Bab 4. Berlian yang Bersinar

1558 Words
Berlian keluar dari dalam rumahnya. Begitu keluar, ia melihat Agam sudah menunggunya. Agam berdiri di samping mobilnya dan memegangi satu cup kopi. Tepat saat itu, Agam menoleh ke arah Berian yang keluar. Agam pun tersenyum sembari melambaikan tangannya. Berlian ikut tersenyum dan berjalan mendekat ke arahnya. "Pagi, Ber!" sapa Agam. "Aku sampai kaget! Kamu tiba-tiba muncul begitu?" kata Berlian sembari tersenyum ringan. "Tenanglah dulu. Ini, kopi untukmu." Agam memberikan cangkir kecil pada Berlian. "Terima kasih," jawab Berlian menerima kopi dari Agam. Berlian merasakan satu cup kopi yang sangat hangat di tangannya. Ia lalu mengendus kopi tersebut. Sekian detik kemudian, ia tersenyum. "Wah! Aromanya enak sekali!" ujar Berlian. "Tentu saja! Aku sengaja memesan yang spesial untukmu." Agam menaikkan kedua alisnya. Berlian lagi-lagi hanya tersenyum melihat tingkah lucu sahabatnya itu. "Oh iya, kenapa pagi-pagi begini sudah ada di depan rumahku?" tanya Berlian sembari menyeruput kopi tersebut. "Mau apa lagi? Tentu saja aku ingin menjemput tuan putri untuk diantar ke kantor," jawab Agam. Berlian menautkan kedua alisnya. "Siapa yang mau diantar olehmu? Aku ingin menyetir sendiri ke kantor," tolak Berlian setengah bercanda. "Ayolah, Tuan putri. Aku sudah merelakan sarapanku untuk bisa menjemput dan mengantarmu," kata Agam dengan nada memelas. Berlian mendengkus pelan. "Dasar! Memangnya siapa yang menyuruhmu?" Berlian kembali meminum kopinya. Agam memperhatikannya. Ada sebuah makna dalam dari tatapan Agam untuk Berlian. "Kamu ... baik-baik saja, kan?" tanya Agam ragu-ragu. Berlian pun tercekat mendengar pertanyaan Agam. Membuatnya menoleh. "Apa maksudmu? Memangnya apa yang akan terjadi padaku?" "Aku hanya khawatir kalau saja kamu meminum terlalu banyak pil atau tadi malam akibat bertemu dengan mantan suamimu," ujar Agam nampak tidak yakin. Berlian menautkan kedua alisnya. "Kamu pikir aku selemah itu? Berlian yang dulu sudah pergi. Sekarang aku menjadi orang yang terlahir baru!" Agam pun mengulas senyumnya. "Baguslah! Berlian yang sekarang memang jauh lebih bersinar!" Agam dan Berlian sama-sama tersenyum sebentar. Agam kemudian melihat jam tangannya. "Interview-mu sebentar lagi. Ayo, berangkat sekarang!" ajak Agam. "Aku, kan masih belum setuju mau berangkat bersamamu?" "Sudahlah ... kamu hanya tinggal menggantinya dengan mengundangku makan malam." Agam membukakan pintu untuk Berlian. Berlian sekali lagi tersenyum sembari menggelengkan kepala pelan. Akhirnya ia masuk ke dalam mobil Agam. Agam pun berjalan memutari mobilnya dan ikut masuk ke dalam. Hanya butuh waktu sekian detik, mobil Agam sudah melaju. "Akhir-akhir ini kamu sering menjemputku. Aku jadi merasa tidak enak?" ujar Berlian dalam mobil. "Aku yang merasa tidak enak. Kamu membantu mengerjakan proposalku kemarin. Jadi aku harus menggantinya," jawab Agam. Berlian mengulas senyum lagi. "Kamu merasa tidak enak hanya karena hal seperti itu? Padahal aku ...." Berlian mendadak terhenti berbicara. Tiba-tiba ia jadi teringat sesuatu. Sekitar dua sampai tiga tahun yang lalu. Memorinya terlintas dan ia seolah kembali lagi ke masa itu. "Belum selesai juga?! Mengerjakan laporan keuangan begitu saja belum selesai! Kamu benar-benar bisa apa tidak, sih?! Katanya lulusan terbaik, tapi kenapa laporan begini saja tidak bisa?!" "Mas, aku sudah semalaman tidak tidur hanya untuk laporan ini! Paling tidak Mas Satya membantuku! Mas Satya sendiri, kan juga tidur!" "Bodoh sekali kamu! Aku harus rapat pagi ini! Kalau aku mengantuk bagaimana?! Lihat! Ini sudah jam tujuh pagi! Aku harus ke kantor! Minggir sana! Biarkan aku meminta bantuan orang kantor saja!" Satya mendorong Berlian dari kursinya. "Ada apa, sih?! Pagi-pagi sudah ribut-ribut begini?" Suara ibu mertua Berlian muncul dari arah pintu kamar mereka. "Tidak apa-apa, Ma. Aku hanya mengajari perempuan t***l ini lebih bisa menghargaiku! Ber! Bukankah katanya kamu lulusan terbaik?! Jangan-jangan kamu bohong soal itu!" "Jurusanku desain, Mas! Aku belum pernah mengerjakan laporan keuangan sedetail itu!" "Halaaah! Cari alasan saja! Memangnya jurusan desain tidak perlu belajar keuangan?!" "Sudah ... sudah. Hentikan, Satya. Ini masih pagi. Simpan tenagamu untuk bekerja di kantor!" ujar ibu mertua Berlian lagi. Ia lalu menoleh ke arah Berlian dengan tatapan sinis. "Berlian! Cepat masak! Kamu tidak mau suamimu berangkat telat lagi, kan?!" "I ... iya, Ma." "Jangan lupa! Hari ini ini waktunya membersihkan kamar mandi dan menyeterika semua baju yang ada di rumah tengah! Sudah dua hari baju itu menumpuk! Apa saja yang kamu lakukan kemarin?!" "Maaf, Ma. Tapi hari ini aku sangat pusing. Semalaman aku tidak tidur mengerjakan laporan ini. Jadi—" "Kamu mau menyalahkanku?!" sela Satya sembari membentak. "Bu ... bukan begitu! Tapi aku—" "Memangnya kenapa kalau tidak tidur?" sahut mertua. "Orang-orang jaman dulu sudah biasa tidak tidur dan mereka lanjut bekerja! Dasar menantu manja tidak berguna!" "Berlian!" Berlian terkejut mendengar panggilan Agam yang saat ini di dalam mobil bersamanya. Seolah ia tengah terhenyak dan baru sadar atas sesuatu. Ia langsung menoleh ke arah Agam. "Apa kamu baik-baik saja? Kenapa kamu tiba-tiba seperti melamun begitu?" "Aaah ... tidak apa-apa. Mendadak aku jadi teringat sesuatu." "Minumlah kopinya dan tenangkan dirimu." "Aku tidak apa-apa," jawab Berlian tersenyum getir. "Apa kamu teringat masa lalu bersama mantan suamimu lagi?" "Aku hanya bingung dengan diriku. Aku pikir selama ini aku pintar menilai orang. Tapi ternyata tidak." Berlian menundukkan pandangannya. Agam terdiam mendengarkan. "Kamu menjemputku dan mengatakan tidak enak karena hal kecil. Sedangkan mantan suamiku selalu tidak puas dengan apa yang aku lakukan. Dia juga tidak pernah menghargaiku. Saat bersama Satya aku selalu berusaha mengikuti keinginannya, sehingga aku kehilangan jati diri. Waktu itu, aku benar-benar tidak mengenali diriku." "Tidak masalah. Kamu hanya melakukan satu kesalahan. Kalau tidak melakukan kesalahan, bukankah kita tidak pernah belajar? Kesalahan itulah yang menjadikanmu kuat. Berlian yang sekarang sudah jauh lebih baik," ujar Agam menghibur Berlian. Berlian pun jadi menoleh ke arah Agam. "Terima kasih banyak," kata Berlian tersenyum terharu. "Kamu tahu, kan? Sejak kuliah kamu adalah teman yang paling bisa diandalkan?" "Tentu saja!" timpal Agam dengan nada bercanda. Mereka sama-sama saling tertawa kecil. Berlian masih memandangi Agam yang menyetir. "Aku bersyukur bisa menjalin bisnis denganmu," kata Berlian lagi sembari tersenyum. Agam pun menoleh ke arah Berlian. "Aku juga sangat bersyukur, bisa dipertemukan denganmu lagi," tanggap Agam dengan tatapan dalam. Berlian hanya tersenyum meresponnya. Agam kembali memperhatikan jalan. "Ngomong-ngomong, apa kamu tidak mencemaskan sesuatu?" tanya Berlian yang mengganti percakapan. "Mencemaskan apa?" "Usiamu sudah tiga puluh empat dan kamu masih belum menikah. Padahal Agam yang sekarang adalah seorang pengusaha desain interior klasik yang sukses. Apa kamu tidak berpikir untuk mengencani salah seorang perempuan yang mungkin bisa dipertimbangkan sebagai calon istri?" tanya Berlian dengan menaikkan salah satu alisnya. "Jadi kamu masih belum tahu kalau selama ini aku hanya menginginkanmu, ya?" gumam Agam dalam hati. "Entahlah? Mendengar semua ceritamu, aku jadi takut menikah," jawab Agam. "Kenapa kamu membandingkan dengan kehidupanku? Aku yakin kalau orang sepertimu bisa membangun rumah tangga yang bahagia. Bagaimana? Apa kamu sudah mau melakukan kencan buta?" tawar Berlian. Agam terdiam mendengar pertanyaan Berlian. Terlintas sesuatu di dalam kepalanya. "Kencan buta?! Tidak! Aku sama sekali tidak tertarik!" kata Agam yang berbicara melalui ponselnya. "Sudahlah, Gam. Lupakanlah cinta pertamamu itu. Dia pasti sudah menjalani kehidupan bahagia dengan suaminya. Toh sudah dua tahun berlalu. Apa kau akan melajang selamanya?" "Agam!" panggil Berlian menyadarkan Agam yang hatinya menjelajah memori beberapa tahun lalu. "Ah! Maaf, aku mendadak teringat salah seorang temanku. Dia juga selalu menyuruhku kencan buta. Bahkan, kadang-kadang dia dengan seenaknya mengatur jadwal kencan buta untukku tanpa memberitahuku dulu. Tapi aku tidak pernah datang." "Kenapa?" "Karena ada seorang perempuan yang aku sukai," jawab Agam sembari melihat ke arah Berlian sembari tersenyum memberi kode. "Benarkah?! Siapa dia?! Apa dia juga teman kita waktu kuliah dulu?!" Sayangnya Berlian tidak menyadari kode tersebut. "Ya. Dia juga mengambil jurusan desain. Dia sangat pintar, tapi juga polos dan lugu." "Wah! Aku jadi penasaran! Siapa kira-kira perempuan yang belum menikah di jurusan desain kita, ya?" ujar Berlian sembari mengingat-ingat dan berpikir. Agam melirik ke arahnya dan tersenyum. "Lihatlah! Betapa polosnya dirimu?" gumam Agam dalam hati lagi sembari menggelengkan kepala pelan. "Ah! Jangan-jangan dia adalah Tania yang selalu diam di kelas itu, ya?!" tanya Berlian. Agam tersenyum geli. "Mana mungkin?! Tania sudah memiliki dua anak sekarang. Aku bahkan datang di acara pernikahannya." "Benarkah?! Aku sama sekali tidak tahu?! Lalu siapa, ya?" "Sudahlah! Berhenti berpikir yang macam-macam! Sekarang kita sudah sampai. Lihat itu! Banyak sekali wartawan yang menunggumu di luar, bukan?" kata Agam menunjukkan gerombolan orang yang tengah berkumpul berdiri di depan kantor Berlian. Membuat Berlian menoleh ke arah yang ditunjuk Agam. "Wah! Aku tidak menyangka akan sebanyak ini?" ujar Berlian. Agam memarkir mobil di tempat parkir. Setelah itu ia mematikan mesin mobilnya. Mereka berdua melepaskan sabuk pengaman mereka. Agam kemudian menoleh ke arah Berlian. "Apa kamu sudah siap?" tanya Agam. "Kapan pun! Aku sudah menyiapkan semua jawaban atas pertanyaan mereka!" jawab Berlian percaya diri. "Bagus! Berlian memang selalu bersinar. Ayo kita keluar mobil," ajak Agam. Berlian mengangguk mantap. Agam keluar mobil lebih dulu. Ia memutari mobil dan membukakan pintu untuk Berlian. Berlian keluar dengan ayunan langkah anggun dan selalu terlihat elegan. Begitu Berlian keluar, para wartawan langsung menyerbu mobil Agam untuk mengerumuni Berlian. Berlian memasang badan percaya diri menunggu kedatangan mereka. "Nona Berlian! Kami tidak menyangka ternyata pimpinan Glory Garment yang misterius itu adalah Anda. Ngomong-ngomong, kenapa Anda menyembunyikan identitas Anda selama ini?" Satu pertanyaan dari salah satu warga melayang ke arah Berlian. "Sebenarnya, saya tidak pernah berniat menyembunyikan identitas. Selama ini banyak yang menjalin kerja sama dengan perusahaan saya. Ada yang tulus, ada yang modus. Dari sanalah akhirnya saya tidak pernah mengungkap identitas diri dan diam-diam mempelajari mereka. Setelah ini, saya jadi tahu siapa yang tidak tulus dan hanya bermain-main saja. Dan saya akan segera memutus kontrak mitra bisnis dengan beberapa perusahaan yang sama sekali tidak kompeten bagi saya!" tegas Berlian dengan gayanya yang elegan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD