Chapter 6

1325 Words
“Bagaimana?” Justin duduk di kantornya dengan tangan terlipat di atas meja. Matanya menatap dingin seorang lelaki lebih muda yang berdiri di hadapannya. “Pagi ini, Miss Angeline keluar dengan seorang pria dari apartemennya. Mereka ke pusat pembelanjaan dan berakhir ke sebuah toko perhiasan.” Roland, pria di hadapan Justin yang saat ini berdiri kaku, berucap dengan tenang. Justin terdiam. Kebisuan yang diciptakannya sungguh mematikan. Kebisuan yang harus segera dipecahkan sebelum meledak. Dan tatapannya, tatapan tajam itu menusuk pada layar komputernya yang sudah mati. Bahkan, karena terlalu lama berada pada suasana sunyi ini, membuat Roland melirik beberapa kali atasannya itu, takut-takut. “Sir?” Roland pun membuka suara lagi. Dia sudah bekerja pada keluarga Claybourne bahkan ketika Jeremy Claybourne masih hidup dulu. Dan menghadapi sifat bosnya yang seperti ini, sudah menjadi makanannya sehari-hari. Roland juga tahu segila apa Justin bisa menjadi. Oleh karena itu, saat ini dia merasa was-was. “Adequate, kau boleh pergi.” Justin berkata, masih dengan tatapan dinginnya yang sama sekali tidak melirik pada tangan kanannya itu. Ronald pun membungkuk, dan berbalik pergi meninggalkan ruang temaram itu. *** “Tapi, Ayah!” John benar-benar terkejut akan suara Hana yang meninggi. Putrinya yang selalu berkata lemah lembut dengan suara halus dan sopan itu, baru saja membentaknya. Sepertinya, Hana menyadari apa yang baru saja dia lakukan. Ia segera mengalihkan tatapannya dari sang ayah dan menenangkan dirinya. Dia yang semula langsung berdiri karena terkejut mendengar pernyataan yang baru saja dikatakan John padanya, langsung duduk. Tidak setenang tadi, Hana benar-benar gusar. Hana pun menunduk dalam. Menegakkan tubuhnya dan hanya duduk pada pinggiran sofa yang lebar. Hana memejamkan matanya sejenak, sebelum membukanya kembali. “Maafkan aku,” bisiknya pelan. John memperhatikan Hana dalam diam. Dia sudah menduga akan begini reaksi putrinya. John tahu tindakannya ini sangat egois. Sekalipun Hana tidak lahir dari rahim Dianna, dia tetaplah darah daging John Fidelis sendiri, dan John menyayangi anak-anaknya dengan porsi yang sama besar. Namun perlakuannya pada Hana, sedikit berbeda seperti perlakuannya pada Ellina dan Vionna, atau Albert. “Tidak apa-apa. Aku tahu kau akan seperti ini.” John berkata dengan tenang. Nyaris terlalu tenang sehingga hal itu membuat Hana semakin cemas. “Ayah…” John langsung memotong suara Hana dengan perkataannya yang tajam. “Aku tidak menerima penolakan, Hana. Bagaimanapun, saat ini kau adalah bagian dari Fidelis. Dan kedatanganmu kemari akan sangat menguntungkan jika kau menikahi Justin Claybourne.” “…apa kau menyayangiku?” Hana tidak menangis. Tepatnya, tidak ingin. Namun ketika perkataan panjang ayahnya barusan berhasil menohok hatinya, mata Hana mulai berkaca-kaca. Benar, kan? Kehadirannya di sini tidak berarti apa-apa. Ayahnya bahkan tidak menjawab pertanyaannya. Mendadak rasa rindunya pada sang nenek memuncak. Tidak ada orang yang lebih peduli padanya selain neneknya. Hana sering sekali menyesali kepergiannya. Dulu dia terlalu naif, merasa begitu senang dan bersemangat untuk bertemu ayahnya. Sama sekali tidak mengira bahwa beginilah yang akhirnya dia terima. Tidak diakui, diolok-olok, dan sekarang dianggap barang. John akhirnya merasa bahwa percakapan mereka telah usai. Dia pun bangkit dari duduknya, masih dengan tatapan tertuju pada Hana, yang tengah menunduk dalam kebisuan. Benar-benar tidak bisa terbaca. “Mulai besok, Justin akan lebih sering menemuimu. Pergilah dengannya.” Hana marah. Benar-benar marah. Setelah delapan belas tahun John menganggapnya tidak ada, kini pria itu dengan sok pedulinya mengatur-ngatur hidup Hana, sama sekali tidak peduli dampaknya pada Hana. Mendapati ayahnya yang memeluk kepercayaan berbeda saja sudah membuat Hana sedih berhari-hari ketika pertama kali mengetehuinya. Dan sekarang… calon suaminya sendiri juga? “Astagifirullahal’azim.” Hana berbisik lirih. Dia menekan amarahnya dengan mengucapkan puji-pujiannya pada Tuhan Yang Maha Esa, mencari ketenangan yang tidak lama kemudian ia dapatkan. Ini adalah ujian, batinnya. Allah hanya sedang menguji, selayak apa dia untuk mendapatkan ridhonya. Dan Hana tidak akan berputus asa atau menyerah begitu saja. Dia akan membuktikan. Ketika Hana mendongak, John ternyata masih berdiri di sana, sambil melipat kedua tangannya di d**a ia balas menatap Hana tepat di mata. “Aku tidak bisa.” Hana berucap tegas. Lalu setelah itu ia bangkit dan langsung pergi. Meninggalkan John yang termenung di dalam ruang kerjanya. “Maafkan aku,” bisik pria itu ketika ia seorang diri di sana, sambil menunduk dalam, menatap pantulannya pada lantai yang mengilap. *** Sketchbook dan pensil tergeletak begitu saja di atas ranjang berseprai putih. Pada lembaran yang terbuka, terdapat sebuah gambar seorang perempuan bermahkotakan mawar tengah tersenyum paksa, dan di sekujur tubuhnya terlilit oleh batang mawar serta duri yang membuatnya berdarah-darah. Siapa yang menggambarnya, tentu Hana. Saat ini, perempuan dengan rambut panjang bergelombang itu tengah terduduk di sofa yang menyatu langsung dengan jendelanya. Ia menatap ke luar, melihat hujan yang berjantuhan serempat dari langit. Matanya sayup-sayup tertutup. Hana tidak tertidur. Ah, seandainya saja dia bisa. Sebab ini sudah hampir sepertiga malam dan Hana masih terjaga tanpa rasa kantuk. Dimainkannya rambut panjangnya yang bergelombang-lombang seperti ombak. Sambil bibirnya melantunkan ayat-ayat suci yang panjang. Suara merdu Hana itu sedikit meredam suara hujan beserta gemuruhnya di dalam ruangan yang saat ini lampunya telah dipadamkan. Sampai kakinya kesemutan, Hana pun turun dari sofa dan berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Setelah itu, ia melaksanakan sholat malam, seperti malam-malam sebelumnya. Namun kali ini, lebih panjang. *** Suara dentingan sendok menggema nyaring dengan kesunyian yang lagi-lagi hadir. Ellina dan Vionna memakan sarapannya dalam diam tanpa banyak berbicara seperti biasanya. Namun sesekali, mereka akan melirik Hana, dan Hana menyadari hal itu. Sehingga ia merasa sedikit risi karenanya. Bukan hanya karena punggungnya yang sakit sebab tertidur di atas sejadahnya semalam, tapi juga karena tatapan mereka dan lirikannya yang membuat Hana curiga. Ada apa sebenarnya? John tampak selesai dengan sarapannya dan melanjutkan dengan meminum kopi yang masih mengepul asap. Albert pun sama. Sedangkan Dianna tidak tampak di manapun. Hal itu membuat Hana bertanya-tanya, kemana gerangan ibunya? Namun karena kesunyian itu membatasinya berbicara, jadi Hana memilih untuk diam dan turut menyesap kopinya setelah menghabiskan sarapannya. Setelah sarapan, Hana masih mendapati perubahan yang terjadi pada Ellina dan Vionna. Bahkan ketika mereka bertiga berkumpul di ruang santai, dua kakak perempuannya itu hanya diam dengan kesibukan mereka masing-masing di atas lembaran putih. Sesekali mereka bertukar kata, namun Hana tetap merasakan keganjalan suasana di antara mereka. Hana mencoba untuk tidak mempedulikan hal itu. Ia memilih untuk tidak mempedulikan apapun lagi, bahkan perkataan ayahnya semalam. Namun jujur, hal itu sangat sulit Hana lakukan. Tangannya yang semula tengah menggores kanvas terhenti begitu saja. Dia menatap ke luar jendela kaca yang menyuguhkan halaman belakang mantion Fidelis yang luas, lengkap dengan kolam renang, taman bunga, bahkan lapangan golf di mana saat ini ayahnya dan seorang pria tegap tengah bermain. “Apa yang kau lihat, moon face?” Hana mengalihkan pandangannya sesaat setelah suara itu memasuki indera pendengarannya/ Dia menoleh ke belakang, mendapati Ellina yang tengah berdiri melipat tangan di d**a, menatap lurus kemana arah pandang Hana sebelumnya tadi tertuju. Dan sebuah senyum miring muncul di bibir Ellina yang dipolesi lipstik berwarna pink. “Ini Minggu pagi yang cerah, kan, Ellina.” Hana tersenyum lebar. Tatapan Ellina beralih padanya. Lalu, ia maju beberapa langkah melewati Hana hingga tangannya menyentuh permukaan kaca. “Apa kau menyukainya?” Hana mengernyit. Apa yang Ellina maksud? Atau lebih tepatnya, pada siapa Ellina berbicara? Karena Hana masih diam membisu, Ellina pun menoleh ke belakang dan memperhatikan reaksi gadis itu yang tampak bingung. “Maksudku Justin. Papa bilang, kau akan menikah dengannya.” Ah, itu. Hana tersenyum miris. Mungkin bagi Ellina dan Vionna, menikahi pria kaya raya dan tampan seperti Justin Claybourne adalah sebuah keberuntungan dan anugrah yang nyata. Namun bagi Hana, itu adalah sebuah malapetaka. Dia telah meminta petunjuk pada setiap sepertiga malam. Dan hingga kini, hatinya yang terdalam terus saja mengatakan untuk Hana melalui ini semua dan tidak melarikan diri seperti yang sempat ia pikirkan. Jadi, Hana mengangguk dan tersenyum tipis. Namun apa yang keluar dari bibirnya selanjutnya berbanding terbalik. “Tapi aku tidak akan bisa melakukannya.” “Kenapa?” “Karena kita berbeda.” Dan setelah itu, giliran senyum licik di bibir Ellina yang bermain. “Perfect,” gumamnya pelan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD