Macaroni Schotel

1997 Words
“Nala, kamu masih tidak mau turun?” Ace menghampiri Nala di taman komplek yang berdempetan dengan halaman belakang rumah Tante Adel. Malika sudah turun lebih dulu duluan. Dia sangat panik melihat Nala masih berada di atas pohon mangga. Mereka berdua tadi berniat bergantian turun sebelum Ace datang. Namun saat Nala baru akan turun tiba-tiba saja Ace sudah berada di belakang Malika yang bersiap membantu Nala. “Pak Dokter pergi dulu dari situ. Baru Nala akan turun.” “Bedanya ada saya atau tidak apa, Nala? Buruan turun! Saya bantuin dari bawah,” titah Ace dengan merentangkan kedua tangannya. “Gak mau ih!” tolak Nala lagi. “Kamu ini susah sekali kalau di bilangin, buruan turun Nala! Atau mau saya susul ke atas. Biar semua tamu yang ada di dalam lihat ada yang sedang mengintip?!” “Jangan! Iya ... iya saya turun sekarang. Tapi Pak Dokter minggir dulu! Biar Malika saja yang bantuin.” Setelah Ace menjauh dari pohon mangga Nala langsung turun dari atas pohon. Ace meminta Malika mundur dengan bahasa isyarat. Dia tidak mau Nala melompat seperti yang dilakukan sahabatnya karena kaki gadis itu masih dalam masa pemulihan. Dia tidak sadar jika bahu yang dijadikan pijakan kakinya adalah milik Ace. “Terima kasih Ma ...” ucapan Nala terjeda saat melihat orang yang membantunya turun. “Pak Dokter?” seru Nala dengan mulut sedikit menganga. Sementara Malika yang berdiri di belakang Ace tersenyum melihat ekspresi lucu sahabatnya. Sebenarnya dia ingin tertawa dengan keras tapi di depannya ada Om ganteng jadi dia menahan sikap bar-barnya yang mirip sekali dengan Nala. “Kalian sedang apa di atas pohon sana?” tanya Ace saat Nala tak kunjung bicara. “Main boneka,” jawab kedua gadis itu secara bersamaan. “Umur kalian berapa sekarang?” “18 tahun,” jawab mereka lagi secara bersama. “Masih main boneka?” Keduanya mengangguk, sangat patuh sekali seperti anak TK yang sedang diajar oleh gurunya. “Lalu apa maksud dari main boneka di atas pohon?” tanya Ace lagi masih penasaran dengan kelakuan Nala dan sahabatnya. “Biar seger saja soalnya kalau main di gazebo udaranya terasa panas sekali,” jawab Nala dengan cepat. Dia pandai sekali kalau disuruh mengada-ngada. “Itu buat apa?” tunjuk Ace pada teropong yang sedang di bawa Malika. “Oh, ini. Kita sedang bermain detektif jadi teropong ini untuk mengintai musuh,” kini giliran Malika yang mencari alasan. Karena merasa keadaannya sangat tidak aman, Nala memberi kode pada Malika untuk pergi dari taman. Dia sangat tahu jika Ace tidak akan melepaskannya begitu saja sebelum mengatakan alasan yang sebenarnya berada di atas pohon. “Pak Dokter sepertinya Nala di cari sama Mama. Kami pamit pulang dulu ya.” Ace menaikkan sebelah alisnya dengan sedikit mengangkat kedua sudut bibirnya. “Rumah kamu di sebelah mana?” “Rumah No 4 Pak Dokter,” jawab Malika lalu menutup mulutnya. Dia memang baru saja keceplosan. “Sorry,” ucapnya pada Nala dengan wajah penuh penyesalan. Ace hanya mengangguk tanpa menjawab, Nala langsung berlari menggandeng tangan Malika. Dia pikir dengan berhasil kabur dari hadapan Pak Dokternya nasibnya sudah aman, padahal tidak! Ace bahkan sudah mempunyai rencana untuk memberikan kejutan padanya. *** “Huh ... untung saja kita berhasil kabur, Lika. Aku takut sekali kalau sampai Tante Adel tahu kita sedang mengintip acaranya.” “Iya, La. Jantungku rasanya mau copot, bisa habis riwayat kita kalau sampai ketahuan,” jawab Malika dengan nafas terengah-engah baru saja berlarian bersama Nala. “Lagian itu Pak Dokter kenapa bisa lihat kita coba? Padahal tempat persembunyian sudah sangat aman.” “Aku juga bingung, kenapa Om ganteng bisa tahu kita sedang berada di pohon mangga. Tubuh kecil dan mungil kita pasti ketutup sama daun dan ranting. Kalau dari halaman belakang rumah Tante Adel tidak akan kelihatan.” “Apa jangan-jangan selain jadi Dokter, Pak Dokter berprofesi sebagai cenayang ya?” Malika setuju dengan pendapat sahabatnya, mereka berdua meyakini jika Ace adalah seorang cenayang. Padahal Ace bisa melihat mereka saat tidak sengaja melihat sandal kepala kelinci yang di pakai Nala. Mereka tidak sadar jika kedua kaki Nala menggantung sehingga dapat terlihat dari dalam. Untung saja tadi Ace yang melihatnya, coba kalau tamu undangan yang lainnya. Apalagi sampai Tante Adel sendiri yang melihat bisa habis mereka berdua menjadi bahan nyinyiran. Karena mereka sudah gagal menjalankan misi mendapatkan informasi mengenai anak Tante Adel yang tiba-tiba saja mendapatkan lamaran. Nala memutuskan kembali ke rumah karena badannya mulai gatal karena digigit semut yang ada di pohon mangga. “Non Nala, ada tamu yang mau bertemu,” ucap Bibik saat Nala sedang bersantai menonton konser black pink. “Siapa, Bik?” tanya Nala, seingatnya dia tidak sedang ada janji dengan siapapun. “Bibik tadi lupa tanya, Non. Tapi orangnya ganteng banget kayak artis korea yang sering Non Nala tonton!” seru Bibik dengan heboh membuat Nala penasaran. “Beneran, Bik. Gak bohong ‘kan?” “Suer tekewer-kewer, Non. Bibik gak bohong!” Nala langsung berdiri, merapikan penampilannya yang agak kusut karena dia tadi sempat berguling-guling di atas sofa bed yang ada di ruang TV. Setelah itu, keluar untuk melihat siapa tamu ingin bertemu dengannya. Saat Nala sudah berada di teras tidak ada seorangpun disana. Namun saat ingin kembali masuk, Nala mendengar suara Pak Satpam sedang berbincang dengan seseorang. “Pak Dokter, kok bisa ke sini?” tanya Nala. “Kamu sedang apa Nala?” Ace selalu kebiasaan jika ditanya bukannya menjawab dia malah balik bertanya. “Sedang berdiri di depan, Pak Dokter.” “Maksud saya, kamu di rumah tadi sedang apa?” “Oh ... lagi bersantai sambil menonton konser black pink.” “Berarti tidak sibuk ‘kan?” Nala menggeleng, dia sudah was-was sekali dengan tatapan aneh dari Ace. “Memangnya Pak Dokter mau apa?” “Bisa pesan makanan seperti yang di pesan Mbak Embun tadi pagi?” “Maaf Pak Dokter, bukannya saya menolak pelanggan. Tapi bahan untuk membuat lasagna sudah habis tak tersisa sedikitpun,” jawab Nala merasa tidak enak dengan Ace. “Begitu ya? Padahal saya penasaran dengan rasanya, jatah buatku tadi pagi habis di makan sama Aksa.” “Kalau selain Lasagna gak mau? Kebetulan tadi Nala buat macaroni schotel buat camilan Papa sama Kakak nanti malam saat nonton bola.” “Memangnya ada banyak?” “Lumayan, kalau Pak Dokter mau biar Nala ambilkan,” tawar Nala. “Boleh, sekalian di bungkus ya. Soalnya sebentar lagi rombongan saya akan segera pulang.” Mendengar kata ‘rombongan’ Nala jadi teringat dengan acara yang ada di rumah Tante Adel. Jiwa keponya muncul kembali. Namun dia tidak yakin jika bertanya pada Ace akan mendapat jawabannya. Tapi kalau tidak dicoba mana akan tahu. “Pak Dokter, Nala boleh tanya nggak?” “Apa?” “Di rumah Tante Nala sedang ada acara apa sih?” “Pertunangan anaknya.” “Kak Fairuz yang bertunangan?” tanya Nala lagi, dia makin bersemangat karena ternyata Ace mau menjawabnya. “Ngak tahu namanya,” jawab Ace dengan cuek. “Kok bisa gak tau sih? ‘kan Pak Dokter ikut dalam rombongan.” “Saya diundang dadakan oleh rekan sesama Dokter jadi wajar kalau tidak tahu nama tunangannya.” “Sahabat Pak Dokter, profesinya jadi Dokter juga?” “Dia yang menolongmu saat di bawa ke IGD.” “Dokter Dani?” tanya Nala dengan mata membulat. “Hmmmm ...” gumam Ace, sepertinya dia mulai jengah di interogasi Nala. “Bukannya Dokter Dani sudah punya istri?” “Nala, kamu ini jadi mengambilkan macaroni schotel atau akan melanjutkan sesi interogasi pada Saya?” Nala tersenyum malu dengan tingkahnya yang kebablasan. Dia mendapatkan sesuatu yang sangat seru untuk dibagi dengan sahabat sejak bayinya, Malika. Tidak mau membuang waktu, Nala langsung ke dalam mengambilkan macaroni schotel untuk Pak Dokternya. Setelah itu, dia akan menelepon Malika agar datang ke rumahnya untuk mendiskusikan kabar yang baru saja dia ketahui. “Banyak sekali?” tanya Ace saat Nala memberinya 4 kotak makanan padanya. “Buat di bagi sama yang lain. Di rumah Pak Dokter ‘kan ada Mbak Embun yang sedang hamil. Siapa tahu saat lihat macaroni schotel langsung kepengen. Lagi pula Trio A juga pasti akan menyukainya.” Ace lagi-lagi menatap dengan tatapan yang tidak dimengerti oleh Nala membuat jantungnya berdisko ria. “Terima kasih, pembayarannya akan saya transfer ke rekening kamu langsung.” “Oh tidak usah bayar!” jawab Nala cepat. “Tidak usah malu bukannya kamu sedang mempergendut kantong Doraemon mu?” Kedua pipi Nala langsung bersemu merah, dia sangat kesal sekali. Kenapa Pak Dokternya selalu tahu apa yang sedang dilakukannya? memang benar-benar seorang cenayang. *** Setelah kepergian Ace, Nala langsung menelepon Malika. Dia meminta sahabatnya untuk datang ke rumahnya dengan cepat. Misi yang di anggap mereka gagal akan dimulai lagi membuatnya sangat bersemangat. Nala memang bukan tipe gadis julid. Namun setelah Tante Adel mengatainya karena tidak melanjutkan kuliah hingga membuat Mamanya sedih. Dia bertekad akan membalas perbuatan tetangganya dengan cara yang elegan. Tidak seperti Tante Adel yang sengaja mengatainya saat dia dan Mamanya sedang jogging di taman komplek. “Nala ... i’m coming,” teriak heboh Malika, dia datang membawa es doger pesanan Nala. “Kamu berkeringat sekali, Lika. Jorok ih!” Malika mengambil tisu untuk mengelap keringat yang ada di dahinya. Saat sahabatnya menelepon, dia sedang jajan di depan komplek. Karena penasaran dengan informasi yang akan dikatakan oleh Nala. Malika mengayuh sepeda listriknya dengan sekuat tenaga. Mungkin dia lupa, jika sepeda listrik tidak usah di kayuh tetap akan bisa jalan (selama baterainya masih). “Kamu mau kasih informasi apa soal Kak Fairuz?” tanya Malika dengan tidak sabaran. “Nanti dulu dong, Lika. Aku mau minum es doger, harusnya tadi beli batagornya Pak Imam juga.” “Yeeee, itu salah kamu sendiri. Padahal tadi aku rencananya begitu. Kamu malah suruh aku cepetan datang. Gak jadi beli lah,” omel Malika pada Nala. “Kamu mau tau gak siapa yang jadi tunangannya Kak Fairuz?” “Siapa?” jawab Malika dengan tidak sabaran. “Dokter Dani.” “Siapa dia?” “Temannya Pak Dokter, yang menolong aku saat dibawa ke IGD kemarin.” “Hebat juga Kak Fairuz dapat suami Dokter. Bakal semakin sombong Tante Adel.” “Gak juga!” Malika mengerutkan keningnya bingung dengan ucapan Nala yang setengah-setengah dalam memberikan informasi. “Kamu jelasinnya lama. Aku minta lagi es doger baru tahu rasa!” “Eh, gak boleh dong. Udah dikasihkan masak mau di minta lagi.” “Makanya buruan ceritakan semuanya, aku udah kepo sekali!” Nala menceritakan semuanya pada Malika, tadi dia juga sempat bertanya pada Ibu San-San soal status Dokter Dani yang memang sudah beristri. Ibu San-San juga mengatakan jika Dokter Dani sudah lama menikah namun belum juga memiliki keturunan. Hal itu, membuat kedua gadis yang sedang stalking akun i********: istri Dokter Dani, berpikir Dokter itu berniat poligami dengan Kak Fairuz agar memiliki keturunan. Pasti ini semua ide dari Tante Adel! Firasat Nala dan Malika berkata seperti itu. “Padahal masih muda sekali ya Istri Dokter Dani?” “Cantik juga, malah lebih cantik dari Kak Fairuz,” tambah Nala. “Iya, lagian Kak Fairuz mau-mau saja di jodohkan sama orang yang sudah beristri.” “Huummm, apa karena Dokter Dani orang kaya ya? Makanya Tante Adel mau menjadikan anaknya jadi istri muda?” pikiran Nala makin menjadi-jadi. Dia bahkan tidak sabar ingin menceritakan pada Mamanya. Saat gadis itu sedang berpindah stalking ke akun i********: Dokter Dani. Ponsel Nala yang tergeletak di atas meja berkedip tanda dia baru saja mendapatkan pesan. “Nala, kamu jangan terlalu mencampuri urusan orang lain karena itu sangat tidak sopan! Dan satu lagi, jangan ceritakan mengenai Dokter Dani yang sudah memiliki istri pada siapapun! Termasuk Malika.” Nala membaca pesan dari Pak Dokter dengan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Selain sudah menceritakan informasi itu pada Malika. Dia juga sudah mencari tahu secara mendetail mengenai kehidupan Dokter Dani dan istrinya. “Maaf ya Pak Dokter, Nala sudah terlanjur cerita sama Malika. Gimana doang?” gumamnya pelan tanpa berniat membalas pesan yang dikirimkan oleh Ace.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD