Sakha pulang ke rumahnya, rumah utamanya di Desa Telaga Waru. Beberapa pekerja menyapa sesaat setelah melihat Sakha masuk melalui pintu gerbang dengan mobil hitam mengilap. Sakha membalas sapaan mereka dengan anggukan dan senyuman singkat. Matahari masih bersinar terik di langit, Sakha berkeringat basah dan benar-benar butuh guyuran air untuk menghilangkan lengket di sekujur tubuhnya.
Saat Sakha masuk ke dalam, dia langsung disambut dengan istri-istrinya yang tengah duduk di ruang tamu.
“Assalamu’alaikum, Mas, sudah pulang toh?” Aisyah Safitria Putri, atau yang kerap Sakha panggil Ria, yang pertama kali memberi salam dan langsung menghampiri Sakha untuk mencium tangannya.
“Wa’alaikumussalam,” jawab Sakha singkat.
Ria adalah istri pertama Sakha, wanita cantik itu langsung menarik Sakha ke ruang tamu. Dan Sakha tidak menolak.
“Tumben Mas pulang cepat?” kata Henia, sambil mencium tangan Sakha.
“Hm, saya hanya pulang sebentar.”
Agistia, istri kedua Sakha adalah yang terakhir menyalami tangan Sakha. “Mas mau dimasakin apa? Kebetulan ini waktunya makan siang.”
Sakha menolak dengan senyuman. “Saya hanya di sini sebentar. Kalian makan siang lah lebih dulu.”
“Mas, makan siang saja di sini sama-sama. Mas jarang pulang kalau siang, seringnya di ladang,” Ria menyela, setengah merengek, dia masih bergelayut manja di lengan sebelah kiri Sakha.
“Ya sudah, tapi saya mau mandi dulu,” jawab Sakha, sembari melepas gelayutan tangan Ria di lengannya dengan lembut.
“Saya bantu Mas ke kamar,” Nia menyahut, mengikuti Sakha pergi ke kamar.
Sedang Nia membantu Sakha menyiapkan pakaian di kamarnya, dua istri Sakha yang lain pergi ke dapur untuk memberi instruksi kepada ART agar segera menyiapkan makan siang.
Tia adalah satu-satunya istri Sakha yang bisa memasak dan sering membantu di dapur. Selama hampir tiga tahun menjadi istri kedua Sakha, Tia sudah sangat hapal makanan apa saja yang suaminya itu gemari. Sakha suka semur ayam dengan ragi kuning, maka itulah menu makanan yang siang ini akan Tia buat.
Sedang Tia sibuk di dapur, Ria pergi ke kamarnya dan mulai berdandan. Dari ketiga istri Sakha, Ria lah yang paling cantik dan paling rajin merawat diri. Apalagi dia sebagai istri pertama sekaligus tertua, Ria merasa harus selalu tampil menarik untuk mengambil perhatian lebih dari suaminya.
“Dasar Henia, wanita genit itu selalu saja kurang ajar. Tidak sopan. Seharusnya dia menghormatiku sebagai yang pertama, main serobot saja.” Ria menggerutu sembari memoles makeup ke wajahnya yang telah dibersihkan. Selama ini, mereka memang selalu tampak rukun dan akur, tapi diam-diam ketiganya saling berkompetisi satu sama lain untuk mendapatkan perhatian lebih.
Berbeda dengan Tia yang lebih menghormatinya, Nia memang benar-benar gencar sekali memonopoli Sakha, tidak memberikan istri pertama dan kedua Sakha kesempatan. Kalau Tia, wanita itu memang selalu sungkan dan lebih mendahulukan Ria saat mereka bersama. Tapi di belakang, Ria sangat tahu bahwa Tia juga tengah berkompetisi dengannya, menggoda Sakha dengan cara-cara yang sering membuat Ria iri. Tia adalah tipe wanita yang sangat romantis, dia memasak untuk Sakha, mengajak Sakha dinner di restoran mewah berdua saja, selalu merengek untuk pergi liburan setiap kali Sakha ada waktu luang.
Tapi walau begitu, selama ini, Sakha selalu bersikap adil kepada mereka. Tidak pernah Sakha memperlakukan mereka dengan cara yang beda, dan terkadang itulah yang membuat Ria jengkel. Akan lebih baik kalau Sakha memperlakukannya dengan cara berbeda ketimbang ketika dia memperlakukan dua istri mudanya. Ria merasa lebih berhak karena dia adalah perempuan pertama yang Sakha nikahi.
Setelah selesai memole riasan ke wajahnya, Ria segera ke luar kamar. Kamar mereka memang selalu dipisah-pisah, baik di rumah desa ini atau di rumah utama mereka di kota. Itu adalah salah satu bentu keadilan Sakha yang lain, bahkan Sakha juga memberikan mereka rumah satu-satu untuk mereka tinggali, tapi mereka bertiga serempak memilih tinggal serumah dengan suami mereka.
Saat Ria sampai di ruang makan, dia hanya melihat Tia di sana yang juga baru datang. Wanita itu sudah selesai masak dan juga merias sedikit wajahnya sama seperti Ria.
“Di mana Nia?” tanya Ria.
“Dia belum datang?” Tia bertanya balik.
Kejengkelan Ria yang sebelumnya semakin menjadi, tapi sedikitpun Ria tidak menunjukkannya. “Tunggulah di sini, aku akan memanggil mereka.” lalu Ria pun pergi dari ruang makan menuju lantai atas tempat kamar Sakha.
Saat Ria sampai di depan pintu, dia mendengar suara cekikikan Nia yang memanggil Sakha dengan suara manja. Ria pun mengetuk pintu dengan sengaja, tidak lama setelah itu Sakha muncul, wajahnya terlihat kesal.
“Mas, makan siangnya sudah siap,” kata Ria, memasang wajah tidak berdosa.
Sakha mengangguk. “Saya mengerti,” tapi ekspresinya tetap terlihat kesal.
Setelah Sakha pergi, Nia yang keluar dari kamar. Ria langsung menyemburnya. “Kamu buat Mas kesal lagi?”
Nia cemberut. “Apanya, Kak? Justru Kak Ria yang sudah buat dia marah. Kami tadi di malam sedang mesra-mesraan, malah diganggu.”
“Kamu pikir aku bakal percaya?” balas Ria. Karena mereka semua tahu bagaimana adilnya Sakha kepada mereka. Kalau bukan pada saat jadwal hari yang telah Sakha tentukan untuk mereka, Sakha tidak akan menghampiri salah satu istrinya yang lain untuk bermesraan. Dan malam ini juga besok adalah jadwalnya Tia, si istri kedua.
“Ish! Kak Ria nggak tau aja. Namanya juga laki-laki toh, pasti ada khilafnya.”
“Jangan begitu, Nia. Kamu harus menjaga perasaan Tia.”
Nia dengan wajah polosnya menjawab, “Memang apa yang Kak Tia rasakan ke Mas Sakha? Bukankah kita semua sama?”
Pernyataan itu membuat mulut Ria bungkam, tapi amarahnya semakin dibuat tinggi. “Jaga omongan kamu! Atau saya akan lapor hal ini pada Mas Sakha,” tukasnya penuh peringatan.
Nia terdiam, menunduk, kemudian melengos pergi melewati Ria dengan wajah kesal.
***
Selepas makan siang, Sakha kembali ke ladang, meninggalkan ketiga istrinya di rumah. Selama makan siang itu, tidak ada yang menyadari mood Sakha yang buruk, bahkan Ria sekalipun yang padahal sebelumnya tahu bahwa Sakha sedang kesal. Tapi Sakha adalah pria dengan kontrol diri yang tinggi, dia jarang sekali memperlihatkan perasaannya melalui ekspresi wajah. Dengan kata lain, dia pria dingin dengan ekspresi yang selalu datar.
Walau begitu, Sakha menanggapi semua celotehan istrinya satu per satu. Sakha selalu bersikap baik kepada mereka seperti itu, tidak pernah membeda-bedakan.
Setelah Sakha pergi, Tia langsung membuka suara. “Eh-eh, aku dengar-dengar gosip dari yang kerja di belakang, katanya Mas Sakha mau nikah lagi?”
Ria yang mendengar itu sangat terkejut, berbeda dengan Nia yang tampak biasa-biasa saja.
“Aku sudah dengar dari kemarin. Memang benar,” jawab Nia.
Ria menatapnya. “Dengar darimana kamu Nia?”
“Dari ibu-ibu kampung yang suka belanja sayur di depan. Mereka kan belum tahu kalo aku istri Mas Sakha, yaudah aku pura-pura belanja sambil nguping gosipan mereka.”
“Bisa aja itu cuma gosip doang kan,” sahut Tia.
“Aku juga sudah telepon Galih, Kak. Calon istri Mas anak Pak RT, yang katanya hutangnya dah banyak dan besar kemungkinan dia nggak bisa bayar.”
“Pak RT Jamal?!” sahut Ria tidak percaya.
Nia mengangguk dengan wajah kesal. “Itu kenapa kita harus sering-sering goda Mas biar dia berhenti punya niat untuk nikah lagi. Nikah sama aku kan baru setahun ini, aku masih ada harapan buat hamil, kenapa harus buru-buru nikah lagi sih!”
Omelan Nia yang terdengar menyindir itu diabaikan oleh Ria maupun Tia. Memang benar, dari ketiga istri Sakha, tidak satupun dari mereka yang berhasil dikaruniai anak. Belum, lebih tepatnya. Tapi Sakha sejak awal sangat menginginkan seorang anak untuk dijadikan penerus bisnisnya, seorang ahli waris.
Sayang sekali sampai detik ini ketiga istrinya belum juga hamil.
“Setahuku Pak Jamal punya dua anak gadis,” kata Tia.
“Benar,” sahut Ria, “dua anak gadis dengan julukan kembang desa.”
“Pantas saja Mas kebelet.”
“Hush! Kamu tuh kalo ngomong!” peringat Ria karena celetukan Nia yang terdengar tidak sopan pada suami mereka.
“Aku akan tanya pada Mas nanti malam,” kata Tia.
“Mas pasti akan memperkenalkan wanita baru itu ke kita sebelum mereka benar-benar melaksakan akad nikah, seperti yang dulu Mas lakukan pas sebelum nikah sama aku,” balas Nia.
Ria dan Tia mengangguk sepaham.
***