Pernikahan itu akhirnya terjadi juga. Dilangsungkan di sebuah masjid. Osman dan Orin telah sah menjadi suami istri di mata agama.
Ikmal sudah menyediakan rumah dinas lain sebagai tempat tinggal, untuk Osman dan Orin. Rumah yang sama besarnya dengan rumah yang dihuni oleh Osman dan Naomi.
Pulang dari masjid, Osman memarkirkan mobil di halaman rumah, keluar dari mobil, membawa tas miliknya sendiri, berisi laptop.
Orin susah payah mengeluarkan koper dan tas besar yang berat, berisi pakaian dan semua perlengkapan miliknya. Kesusahan ia menarik tas besar bersamaan dengan koper memasuki rumah. Napas sampai ngos-ngosan. Sialnya, roda koper malah nyangkut di celah antara teras dan got kecil tempat aliran air.
Entah bagaimana roda koper bisa nyangkut di sana.
"Kamu yakin tidak mau membantu aku?" Orin tersenyum lebar melirik Osman yang melenggang santai, membiarkan dirinya kesusahan sendiri.
Pria itu tidak merespon, tetap berjalan. Tidak pernah terbayang olehnya akan terjebak dalam pernikahan yang tidak diinginkan ini. Orin hanyalah sosok yang tidak diharapkan. Yang membuat benaknya merasa kesal.
Suara gaduh di belakang sebenarnya cukup mengganggunya, namun ia berusaha untuk tidak peduli. Ia tahu bahwa kegaduhan itu bersumber dari suara koper Orin yang ditarik-tarik.
Apakah Orin belum berhasil juga mengeluarkan roda koper yang tersangkut? Osman penasaran. Hatinya yang memang kerap mudah iba itu luluh dan menoleh.
Orin masih berjuang dengan pekerjaannya. Membungkuk untuk mengeluarkan roda koper yang terjepit. Sesekali lengan gadis itu mengusap pelipis yang berkeringat.
Osman akhirnya mendekati Orin setelah meletakkan tas kerjanya ke meja.
Senyum Orin mengembang lebar menatap Osman yang membungkuk di hadapannya untuk mengeluarkan roda koper dari jepitan.
"He heee... Akhirnya kamu membantuku juga." Orin senang sekali. Wajah ayu itu semakin terlihat menawan saat tersenyum, barisan gigi kecil-kecil yang rapi dipamerkan.
Osman berhasil menarik koper dan membawanya masuk ke rumah, meletakkan begitu saja di tengah-tengah ruang tamu.
"Aku susun baju sendiri ya? Atau kamu bantuin?" Gadis lincah itu langsung menyambut gagang koper yang terabaikan.
Tidak menjawab, pria bertubuh gagah itu melengos pergi, memasuki kamar.
"Ha haaa... Kenapa buru-buru sekali masuk kamar? Ini masih siang. Jangan ngebet ah." Orin menyusul masuk ke kamar. Saking semangat menggeret koper dan menenteng tas besar yang berat, malah ujung koper menabrak kaki Osman yang berhenti di tengah-tengah ruangan kamar.
"Sorry." Orin mengangkat dua jari tanda peace sambil tersenyum. Kepalanya miring ke kiri dan kanan.
Pria berhidung mancung itu menatap tanpa respon, dingin sekali seperti es balok. Mukanya datar tanpa ekspresi. Dan tatapannya pun sangat dingin.
Sikap itu membuat Orin merasa sangat penasaran. Lelaki dingin dan cuek justru memberikan kesan menantang.
Tunggu dulu, jantung Orin berdegup kencang. Ada apa ini? Apakah dia jatuh cinta? Ah, kenapa rasanya menjalar sampai ke hati? Ada yang berbunga- bunga di dalam sana. Tidak pernah ia merasakan hal seperti ini seumur hidupnya. Dia hanya menghabiskan kesehariannya dengan kesenangan, tanpa bermain perasaan. Kali ini, rasanya sungguh sulit dijabarkan dengan kata-kata.
Orin melirik Osman yang membeku bak es kutub sebelum akhirnya membuka lemari, menyusun pakaiannya di lemari itu.
Pria itu berlalu begitu saja.
Orin menghentikan kegiatannya menyusun baju. Duduk di lantai sambil berpikir, berapa lama ia akan menyusu pakaian sebanyak ini? Dia lalu meninggalkan kamar untuk mencari Osman. Di beberapa ruangan, pria itu tidak ditemukan. Dan saat melewati kamar lain, ia mendapati pintu sedikit terbuka. Tangannya meraih handle pintu, mendorong hingga terbuka lebar. Ia berdiri di pintu dan membeku di tempat.
Osman sedang shalat. Posisi sujud.
Perasaan Orin seperti melayang menyaksikan hal itu. hatinya basah. Suaminya adalah sosok yang taat. Wajah pria itu terlihat lebih bercahaya, bersih oleh sapuan air wudhu.
Orin terpaku menatap gerakan demi gerakan shalat yang dilakukan oleh Osman. Pria itu sangat khusyu’. Sedangkan Orin? Dia tidak pernah shalat. Bahkan lupa dengan sebagian bacaannya. Juga lupa kapan terakhir shalat. Sepertinya waktu dia kecil dulu, saat masih memiliki ayah.
Orin langsung pergi saat melihat gerakan Osman sudah pada tahiyat akhir. Sebentar lagi pria itu selesai shalat.