Selamat membaca.
***
Memangnya, kalau kita berpisah, kamu bisa sejahat ini padaku, memangnya kalau kita berpisah kita bukan lagi dua orang yang saling mengasihi, memang, tapi saat kita berpisah, kita kembali menjadi dua teman, yang saling menyayanggi.
***
Shayna kini sengaja datang lebih siang dari biasanya, ia juga meminta Argi agar duduk di tempatnya semula, sedangkan ia duduk dengan Nia kini. Argi jelas tak menolak, mungkin Shayna memang ingin membangun benteng dengan Reevin, Banjar, Kevin juga dengan dirinya, tadi malam pun ia bersama tiga komplotannya sudah berdiskusi tentang keadaan yang membingungkan ini, ada yang berubah dengan Shayna, ada yang berbeda dengan perempuan itu. Mereka bertiga tak mau gegabah, mereka juga menebak ada sesuatu tak beres di belakang semua ini, Shayna pasti memiliki alasan yang kuat hingga ia menyakiti dirinya sendiri, melakukan apa yang sangat berbeda dengan apa yang ia lakukan setiap harinya. Rasanya tidak mungkin kan manusia bisa berubah dalam tiga hari? Dalam waktu yang bisa dikatakan secepat itu.
Kenapa mereka bisa mengatakan Shayna menyakiti diri sendri? Oh tentu, Reevin dan Shayna baru saja resmi berpacaran, bahkan hubungan mereka belum genap seminggu, dan sudah putus begitu saja, tidak dari itu saja, hilangnya Shayna, sikapnya Om Aldino terhadap Reevin, juga cerita yang dikatakan oleh Banjar benar-benar membuat mereka yang termasuk dalam penyelidikan ini sangat menduga ada yang benar-benar janggal dari kehidupan Shayna.
Reevin juga orang di masa lalu Shayna, teman kecilnya, kebanggannya, lalu bisa kah Shayna membuang Reevin begitu saja? Apalagi Shayna juga terlihat sangat menyayangi laki-laki itu, ya Banjar tahu, Shayna pasti mencintai Reevin, bahkan melebihi dari dirinya sendiri. Rumah Om Aldino pun kini semakin sepi, Banjar menduga keluarga itu kini pindah tempat tinggal -- walau tak mengangkut harta bendanya, tapi Om Aldino termasuk orang yang berada, ia pasti punya rumah lebih dari satu.
Shayna yang dulu ceria, selalu petakilan dan hobi membaca n****+ kini mulai berubah, Shayna lebih suka berdiam diri, melamun, bahkan ia memilih untuk menelungkupkan wajahnya di meja saat istirahat atau jam kosong, tatapan Shayna pun kini lebih dalam, ia juga jarang berintraksi sekarang, benar-benar bukan Shaya yang biasanya.
Jam istirahat biasanya dimanfaatkan Shayna untuk pergi ke kantin dengan Banjar, Kevin juga Argi, tapi sekarang hobi itu sudah menghilang dari dirinya, ia hanya diam saat Sadira datang menghampiri ke kelasnya, dan mereka mengajak semua orang-orsng yang dulu dekat dengan Shayna untuk pergi ke kantin, meninggalkannya, tapi, sekali lagi ini bukan salah perempuan itu, Shayna tidak mau disalahkan atas semua ini, karena bagaimana pun Shayna berniat untuk melindungi Reevin, melindungi dirinya, ia tidak berniat yang buruk atas semua ini.
Banjar ... harusnya Banjar tahu saat Shayna diam, saat Shayna tak menegurnya, saat Shayna tak mau menyapanya, harusnya Banjar yang mengejar Shayna, harusnya Banjar tahu Shayna tak bisa lepas darinya harusnya Banjar mengerti tanpa Shayna yang memberikan kodenya, harusnya ..., harusnya ia tidak melakukan ini, Banjar pasti akan marah padanya kalau Banjar tahu ia melakukan ini tanpa bercerita kepada laki-laki itu, tapi, bagaimana pun, ia juga melakukan ini untuk Banjar, agar ia masih bisa melihat Banjar, melihat Reevin, melihat teman-temannya di sini, ia melakukan ini bukan semata-mata egois hanya karena dirinya, tidak, hanya saja, ia ingin melawan ayahnya, menentang semua apa yang dikatakan oleh ayahnya.
"Mending aku pindah sekolah aja deh ya Kak?" ucap Shayna frustasi, saat ini perempuan itu tengah bersama Dikta, dan kalimat itu yang selalu terucap dari mulut Shayna, kalimat keputusasaan itu yang selalu keluar dari mulutnya.
Kak Dikta yang menjadi satu-satunya alasan Shayna masih di sini menggeleng lalu menatap Shayna dalam-dalam, bila saja ini bukan sekolah, maka Dikta pastikan ia sudah menggenggam tangan Shayna, mengatakan beribu kalimat yang menenangkan, mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, Shayna harus bertaham sedikit lagi saja agar hujan yang kini turun dengan derasa dikehidupannya akan berubag menjadi pelangi yang indah. "Semuanya baik-baik aja, setelah ini, percaya sama Kakak," katanya pelan.
Shayna hanya bisa mengangguk, ternyata waktu istirahat sudah sepuluh menit berlalu yang tandanya tinggal lima menit lagi jam pelajaran berikutnya akan dilaksanakan. Dikta pamit untuk kembali ke kelas, sedangkan Shayna juga mengatakan ia akan ke toilet untuk buang air kecil.
"Jangan terlalu dipikirkan Shay, pikirkan saja bagaimana kamu harus tetap ada di sini," perkataan Dikta saat Shayna mengungkapkan bahwa lebih baik ia tak melihat Reevin lagi mengalun di terlinga perempuan itu. Kalian tahu apa yang paling membuat Shayna merasa bersalah untuk saat ini? Ya, meninggalkan dan menyakiti orang yang sudah menyayanggidirinya dengan tulus, yah Reevin dan mungkin termasuk juga Banjar, juga teman-temannya, semua orang yang tahu, yang dekat dengan Shayna pasti tengah bersedih, melihat bagaimana dirinya saat ini, semua orang juga pasti marah, kenapa dirinya makin tidak terbantahkan seperti ini, makin egois dan terlihat mau menang sendiri seperti ini.
Lalu apakah ini jalan yang benar yang diambil Shayna, atau Shayna harus mengikuti pilihan ke dua yang diberikan oleh ayahnya, pergi dan menghapus tentang Reevin di hatinya, menghapus semua kenangan dan tak akan berjumpa dengan Reevin lagi, sampai kapan pun.
"Oh Tuhan! Ada si perempuan tak tahu malu ini lagi." Shayna yang hanya menatap kosong ke cermin pun tak menghiraukan apa yang dikatakan Sadira yang baru saja masuk ke dalam toilet perempuan bersama dua temannya.
Sadira, perempuan itu awalnya hanya diam saat Shayna menghilang tiga hari, saat Shayna memutuskan secara sepihak Reevin, tapi yang tak bisa membuat Sadira diam adalah Shayna masih bisa tersenyum dengan Kak Dikta, perempuan itu terlihat begitu mempermainkan kakanya, dan jelas, Sadira tidak ingin melihat Shayna dengan tenang, Shayna harus tahu apa yang terjadi dengan kakaknya, begitu tersihka kakanya tanpa perempuan itu, begitu tersiksa Reevin karena ulang perempua itu.
Tidak, Sadira tidak menyukai Kak Dikta, ya walau Sadira tahu Kak Dikta tidak berbeda dengan Banjar, ia manis, tatapannya lembut juga baik dan perhatian, itu lah yang biasanya anak perempuan sebutkan, dan Sadira pikir juga begitu adanya.
Shayna tidak menjawab ledekan yang diberikan oleh perempuan itu, ia hanya membasuh ke dua bola matanya karena rasa ngantuk datang di setiap jam pelajaran ke empat, jam yang ternyaman untuk tidur, karena setiap malam setiap orang lain berisitirahat Shayna malah mengaung kesedihan, menyalahkan dirinnya karena kejadian yang terjadi saat ini.
Senggelon yang diberikan oleh Sadira kepada Shayna tak membuat Shayna terpancing, tanpa sadar Shayna merubah dirinya sedikit demi sedikit, ia harus banyak sabar, karena Shayna tahu ini semua akibat dari kesedihannya, Shayna juga ingin menjaga sikapnya, tidak ingin masalah ini semakin melebar dan menimbulkan banyak masalah setelahnya.
Tapi tidak, saat Shayna ingin keluar dsri kamar mandi, Sadira yang sudah geram dengan perempuan itu pun menjulurkan kakinya terlebih saat Shayna yang ia sindir tidak menjawab apa pun, Shayna hanya mendiamkan Sadira, dan itu semakin membuat dirinya terpancing untuk melukai perempuan itu, hingga akhirnya Shayna jatuh karena ulahnya baru saja, sebenarnya Shayna bisa saja menahan badannya, tapi ... tubuh Shayna yang sudah lemas dan juga kepalanya pusing membuat tubuhnya dengan mudah jatuh karena uluran kaki perempuan itu.
"Aduh!" Dan akhirnya Shayna benar-benar tersungkur, syukurnya Sadira yang hanya diam karena terkejut melihat keadaan Shayna pun kalah cepat untuk sadar saat Nia -- teman sebangku Shayna kini masuk ke toilet, dan melihat keadaan mengenaskan dari perempuan itu.
"Astaga! Lo apain Shayna?" Nia yang melihat Shayna mengapai kepalanya pun menatap Sadira dengan nyalang, Nia hanya diam saja saat melihat Shayna menggapai kepalanya, lalu sesaat kemudian Shayna pingsan, tak sadaran diri, perempuan itu kehilangan kesadarannya.
"Lo sumpah ya, Sadira Adiatma najis banget, lo!" Setelah menyumpahi begitu, Nia berteriak minta tolong, membuat beberapa murid di kelas yang dekat dengan toilet keluaran, dan melihat apa yang sudah terjadi di depan toilet perempuan.
Nia bukan orang yang baik juga bukan orang yang jahat, hidup Nia ngambang seperti adonan kue, terkadang dia memang menjadi anak baik terkadang lagi dia bisa menjadi orang yang paling jahat, tapi melihat kekerasan begini mampu membangkitkan rasa marah Nia! "Tolong Nu! Ada yang melakukan bullying," suara Nia yang nyaring dan berteriak bertubi-tubi membuat beberapa orang dari kelas yang terdekat dengan toilet pun keluar, kebetulan sekali yang mengajar di sana Ibu Marta, guru yang cukup kiler dan kadang garing, beliau terlihat berlari cepat saat keluar dari keras karena terdengar keributan, terlebihlagi saat beliau keluar kelas beliau melihat seseorang yang jatuh pingsan, karena melihat sorang siswi yang tergelatak di depan toilet, yah Nia memang sengaja tidak mengangkat Shayna dari sana, agar bisa menghalangi pintu masuk dan pelaku pendorong Shayna tak bisa keluar dari tempatnya, juga agar semua orang melihat bahwa Shayna terjatuh, tergeletak.
Terlihat Sadira dan dua temannya sedikit takut, Sadira pikir yang ia lakukan tak begitu kelewatan, ia hanya menjulurkan kakinya dan Sadira pikir Shayna akan terjatuh tanpa kehilangan kesadaran, Sadira pikir Shayna terlalu berlebihan kalau perempuan itu sampai pingsan seperti ini, atau jangan-jangan perempuan itu sengaja pura-pura pingsan, tapi, melihat bagaimana Shayna yang sama sekali tidak bergerak membuat Sadira jadi berpikir bahwa perempuan itu benar-benar kehilangan kesadarannya.
"Cepat bawa dia ke UKS," beberapa siswa yang ikut keluar dari kelas Ibu Marta pun bersama-sama menggotong Shayna, tapi karena kesusahan karena mereka takut menjatuhkan atau tak sengaja meraih bagian tubuh intim Shayna, akhirnya, Aldo sang ketua kelas 11 B Bahasa memilih menggendong Shayna sendirian. Aldo adalah teman satu extrakulirkuler Shayna di pacuan kuda, dan rasanya, ini tak menjadi masalah besar baginya untuk menggendong Shayna, karena Shayna terbilang perempuan yang memiliki body goals, perempuan itu bertubuh langsing.
"Yang berada di dalam sini, ikut sama Ibu buat jelasin semuanya di ruang guru." Ibu Marta mengilir matanya untuk menatap empat orang yang masih dalam status calon tersangka di toilet perempuan, yang mengakibatkan salah satus siswi pingsan.
Sedangkan Nia menggeleng sebentar, lalu berucap, "boleh saya ke kelas sebentar Bu, buat manggil teman saya buat jaga Shayna di UKS? Setelah itu saya langsung ke ruang guru, memberikan kesaksian saya," ucap Nia dengan mantap, tidak, Nia tidak bermakud untuk menyombongkan diri, ia hanya mengatakan apa yang ia lihat saja, toh urusan Shayna dan Sadira juga bukan masalahnya, jadi ia tidak tahu apa yang sebenarnya menjadi masalah dari dua orang ini, tapi, melihat Shayna yang dijahatai seperti ini, tidak akan membaut Nia diam begitu saja.
Ibu Marta menatap dengan mata menyipit, lalu bertanya Nia kelas berapa dan akhirnya mengganguk setelah Nia mengatakan ia akan segera menyusul Ibu Marta ke ruang guru.
Sadira yang sebetulnya 'anak baik' terlihat tak nyaman saat berjalan ke ruang guru di depan Ibu Marta, yah dia akhirnya digelandang menuju ruang guru, gampang saja sebenarnya mencari pelaku atas perbuatan ini, yaaaa yang berada di dalam toilet itu juga, karena Shayna jatuh tersandung.
Nia tersenyum miring saat masih melihat kelasnya tanpa guru, lalu ia mengetuk pintu kelasnya. "Ketua kelas," katanya yang membuat Banjar mengadah. "Gue mau ijin, tadi di toilet ada tragedi Shayna dibullying orang hingga pingsan, dan akhirnya gue sebagai saksi mau ke ruang guru dulu,” ucap Nia yang mengundang semua mata terarah padanya, kecuali mata Jevano yang kini sudah terlelap di bangkunya, dan mata Ecan yang kini masih berada di ponselnya.
Tidak hanya Banjar, Reevin dan beberapa temannya pun mengangkat pantan dan bertanya siapa yang membuat Shayna hingga pingsan.
"Sepertinya ... Sadira," jawaban itu membuat Reevin menggeleng tak percaya juga terkejut.
Sadira, membuat Shayna pingsan? Wah!
***