Bab 23

1650 Words
31 Maret 2016 Amy “Mauve! Mauve!!” Amy menyerukan nama anjingnya dengan keras ketika menyusuri area tertutup di kawasan perbukitan. Letaknya dua ratus meter dari tempat terakhir ia melihat anjingnya berkeliaran. Hewan kecil dengan bulu lebat berwarna kecoklatan itu suka menjelajahi tempat-tempat tertutup. Terkadang pergi menghilang selama seharian kemudian kembali keesokan harinya dengan lumpur dan bekas tanah yang menutupi tubuhnya. Mauve selalu tahu jalan untuk kembali pada Amy, meskipun begitu Amy tidak bisa berhenti mencemaskan anjing itu kapanpun ia menghilang. Pada sore yang dingin itu, selepas pulang sekolah, Amy mendapati pintu kandang Mauve terbuka. Sedangkan wadah makanannya masih terisi penuh. Tanpa mengganti pakaiannya, Amy langsung berjalan keluar untuk mencari Mauve. Dari pekarangan rumahnya, ada jejak basah yang ditinggalkan Mauve. Jejak itu mengarah ke kawasan perbukitan. Dua hari terakhir Mauve suka menjelajahi tempat itu hingga membuat Amy penasaran. Akhirnya Amy mengikuti jejak itu tanpa tahu kemana ia akan pergi. Jejak-pun berakhir di tepi hutan. Mauve tidak mungkin masuk ke dalam sana. Ada dua ekor anjing penjaga berbulu hitam yang suka berkeliaran. Biasanya Mauve akan menghindari anjing itu dan pergi ke tempat lain. Setelah berjalan lebih jauh, Amy sampai di ladang perkebunan milik keluarga Manson. Di dekat sana ada lumbung milik Paul Manson Laki-laki paruh baya itu sering terlihat keluar masuk lumbung dengan pikap-putihnya yang terisi penuh oleh tumpukan jerami. Sore itu tidak jauh berbeda. Paul sedang menumpuk jerami di atas pikapnya ketika melihat Amy memasuki ladangnya. Di bawah topi hijau usangnya, Paul menyipitkan kedua mata dan mengerutkan dahi. Laki-laki jangkung bertubuh kurus itu kemudian menyapanya dengan berkata, “kau Amy Rogers, kan?” “Ya. Maaf aku memasuki propertimu.” “Tidak apa-apa. Mencari sesuatu?” “Ya, anjingku Mauve. Kurasa dia pergi ke sini..” Itu bukan kali pertama Mauve berkeliaran di sekitar ladang milik Paul. Pernah sekali Amy menemukan Mauve berkeliaran di dekat sana. Hanya saja kala itu Dorothy Manson yang menyapanya. Wanita tua itu kemudian mengajak Amy untuk masuk ke dalam rumahnya untuk mencoba biskuit jagung buatannya. Saat mengobrol dengan Dorothy, Amy punya kesan kalau wanita itu gemar memprediksi sesuatu. Menurutnya Dorothy masih memercayai mitos lama tentang dunia yang dikuasai oleh roh-roh jahat. Ucapannya juga terdengar tidak masuk akal di telinga Amy meskipun ia tahu bahwa cukup banyak orang yang juga memercayainya. Paul Manson sedikit berbeda. Lebih kaku dari ibunya, tapi tidak meyakini kekuatan mistis yang sama seperti Dorothy. Amy hanya mengenal Paul sebagai rekan kerja ayahnya di pabrik. Baru-baru ini Amy tahu kalau Paul tidak berkeluarga. Laki-laki itu pendiam dan sangat tertutup. Sikapnya juga sedikit aneh sehingga sangat sedikit orang yang bertahan cukup lama berada di dekatnya. Ayahnya pernah memeringati Amy untuk menjauhi laki-laki itu meskipun tidak pernah benar-benar menyebutkan apa penyebabnya. Seolah nasihat itu bak angin lalu, Amy mengabaikannya begitu saja dan malah mendatangi properti Paul. “Ya kurasa aku melihatnya.” “Dimana dia?” tanya Amy sembari menegakkan tubuhnya. Suatu harapan muncul, tapi setelah beberapa saat Paul hanya menatap ke sekitar ladangnya tanpa punya jawaban. “Ummm... ehh.. aku tidak tahu. Mungkin dia masuk ke lumbung, biar kucari!” Amy menyaksikan pria itu berbalik ke arah lumbung dan mulai merangkak di sudut-sudut tempat untuk menemukan Mauve yang menghilang. Sementara itu Amy berusaha menemukan jejak kaki Mauve di atas tanah yang lembap. Ketika Amy sampai di dalam lumbung, Paul kemudian berdiri di salah satu sudut dinding kayu sembari memandanginya dengan aneh. Ada sesuatu tentang keberadaan laki-laki itu yang membuat Amy merasa tidak nyaman berada disana. Akhirnya, ia berkata, “Kurasa dia tidak disini. Sebaiknya aku kembali..” “Tunggu!” seru Paul yang secara tiba-tiba berjalan mendekatinya. Amy merasakan darahnya mengalir deras sementara kedua tangannya terkepal erat. Ia siap untuk menyerang kapanpun dibutuhkan. Namun Paul bukannya ingin menyakiti Amy melainkan merogoh saku celananya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. Amy berdiri diam di tempatnya memandangi logam perak yang dikaitkan pada tali panjang berwarna merah hingga membentuk sebuah kalung di tangan Paul. Laki-laki itu kemudian menjulurkannya ke arah Amy seraya berkata, “ambil ini!” “Apa ini?” Amy tahu kalau itu sebuah pertanyaan bodoh, tapi ia tetap mengajukannya sembari memandangi laki-laki itu dengan waspada. Paul, dengan gelagatnya yang mencurigakan kemudian tersenyum lebar dan memperlihatkan sederet gigi kuningnya yang tidak rata. Aroma kopi menguar tajam dari nafasnya. Bau keringat menempel di atas kulitnya dan dari dekat ada bercak-bercak hitam di wajahnya yang membuat tampilannya terlihat mengerikan. “Ini hanya logam biasa. Aku menemukannya di danau tempat aku biasa memancing. Kupikir ini bagus untuk kau pakai. Terimalah sebagai hadiah!” Amy tidak terbiasa menerima hadiah dari orang asing. Menurutnya hal itu terasa ganjil. Tapi Amy juga tidak ingin menolaknya, jadi ia menerima pemberian Paul dengan cepat, berterima kasih kemudian berbalik pergi meninggalkan ladang. Dalam jarak ratusan meter jauhnya, Amy masih bisa merasakan tatapan Paul mengawasinya. Pikirnya laki-laki itu akan mengikuti Amy, tapi kemudian Paul mengemudikan pikapnya ke arah yang berlawanan. Di dekat terowongan Amy berhenti untuk memandangi kalung pemberian Paul. Sampai tak lama kemudian seekor anjing yang menggonggong keras berlari dengan cepat ke arahnya. Amy langsung mengenali bulu lebat kecoklatan yang mengintip dari balik semak-semak itu dan segera membuka kedua lengannya dengan lebar untuk menyambut Mauve. Kini anjingnya menggeliat di kaki Amy sembari menjilati ujung sepatunya. Amy kemudian melingkari kalung pemberian Paul ke leher anjing itu dan mengikatnya. Paul tidak salah. Kalung itu memang bagus. Logamnya yang berkilat memantulkan cahaya. Sementara Mauve berlari-lari mengelingingi batu yang menancap di atas tanah seolah kegirangan mendapatkan kalung itu. Amy tidak segera kembali. Ia menunggu sampai langit sore perlahan mulai bergulung dan kabut menyelimuti jalanan. Kala itu Amy bergerak menyusuri jalanan beraspal untuk kembali ke rumahnya. Ia masih harus berjalan sejauh dua kilometer untuk sampai disana. Sementara di kedua sisi jalan, ada barisan pohon yang mebatasi hutan. Ketika cahaya matahari tenggelam, beberapa ekor kijang terlihat saling mengintip dari balik dahan pepohonannya yang tinggi. Sebuah mobil sesekali bergerak melewati jalanan yang sama. Sampai tiba-tiba sebuah sedan coklat tua menepi di pinggir jalan dan seseorang dari dalam menurunkan jendela untuk berbicara dengannya. Wajah yang muncul di balik kaca jendela mobilnya itu tampak tidak asing. Sheriff O'Riley tertegun sebentar selagi menatapnya kemudian bertanya, “kemana kau mau pergi?” “Ke rumah.” “Butuh tumpangan? Aku melewati jalur yang sama.” Amy sempat ragu tapi akhirnya menerima tawaran itu dan duduk di kursi penumpang bersama Mauve yang menggeliat di pangkuannya. Ketika sedan yang ditumpangi mereka melaju di jalanan kosong menuju rumahnya, sang sheriff tersenyum memandangi anjing itu kemudian bertanya, “anjing itu milikmu?” “Ya, ini Mauve.” “Mauve!” sang sheriff membeokan. Rahangnya ditarik lebar saat laki-laki itu tersenyum. Laki-laki itu memiliki kemiripan identik dengan Ethan, kecuali karena sang sheriff lebih tinggi dan dua kali lebih besar dari keponakannya. “Bagaimana dengan saudara laki-lakimu? Dia baik-baik saja? Aku jarang melihatnya beberapa hari terakhir.” “Ya, dia baik-baik saja.” “Dimana dia? Bukankah dia bekerja di toko?” “Dia berhenti.” Kini ekspresi sang sheriff berubah serius. Amy menatap laki-laki itu melalui spion dalam mobil selagi jari-jarinya mengelus bulu lebat Mauve. “Apa yang terjadi?” “Karena perkelahian dengan teman-temannya.” “Dimana dia bekerja sekarang?” Amy menelan liurnya, tiba-tiba teringat memar bekas pukulan keras Cole di rahangnya yang hampir memudar. “Aku tidak tahu,” sahut Amy setelah terdiam. Mungkin kau perlu bertanya langsung padanya.” “Hei, kau bisa menghubungiku jika ada masalah di rumah.” “Ya, terima kasih.” “Apa ayahmu masih suka mabuk-mabukan?” “Tidak sesering dulu.” “Tapi dia masih sering memukulimu?” Amy menggeleng. Wajahnya terasa panas ketika berbohong. Ia kemudian mengalihkan pandangannya keluar jendela, berharap untuk menghindari topik itu. “Apa yang mau kau lakukan di terowongan tadi?” “Aku mencari anjingku. Rupanya dia pergi sampai kesana.” Sang sheriff mengangguk selagi memandangi anjing itu dan jalanan kosong di depannya secara bergiliran. Mobil itu melaju dengan kecepatan stabil di atas aspal, namun untuk satu alasan tertentu, Amy berharap mobil itu melaju lebih cepat sehingga ia tidak harus menjawab pertanyaan yang diajukan sang sheriff. Selang setelah beberapa menit yang berlangsung dengan hening, sang sheriff akhirnya membuka kembali percakapan mereka. “Apa kau selalu sediam ini, Amy?” Kini Amy menatap laki-laki itu tajam, kemudian menggeleng pelan sembari menyunggingkan senyuman tipis. “Aku tahu hubunganmu dengan keponakanku. Apa dia bersikap baik padamu?” “Kami tidak berhubungan!” potong Amy dengan cepat. Wajahnya seketika memerah. “Well, kalian berteman, kan?” “Umm.. ya.” “Memangnya ada apa?” “Bukan apapun,” sahut Amy dengan cepat. “Teman wanitamu itu.. siapa namanya?” “Sloane..” “Ah ya! Kalian baik-baik saja?” “Ya, semuanya baik-baik saja.” “Kelihatannya tidak begitu. Aku berbicara dengan Ethan beberapa hari yang lalu. Aku melihatnya bertengkar dengan Sloane.” “Aku tidak tahu apapun tentang itu,” aku Amy dengan ekspresi datar. “Itu bukan urusanku.” Sang sheriff menatap Amy. Dari ekspresinya laki-laki itu tampak seperti mencurigai apa yang sedang berusaha disampaikannya. Namun, laki-laki itu tidak mengaatakan apa-apa lagi sampai sedannya menepi di pinggir jalan seberang rumahnya. Amy dengan perasaan lega langsung turun dari mobil itu. Dari dalam sang sheriff menjulurkan kepalanya ke arah jendela selagi berbicara dengan Amy. “Kau tahu kemana harus menghubungiku jika butuh bantuan?” Amy mengangguk. “Kau boleh menelepon kapan saja. Aku akan menjamin keamananmu..” “Terima kasih,” potong Amy sebelum sang sheriff menyelesaikan kalimatnya. Pria itu kemudian mengangguk sebelum melajukan sedannya meninggalkan Amy di pinggir jalan. Kini Amy menatap ke seberang jalan, tepat dimana bangunan dengan pondasi kayu yang sudah lama menjadi rumahnya berada. Pikap ayahnya terparkir disana. Laki-laki itu lagi-lagi pulang lebih cepat dari biasanya. Sementara itu Amy belum menyiapkan makanan apa-apa. Sudah dapat dipastikan ayahnya akan marah begitu Amy kembali. Karena takut, Amy akhirnya memutuskan untuk bermalam di kabin kosong di belakang rumahnya. Hanya kabin itu-lah yang menjadi tempat persembunyian terbaiknya ketika Amy merasa perlu melarikan diri dari ayahnya atau Cole.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD