"Iya kamu hamil, Sayang. Hamil anakku."
"Gak! Gak mungkin!" Dia menggelengkan kepala. Wajahnya terlihat syok.
"Dokter Al bilang kamu hamil, jadi ya artinya kamu hamil. Aah senangnya aku akan jadi ayah."
Neni terus menggeleng-gelengkan kepala. Dia langsung beringsut menjauh saat aku mendekat ke arahnya.
"Tenang saja, tidak usah takut hamil. Aku akan bertanggung jawab, Sayang."
"Aku gak sudi nikah sama kamu!" sahutnya sinis.
"Mau tidak mau, kamu harus nikah sama aku. Demi anak yang kamu kandung, Sayang." Aku mendekat lalu menyentuh pipinya. Neni langsung menepis tanganku. Dia kembali mundur.
Pergi! Pergiiii!" Teriaknya dengan wajah sangat ketakutan. Bantal dia lempar ke arahku dan aku dengan cepat menangkapnya.
"Diamlah. Jangan menangis. Jangan menangis, Sayang. Aku pergi. Aku akan pergi. Diam, ya? Diam." Lalu, aku melangkah mundur pelan-pelan. Tiba-tiba saja, tanganku disambar dari belakang.
"Kau ni apa-apaan lah, Ra! Bisa-bisanya kau buat Neni ketakutan macam begitu!" Redi menuding ke arah Neni yang terisak-isak. Wajahnya terlihat sangat ketakutan.
"Aku tidak ada niat menakutinya, Red. Aku hanya memberitahunya bahwa dia hamil anakku. Itu saja."
"Gak! Gak! Aku gak mungkin hamil!" Teriak Neni, wajahnya terlihat begitu panik.
"Ada apa ini ribut-ribut?" tanya dokter Al sambil berjalan mendekat, dia memandangku lalu masuk ke dalam kamar.
"Yok, pergi dari sini!" Ajak Redi sambil menarikku keluar dari ruangan. Aku berjalan sambil sebentar-sebentar menoleh ke belakang. Neni sedang ditenangkan oleh dokter Al.
"Sikap kau malah buat Neni tambah takut, Ra. Kau harus belajar kendalikan diri."
"Aku tidak ada niat menakutinya, Red. Aku hanya bilang padanya ingin menikahinya. Itu saja."
"Tapi kehadiranmu membuat Neni takut. Lebih baik kita pulang. Yok. Kuantar kau ambil motor di halaman rumah ibunya Zain. Kalau tak kau ambil sekarang, takutnya ada yang curiga bahwa kau barusan buat anak orang pingsan."
Tanpa banyak bicara, aku pun mengikuti Redi. Aku segera membonceng di belakang Redi, kami pun menuju rumah ibunya Zain. Pintu rumah ibunya Zain dalam keadaan tertutup rapat. Tampak Putri, anaknya Zain, keluar dari pintu samping, berjalan ke halaman dengan membawa sapu lidi juga cikrak. Saat tatapannya tertuju kemari, anak itu langsung tersenyum. Putri kelas 3 SMA. Anak Zain itu sejak kecil tinggal dengan neneknya.
"Pagi Om Rediiii?" Sapa Putri sambil mengulurkan tangan pada Redi. Redi menerima uluran tangan Putri, Putri segera mencium tangan Redi.
"Pagi Om Taraaa?" Sapa Putri. Tapi dia tidak mengulurkan tangannya padaku. Anak Zain ini memang lebih dekat dengan Redi daripada denganku.
"Ayah belum ke sini, kalau-kalau Om cari Ayah," ucap Putri, tatapannya tertuju pada Redi. Setiap hari, Zain selalu ke rumah ibunya untuk membuat bonsai kepala. Zain bukan hanya membuat bonsai, tapi juga jualan bunga dan ikan hias.
"Yasudah kalau ayah kau belum ke sini, aku balik dulu. Nanti balik ke sini lagi, mau beli bonsai."
"Iya, Om. Om udah makan, kah?" Putri memandang Redi. Putri memang begitu perhatian pada Redi. Dia itu menganggap Redi ayahnya. Begitu halnya Redi, dia menganggap Putri seperti anaknya sendiri. Saat Putri kecil dulu, Redi sering ceboki Putri, juga mengantar Putri sekolah. Putri itu anak Zain dengan Talita. Talita diperkosa oleh Zain dan Talita hamil. Putri diasuh Zain sementara Talita tidak tahu pergi ke mana.
"Udah. Aku pulang dulu, lah. Punya uang, tak?" tanya Redi, dia menatap Putri penuh sayang.
"Punya. Tinggal 100 ribu."
Redi merogoh saku celananya mengeluarkan dompet. Lalu dia mengeluarkan 3 lembar uang seratusan ribu dan mengulurkannya pada Putri. Putri langsung menerimanya. Bibirnya tersenyum senang.
"Makasih, Om." Putri mendekat lalu, cup. Mencium kening Redi. Redi memandangku lalu dia nyengir kecil.
"Anak Zain memang kebiasaan cium aku."
"Aku gak dicium juga, Put?" ucapku. Putri langsung nyengir.
"Yok cabut, Ra," kata Redi sambil menstarter motornya. Aku ikut menstarter motor juga. Putri melambai-lambaikan tangannya.
"Bye bye Om! Jangan lupa nanti ke sini ya, Om?"
"Liat tar kalau tak malas," sahut Redi. Kami pun keluar dari rumah Zain.
"Dekat sekali kamu sama Putri, Red."
"Dari dululah kami dekat. Aku ni ayah keduanya Putri. Pulang ke rumah, Ra! Jangan melipir-melipir kau!" kata Redi setibanya di gang menuju rumahnya.
"Siip," kataku. Begitu dia masuk gang menuju rumahnya, aku segera menambah kecepatan, ingin segera bilang pada Bapak dan Ibu bahwa aku ingin kembali melamar Neni. Aku yakin kali ini pasti diterima karena Neni sedang hamil anakku.
"Bu, I-buu! Neni hamil, Bu! Neni hamil! Aku akan menikahinya, Bu! Akan menikahinya!" Teriakku kegirangan, aku berjalan mendekat ke arah Ibu yang sedang memasak lalu memeluknya dari belakang.
"Bu, aku akan nikah dengan Neni, Bu! Neni hamil, Bu! Neni hamil anakku, Buu! Hamil anakku!" Teriakku senang. Bapak mendekat dengan membawa golok yang tampak amat tajam.
"O lha bocah geblek," kata Bapak, mengacungkan golok yang dibawanya padaku.
*Btw dicerita ini, Putri belum nikah, yaa. Kalau dicerbung, Suamiku Sangat Marah Saat Tahu Aku Masih Perawan Putri udah nikah. Jadi urutan cerita ini tu,
1. Nafkah Batin 21+ (Tamat) karya Soh. Nafkah Batin kisah Cinta dan Zain, lucu romantis dan tegang kisahnya.
2. Hati-hati dengan Status WA-mu karya aku juga. Lalu yang ke
3. baru deh cerbung, Suamiku Sangat Marah Saat Tahu Aku Masih Perawan (Tamat) kisah Putri dan Om Redi yang akan bikin kalian lebih banyak tertawa sepanjang cerita, sedihnya hanya dikit banget.
Tapi waktu itu, aku UPnya malah duluin cerbung, Suamiku Sangat Marah Saat Tahu Aku Masih Perawan dulu dan cerbung, Hati-hati dengan status WA-mu malah belakangan UPnya padahal harusnya Hati-hati dengan status WA-mu dulu baru Suamiku Sangat Marah Saat Tahu Aku Masih Perawan. Tapi tenang aja tetep nyambung, kok. Hanya dicerbung HATI-HATI DENGAN STATUS WA-MU Putri dan Om Redi belum nikah. Jadi mungkin yang udah baca cerbung, Suamiku Sangat Marah Saat Tahu Aku Masih Perawan agak ngerasa aneh, gitu.