Since When

1249 Words
“Sayang,” Reyhan buru-buru keluar dari mobil dan menggenggam kedua tangan istrinya. “Ini yang kamu maksud masih ada kerjaan?” cecar Aurora. Dia merasa tidak perlu berbasa-basi dan memang tidak perlu melakukannya. “Sayang, aku bisa menjelaskannya. Ini nggak seperti yang kamu lihat,” suaminya itu masih berusaha membela diri. “Oke, jelaskan. Silahkan kamu jelaskan kenapa kamu bisa ada di sini bersama perempuan lain, jelaskan maksud dari ciuman kalian tadi,” Aurora menatap mata Reyhan dengan tajam, tetapi lelaki yang ditatap justru menunduk menghindari tatapan matanya. “Ayo jelaskan. Aku akan mendengarkan. Kenapa malah diam?” cecarnya lagi setelah beberapa saat melihat Reyhan hanya diam dan menunduk. “A-aku.. aku..” bukannya menjawab Reyhan malah mengusap wajahnya frustasi. “Aku apa? Aku selingkuhin kamu?” Reyhan menghela napas berat. “Ayo kita pulang. Kita bicara baik-baik di rumah,” akhirnya dia menatap istrinya dengan tatapan memelas. “Kamu mau mengajakku pulang bertiga bersama dia?” Aurora menunjuk pada perempuan di dalam mobil Reyhan dengan dagu. “Nggak perlu, silahkan kamu lanjutkan ‘pekerjaan’ kamu dengan dia,” lanjut Aurora seraya melepaskan genggaman tangannya dan segera pergi dari hadapan suaminya. “Ra, sayang, kamu mau ke mana? Tunggu dulu. Aku bisa menyuruh dia pulang menggunakan taksi. Please, Sayang,” Aurora tidak memperdulikan ucapan Reyhan, terus melangkah tanpa arah. Tadi, dia tidak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaannya ketika menyaksikan suaminya berciuman dengan wanita lain. Bahkan wanita yang dia kenal. Sekarang, air mata banjir membasahi pipi putihnya, menumpahkan semua rasa marah, sakit dan kecewa dalam hati. Pernikahan mereka baru saja menginjak satu bulan tepat pada hari ini. Seharusnya mereka merayakannya malam ini, menikmati makan malam berdua dengan masakan spesial yang Aurora buat sendiri, menonton film favorit di ruang tengah sambil berpelukan. Tapi apa? Yang didapat justru pengkhianatan. *** Aurora mengetuk pintu pelan, berharap seseorang di dalam mendengarnya lalu segera membukakan pintu. Syukurlah, harapannya terkabul. Pintu di hadapannya terbuka, Gina menghembuskan napas lega ketika melihat sahabatnya berdiri di depan pintu kontrakan. Dia tidak berkata apa-apa, hanya menarik tangan sahabatnya itu agar masuk ke dalam. Gina membawanya ke kamar lama Aurora, meminta  perempuan itu untuk membersihkan diri dan istirahat. “Aku buatkan teh hangat dulu,” tanpa menunggu jawabannya, Gina keluar dari kamar. Rara mengikuti saran Gina untuk membersihkan diri, berganti baju, kemudian merebahkan diri di kasur yang sudah sebulan ini sudah tidak dia tiduri. Beberapa menit kemudian Gina menghampirinya lagi dengan membawa segelas teh hangat yang dia letakkan di atas nakas. Dia duduk di tepi ranjang, manatap sedih wajah sembab sahabatnya. “Kamu kemana tadi? Kita bertiga mencari kamu kemana-mana. Kita khawatir banget.” Aurora tersenyum getir. “Maaf ya tadi nggak jadi traktir kalian,” dia bangun, duduk bersandar pada dinding kamar yang entah kenapa dinginnya menembus kaos yang dia kenakan. “No need to sorry. Kamu bisa traktir kita lain kali. Kamu sudah makan?” Aurora menggeleng pelan. Tadi setelah berhasil melepaskan diri dari Reyhan, kakinya berjalan tanpa tujuan. Terus berjalan entah sampai berapa lama, dengan air mata yang terus membanjiri pipi, sampai akhirnya dia rasakan sakit di kaki dan perih di mata yang terasa membengkak. “Aku buatkan bihun rebus, ya? Aku juga belum jadi makan kok, kita makan bersama. Aku mengerti perasaan kamu lagi nggak enak banget sekarang, tapi aku nggak akan membiarkan kamu nggak makan,” lagi-lagi Gina meninggalkan Aurora tanpa memberinya kesempatan untuk menjawab. Aurora akhirnya mengikutinya ke dapur, membawa teh di nakas untuk diminum sambil menemani Gina memasak. Di tempat lain, Dirga pun menghembuskan napas lega setelah mendapat kabar dari Gina bahwa Aurora sudah berada di kontrakannya. Sejak tiba di apartemen kecilnya satu jam lalu, yang dilakukan Dirga hanya mondar-mandir tak jelas. Dia berusaha menghubungi Aurora berkali-kali yang hasilnya tentu saja tidak mendapat jawaban. Tadi mereka sempat berkeliling kota mencari perempuan itu, lalu memutuskan untuk pulang setelah hampir dua jam berkeliling namun tetap tidak menemukan perempuan yang sedang patah hati itu. Sebab Dirga dan Gina sangat tahu bahwa Rara tidak akan melakukan hal bodoh. *** Aurora terbangun karena mendengar raungan dari ponselnya yang entah diletakkan di mana. Dia tidak menyentuhnya sama sekali sejak tadi malam. Semua panggilan entah dari siapa saja diabaikannya. Dengan kepala pusing, dia bangkit untuk mencari benda pipih itu. Dia tidak menemukannya di kasur, di nakas, juga di meja rias. Bunyi nyaring yang dia tahu berasal dari nada panggilan itu kemudian menuntun matanya pada tas yang tadi malam dia bawa. Benda pipih itu ternyata masih ada di sana. Segera dia mengeluarkannya, mendapati nama Reyhan terpampang pada layar. Sepertinya lelaki itu tidak akan berhenti menghubunginya sepagi ini, jadi dia putuskan untuk tidak menjawab panggilan itu dan memilih untuk mematikan ponselnya. Biarlah. Dia akan menghadapinya nanti saat mereka bertemu di kantor. Sebenarnya dia masih tidak mau bertemu dengan Reyhan. Melihat wajahnya akan mengingatkan pada kejadian tadi malam, membuatnya merasa jijik. Tapi Aurora juga tidak mungkin bolos kerja karena hal ini. Dua jam kemudian Aurora sudah sampai di kantornya. Perempuan itu melangkah dengan enggan memasuki ruang kerjanya, sebab dia pasti akan bertemu Reyhan karena ruangan mereka bersebelahan. Lalu, apa yang harus dia lakukan sekarang? Berbalik lalu pulang? Jangan konyol. Aurora tidak akan kabur. Dia akan menghadapinya. Dengan menguatkan hati kakinya terus berjalan menuju ruangannya. Benar saja, Reyhan sudah berada di depan ruangan perempuan itu. Dia langsung menghampiri dan membawa Aurora ke ruangannya. “Kamu kemana tadi malam? Kamu lupa kalau kamu harus dapat ijinku dulu untuk nggak pulang? Aku tahu kamu marah padaku, tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya mengabaikan teleponku dan nggak pulang,” cecar Reyhan dengan penuh emosi. Hah, harusnya Aurora yang marah sekarang. Kenapa dia? “Masih pagi, Mas. Mau bertengkar di sini? Agar semua orang di kantor ini tahu, begitu?” tanpa menunggu jawabannya, Aurora meninggalkan ruangan itu untuk kembali ke ruangannya. Reyhan tidak menahan atau pun mengejarnya. Barangkali menurutnya omongan Aurora ada benarnya. Jika mereka bertengkar di sini, orang-orang akan mendengarnya dan itu tidak akan baik untuk citra Reyhan  sebagai kepala HRD. *** Sama seperti rutinitas sore-sore sebelumnya, Aurora membereskan meja kerjanya terlebih dahulu sebelum pulang. Setelah beres, dia tidak langsung meninggalkan ruangan. Untuk beberapa saat otaknya berpikir, harus pulang ke mana dirinya? Ketukan pintu membuyarkan pikirannya tentang pilihan pulang. Seseorang yang sangat enggan untuk dia temui berdiri dengan lesu di ambang pintu. “Ayo pulang,” ajaknya seraya menghampiri mejanya. Aurora menimbang-nimbang beberapa saat. Haruskah dia pulang bersama suaminya? Atau pulang ke kontrakan lagi? Tapi mereka harus membicarakan sesuatu yang penting untuk kelangsungan rumah tangga yang baru mereka jalani selama satu bulan ini. Jadi dia harus pulang bersama Reyhan, kan? Baiklah. “Kamu duluan saja. Aku pulang naik taxi,” ucapnya kemudian. Reyhan mengerutkan dahinya. “Kenapa pakai taksi? Kamu mau ke mana lagi?” “Kamu nggak dengar barusan aku bilang mau pulang?” “Ya tapi kenapa harus pakai taksi? Kamu masih mau menghindari aku?” Tidak ingin memancing keributan, akhirnya Aurora menuruti kemauan suaminya untuk pulang bersama. Sesampainya di parkiran, Reyhan membukakan pintu untuk Aurora. Hal yang selalu dilakukannya sejak mereka pacaran. Namun Aurora mengabaikannya, memilih untuk duduk di kursi penumpang belakang. Dia tidak sudi menduduki jok yang tadi malam menjadi saksi bisu ciuman panas suaminya dengan perempuan itu. “Sayang,” panggilnya pelan. “Aku minta maaf,” Reyhan berkata lirih dari balik kemudi. Aurora menarik napas dalam, menghembuskannya perlahan. Air mata menggenang di pelupuk matanya dan siap untuk keluar kapan saja. Dia tidak tahu kalimat seperti apa yang harus dia ucapkan untuk merespon permintaan maaf sang suami. Yang keluar dari mulutnya dua menit kemudian adalah sebuah pertanyaan bernada dingin. “Sejak kapan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD