikat oleh hubungan asmara apapun, dan cenderung lebih memilih bermain-main dengan para wanita sebelum mencampakannya begitu saja.
Dan sekarang, karena perkataan sang ayah dan pria di hadapannya ini, dua manusia yang paling ia percaya di dunia, memintanya untuk menikahi perempuan itu.
Justin dan John saat ini sedang berada di perpustakaan keluarga Fidelis yang dindingnya hampir ditutupi oleh lemari buku. Justin sangat suka membaca, namun saat ini, ia menatap buku-buku itu tanpa minat. Kepalanya terasa begitu pening memikirkan permintaan John sebulan lalu.
Well, sebulan lalu, Justin tidak begitu menganggap hal ini serius. John hanya meminta Justin untuk menjaga anak perempuannya. Perempuan yang mana? Sebab John sendiri memiliki dua anak perempuan yang jika kemana-mana, selalu ditemani oleh seorang bodyguard mereka.
Sampai hari ini, Justin pun tahu. Perempuan yang dimaksud John adalah seorang perempuan bercadar yang dari ujung kaki sampai ujung kepalanya tertutupi kain. Justin tidak habis pikir darimana perempuan itu bisa ada di kediaman Fidelis. Apa dia tersesat?
“Dia sangat berharga bagiku, Justin,” ucap pria yang sudah ia anggap sebagai pamannya itu.
Kalau berharga, kenapa hendak menjodohkannya denganku?! Batin Justin mulai geram. Namun pada akhirnya, dia hanya mengangguk.
Keluarga Fidelis adalah keluarga kaya raya yang berkembang di dalam dunia pariwisata. John, berteman dengan ayahnya, Jeremy Claybourne, yang sebelumnya memimpin Claybourne Industries. Justin tidak pernah mengunjungi kediaman Fidelis lagi setelah kematian ayahnya, namun hubungan mereka sudah ada semenjak Justin masih kanak-kanak. Ia hanya tahu bahwa John memiliki seorang istri bernama Diana dan seorang anak laki-laki yang saat ini menjadi CEO di Fidelis Group, serta dua anak perempuan yang keduanya terjun dalam dunia fashion.
Selama ini, Justin mengenal keluarga Fidelis begitu baik, namun ia tidak pernah tahu menahu akan eksistensi seorang perempuan lainnya.
“Jadi?”
Justin tampak berpikir lagi, kemudian ia mengangguk dan menjawab. “Aku hanya perlu menjadikannya sekretaris pribadiku dan membiarkannya tetap sibuk.”
John mengangguk. “Benar sekali. Aku sudah menjelaskan semuanya, kan? Kau tidak harus menikahinya. Aku dan mediang ayahmu tidak pernah memaksa. Lebih tepatnya, perjanjian ini dulu kami ucapkan seperti lelucon belaka, tapi entah kenapa… aku memikirkannya lagi dan kini menganggap lelucon itu serius. Tapi kalau dalam jangka waktu tertentu pikiran atau perasaanmu tidak berubah, kau bisa menolak. Saat ini, aku hanya memintamu mencoba, itu saja.”
Lagi, Justin hanya mengangguk.
John bersandar pada sandaran sofa dan berdehem, menatap pria di hadapannya lekat. “Justin… ada satu hal yang harus kau ketahui ketika berada di sekitar Hana.”
“Apa itu?” Raut keras di wajah Justin tidak melunak sedikitpun sekalipun dari nada suaranya ia terdengar sangat penasaran.
“Jauhi dia.”
Justin mengernyit, tiba-tiba merasa jengkel. “Aku tidak mengerti, Paman. Apa maksudmu?”
“Selama delapan belas tahun hidupnya, Hana tidak pernah berinteraksi terlalu dekat secara langsung dengan seorang pria. Dia bahkan jarang bertemu dengan mereka. Ketertutupannya, membuatnya begitu jauh dengan lingkungan di sekitarnya. Dia pasti kesepian, namun dirinya tidak sadar akan hal itu. Jadi, berhati-hatilah. Ada batasan-batasan tertentu yang tidak boleh kau langgar!”
Ada guratan sendu yang Justin lihat ketika John menyampaikan semua itu, padahal suaranya terdengar lebih tegas, namun Justin memilih untuk tidak mengatakan apapun.
“Menjadi sekretaris pribadiku, aku harus menjauhinya.” Dia malah berucap sarkastik. Lalu mendongak, menghembuskan napas kasar.
“Ya, Son. Aku tahu ini sangat berat bagimu. Setelah Jeremy, kau adalah satu-satunya orang yang kupercaya. Lagipula, Hana juga akan sedikit membantumu dalam urusan pekerjaanmu, kan?” John tersenyum dengan senyuman tulus seorang ayah kepada anaknya. “Tapi…” ia melanjutkan, “dengan segala perbedaan yang ia miliki, apa kau dapat menerimanya?”
Justin menatap John Fidelis lama, meyakinkan dirinya sebelum menjawab; “Ya.”
***
“Jadi, bagaimana dengan kuliahmu, Vionna, kau menyukai lingkungan barumu?”
John bertanya pada anak perempuannya yang kemudian tersenyum lebar. “Sangat, Papa! Orang-orang di sana ramah dan baik. Aku mendapat dua teman yang menurutku… layak. Mereka benar-benar keren.”
John tersenyum pada putrinya. “Baguslah kalau begitu.”
Mereka sedang di ruang makan untuk makan malam. John, beserta istri dan ketiga anaknya, menunggu makan malam selesai dihidangkan sambil berbincang-bincang mengenai keseharian mereka. Vionna dengan kampus barunya, Ellina dengan dunia fashionnya, serta Albert yang hanya menjawab seadanya ketika ditanyai mengenai kesehariannya di kantor. Pria itu sedang berpikir, tidak berniat berbicara dan hanya pura-pura mendengarkan.
“Di mana Hana?” John tiba-tiba bertanya. Ellina yang sedang bercerita panjang lebar, langsung berhenti. Mendadak suasana ruang makan menjadi sunyi. Seperti ada kata yang begitu sulit untuk diucapkan sehingga hanya menguar bisu di udara.
John begitu mengerti. Bahwa kehadiran Hana di tengah keluarganya ini begitu mengejutkan semuanya. Kecuali, Dianna. Sebab ia telah lebih dulu mengetahui rahasia sang suami. Dan dengan seiringnya waktu, Dianna dapat memaafkan John, walau tidak sepenuhnya.
Vionna dan Ellina, langsung merespon pertanyaan ayah mereka dengan dengusan pendek. Sedangkan Albert sedikit menunduk, menatap satu demi satu hidangan di hadapannya yang sudah tersaji.
Beberapa detik kemudian, Hana pun datang dari arah dapur dengan senyuman lebar di bibirnya sambil membawa semangkuk besar salad buah. Gadis itu masih mengenakan jubah birunya, namun tanpa cadar.
“Kau kemana saja, Dear? Apa kau ke dapur lagi dan memasak?” tanya Diana langsung ketika Hana berhasil duduk di kursinya, dekat dengan Albert.
“Tidak, Ma. Aku hanya membantu Nina mengerjakan tugasnya.”
“Hm… such a sweet girl,” puji Dianna, yang mana hal itu membuat dua putrinya yang lain merasa iri.
“Terima kasih,” jawab Hana, kemudian melirik John yang tampak sama sekali tidak peduli pada kehadirannya. Bahkan, pria itu memulai makan malam mereka tanpa suara.
Seakan kehadiran Hana, selalu membawa kesunyian di antara mereka.
***
Vionna dan Ellina tampak sibuk dengan kertas gambar mereka di ruang duduk, mendesain sesuatu. Sedangkan Hana, sibuk di pojok dekat jendela dengan kuas dan canvas. Selama dua bulan terakhir, Hana mulai belajar melukis ketika melihat ruang seni keluarga Fidelis yang terbengkalai. Kata Diana, dulu ruangan tersebut milik neneknya yang juga memiliki ketertarikan kuat pada seni. Dan dari peninggalan-peninggalan neneknya itulah, Hana belajar.
Sedikit terusik pada suara Ellina dan Vionna yang tengah mengobrol membahas tentang pesta minggu depan. Saat ini pun, mereka sibuk merancang pakaian dan aksesoris untuk mereka kenakan ke sana.
Acara pesta elit yang selalu dihadiri keduanya pasti memiliki lantai dansa untuk berdansa. Dan Hana diam-diam mendambakan hal tersebut. Mungkin karena akhir-akhir ini terlalu sering disuguhi film Disney, atau mungkin dia hanya penasaran.
Sebenarnya, Hana pun diundang untuk datang. Secara teknis, semua anggota keluarga Fidelis. Apa dia termasuk? Hana sempat bertanya begitu. Tapi, setelah memperhatikan dan mendengarkan obrolan kedua kakak perempuannya, Hana pun memutuskan untuk tidak mempedulikan pesta tersebut. Ia akan lebih memilih tinggal di rumah dan menyelesaikan lukisannya, daripada menghadiri sebuah pesta orang kaya yang tentunya akan sangat ramai. Dimana Hana akan tetap berakhir sendiri, ia tahu.
“By the way, Hana, are you coming?”
Hana menoleh pada Ellina, kemudian menggeleng. “Sepertinya tidak,” jawabnya.
Ellina dan Vionna sontak mengangguk. “Baguslah kalau kau tidak ikut. Karena sepertinya, kami tidak akan punya waktu untuk menyelesaikan pakaianmu,” kata Ellina, diiringi gelak tawa keduanya.
Hana menganggukkan kepala mengerti. Ia tidak menghiraukan tawa ejekan mereka dan kembali menyibukkan diri mencampur warna di paletnya.
“Hey, Hana!” Vionna berseru.
Hana kembali menoleh.
“Kau seharusnya merasa tersinggung.”
“Maaf?”
Vionna melepas pensil dan bukunya ke atas meja. Ia bangkit, menghampiri Hana.
“Itu sindiran, Hana, apa kau tidak marah?” Vionna bertanya dengan raut jengah.
Hana tersenyum. “Aku baik-baik saja.”
“God! Kau sangat kuno.”
Di belakang, Ellina melakukan hal yang sama seperti adiknya, ia melepas pensil dan buku ke meja lalu menghampiri mereka.
“Oh, Vio! Jangan berkata begitu. Hana kita yang berhati malaikat ini akan terluka nantinya. Dia sudah datang jauh-jauh dari Palestina, kau pikir untuk apa? Tentu untuk kehidupan yang lebih baik. Akan sangat tidak pantas kan, setelah meminta-minta, dia ikut bergaul juga.”
Mereka berdua menatap Hana mengejek. Sedang Hana yang hanya menatap ke luar kaca jendela selama Ellina berucap, tidak merespon. Ia membenarkan ucapan Ellina. Sekalipun hatinya sakit mendengar hal itu, ia tetap diam dan mengucap istigfar di dalam d**a.
“Kau benar, Ellina. Dan sejak awal aku memang tidak tertarik dengan acara-acara seperti itu. Lagipula untuk apa kita menghadirinya? Formalitas?”
Kedua raut kakak beradik itu memanas setelah mendengar ucapan Hana. Sedangkan Hana sendiri, dia pun terkejut setelah berpikir kembali apa yang baru saja diucapkannya. Itu pasti akan membuat-
“You b***h! Berani sekali kau…”
“Ellina, cukup!”
Kedatangan Albert yang tiba-tiba, membuat Ellina menahan makiannya. Ia memejamkan mata meredam emosi.
“Ada apa, Albert? Apa kau akan membelanya?” Vionna bertanya dengan tatapan menantang.
Albert menggeleng pada kedua adiknya itu. Usia mereka sudah tidak lagi muda, namun seperti bocah remaja yang kekanakkan, masih saja sering membully orang yang mereka anggap ada di bawah mereka.
“Aku tidak membela Hana. Tapi kelakuan kalian ini, benar-benar kekanakkan. Tidak bisakah kalian meninggalkannya sendiri? Kurasa dia butuh sendiri.”
Hana butuh sendiri? Atau memang sudah kebiasannya menyendiri?
“Terima kasih, Albert. Tapi tidak apa-apa, aku tidak benar-benar butuh sendiri,” sahut Hana yang mengundang tatapan jengkel dua kakak perempuannya.
Hana bangkit, melepas palet dan kuasnya pada meja di sampingnya, lantas gadis itu turun dari kursi tinggi yang ia duduki, kemudian tersenyum pada Ellina dan Vionna, lalu keluar dari ruang duduk tanpa mempedulikan ekspresi mereka di belakang.
Albert terkekeh geli, balik mengejek dua adik perempuannya yang sekarang tampak tidak terima akan sikap Hana barusan.
“Apa-apaan dia itu?!” maki Vionna.
Ellina menatap pintu yang baru saja dilalui Hana dengan kesal. “Tidak punya apa-apa, malah seenaknya saja bersikap sombong. Dia pikir dirinya siapa?!”
“Dia adalah keluarga,” jawab Albert, duduk di sofa tempat Ellina sebelumnya, mengambil buku gambar Ellina dan memperhatikan desain pakaian modis yang gadis itu ciptakan di sana.
“Aku tidak bertanya padamu, Albert. Jangan sok-sok membelanya padahal kau sendiri tidak suka kehadirannya di sini.” Ellina menyahut dengan kesal.
Albert terdiam beberapa saat. “Memang, tapi dia tetap keluarga,” jawabnya kemudian, acuh tak acuh.