Bab 5 : Kucing Dan Tikus

1094 Words
Alea membuka mata perlahan, bola mata indah itu bergerak ke kiri dan ke kanan, menelisik setiap sudut ruangan yang tertangkap netranya, sambil mengingat apa yang sedang terjadi. Matanya membulat saat ingat terakhir ia tertidur sembari menunggu Fahry. Dia menoleh pada tubuh yang sudah tertutup selimut. Seketika dia bangkit dari posisi tidur dan duduk di atas ranjang itu. Dengan wajah cemas, dia mengintip ke balik selimut yang menutupi tubuh. Pikiran buruk sudah mulai hinggap di otak pintarnya. "Alhamdulillah." Alea bernapas lega. Pakaian yang ia kenakan sekarang, masih sama dengan saat sebelum ia tertidur. "Jangan khawatir. Saya gak selera lihat kamu." Tiba-tiba suara berat seorang pria terdengar di telinga. Ia menoleh ke arah sumber suara. Fahry sedang duduk santai di sofa sambil berpangku tangan, menatap ke arahnya. "Siapa yang tahu, Bapak itu, 'kan, gak bisa lihat cewek, matanya yang keranjang langsung ijo," sinis Alea sambil menyibak selimut yang menutupi tubuh lalu turun dari tempat tidur. "Sekalipun saya suka lihat cewek, tapi saya juga pilih-pilih kali, cewek seperti apa yang saya nikmati." "Iya pilih-pilih, kalau ceweknya ada banyak pilihan, kalau di sini hanya ada saya, Bapak mau apa?" tukas Alea sambil duduk di kursi depan cermin dan mulai membersihkan wajah dari make-up. "Ya Tuhan, Alea, ngaca dong. Kamu itu nggak ada apa-apanya dibanding Ardita atau pun cewek seksi di luar sana," ejek Fahry. "Eh, kok Bapak jadi bandingin saya sama dia." Alea memutar tubuh menghadap Fahry yang masih duduk di sofa dengan santai. "Memang kenyataannya kayak gitu, kok. Badan kamu itu nggak ada bagus-bagusnya," sahut Fahry seraya memindai tubuh Alea dari atas kepala sampai ujung kaki dengan tatapan mengejek. "Eh, Bapak, dijaga, ya, itu mulut." Alea menatap tajam atasan merangkap suaminya itu. "Ya Tuhan, Alea. Apa kamu tidak sadar? Badan kamu itu udah kaya triplek berjalan. lurus gak ada menggodanya-menggodanya sama sekali." "Eh, Bapak, kok, jadi body shaming sama saya." Alea berdiri sambil berkacak pinggang, menatap Fahry dengan penuh emosi. "Mau dilihat dari sudut mana pun Ardita tetap lebih baik," kata-kata pedas yang justru akan Fahry sesali di kemudian hari itu meluncur tanpa filter dari mulutnya. "Oh, ya? Tapi setidaknya, saya tidak membuat keluarga Anda malu," balas Alea sambil menatap sinis pada Fahry dengan sebelah sudut bibit terangkat membuat pria itu tidak berkutik. Alea melenggang masuk ke kamar mandi tanpa peduli lagi pada Fahry yang diam seribu bahasa dan mengunci pintu. Ia menyalakan keran air untuk menyamarkan isak tangis. Ya. Alea yang terlihat begitu kuat di depan Fahry, kini sedang terduduk di lantai kamar mandi. Hatinya begitu sakit saat pria yang kini jadi suami, membandingkan dia dengan wanita lain, yang bahkan telah dengan sengaja pergi di hari pernikahan mereka. Dan wanita itu pula yang membuat Alea harus terjebak pernikahan penuh drama. Dengan segenap tenaga yang tersisa Alea bangkit, ia harus kuat sampai waktunya tiba. Setelah balas budinya pada orang tua Fahry terbayar lunas, ia akan mengakhiri semua drama ini. "Kuat, Al. Kamu harus kuat. Hanya tiga bulan saja. Setelah itu kamu akan bebas." Alea berdiri di depan cermin. Bicara pada pantulan diri. "Tapi tiga bulan itu lama," keluhnya lagi. Sementara Fahry, tengah mondar-mandir dengan gelisah di depan pintu kamar mandi. Tadi saat melintas, samar-samar dia sempat mendengar isak tangis seseorang di dalam kamar mandi. Fahry menempelkan telinga ke pintu untuk memastikan. Ya, dia yakin itu suara orang menangis yang berbaur dengan suara air mengalir. Pikiran pria itu pun mulai kalut, takut terjadi apa-apa dengan gadis yang ada di dalam sana. Ia sadar, bahwa ucapannya tadi terlalu berlebihan dan pasti menyakiti hati Alea. Benar, seharusnya dia berterima kasih pada Alea, karena gadis itu sudah berkorban demi menyelamatkan nama baik keluarga, yang hampir saja dipermalukan oleh Ardita, wanita yang selama ini ... Ah, Fahry tak yakin akan perasaannya pada gadis bernama Ardita itu. Selama bertahun-tahun bekerja dengannya, Alea tidak pernah mengecewakan, dia selalu bekerja dengan baik. Dia hanya punya mulut yang pedas dan tidak segan membantah apa pun yang Fahry perintahkan, jika menurut Alea itu bukanlah hal yang baik. Lama Fahry bulak-balik tapi masih tidak ada tanda-tanda bahwa Alea akan keluar dari kamar mandi, membuat Fahry semakin cemas. Dalam hati, dia takut gadis itu melakukan hal yang tidak-tidak. Fahry kembali ke tempat tidur dan duduk di tepi ranjang itu, matanya terus tertuju pada pintu kamar mandi. Ia memutuskan untuk menunggu beberapa saat lagi. Jika Alea tidak juga keluar, maka ia akan mendobrak pintu kamar mandi tersebut. Akhirnya pria arogan itu bisa bernapas lega saat melihat pintu kamar mandi terbuka, seorang gadis yang ia khawatirkan muncul dengan wajah lebih segar dan rambut tertutup handuk. Baju tidur lengan panjang lengkap dengan celana panjang sudah menutupi tubuhnya. Berkali-kali Fahry berucap syukur dalam hati, karena apa yang ia takutkan tidak terjadi. Gadis itu malah sedang menatap jengkel padanya. "Bapak ngapain ngeliatin saya kayak gitu?" Suara dengan nada dingin itu terdengar dari si mulut pedas. "Tidak apa-apa." Fahry membuang pandangannya ke arah lain Ia lalu bersiap untuk tidur. "Terus Bapak ngapain di situ?" ketus sang gadis. "Ya tidur, lah. Kamu pikir saya mau ngapain?!" jawab Fahry tak kalah ketus. Ia sedikit menyesali karena tadi sempat khawatir pada gadis itu. "Enggak. Bapak tidur di sofa. saya tidur di ranjang," titahnya. Eh, apa-apaan ini? Yang bos itu 'kan aku, kenapa dia yang main asal perintah? protes Fahry dalam hati. "Enak saja. Saya yang bayar hotel. Saya yang bayar semuanya. Masa saya tidur di sofa?! Gak mau." Tentu saja Fahry menolak mentah-mentah perintah Alea. "Saya tidak peduli! Saya gak mau tau, pokoknya Bapak tidur di sofa. Titik." Alea berkata dengan tegas, matanya menatap nyalang sang bos. Rasa kesal pada pria itu belumlah hilang. Dan kebetulan sekali sang pria berulah. Jadi Alea bisa melampiaskan emosi yang ia tahan, langsung pada orang yang tepat. "Kamu jangan seenaknya, gitu, ya. Saya ini atasan kamu." Meski sedikit bergidik melihat tatapan Alea yang penuh emosi, tentu saja Fahry tak ingin terlihat bahwa nyalinya kini hampir saja menciut. "Iya, Bapak memang atasan saya, tapi itu kalau di kantor. Kalau di sini Bapak adalah suami saya dan Bapak sudah janji sama saya akan mengikuti keinginan saya. Apa Bapak tidak ingat ucapan Bapak tadi saat memaksa saya menikah dengan Bapak?" ujar Alea, bicara dengan penuh penekanan. "Oh, atau perlu saya ingatkan lagi? Atau ... saya perlu telepon orang tua Bapak untuk mengingatkan semua ucapan Bapak?" lanjut Alea, bicara penuh ejekan seraya mendengkus saat melihat Fahry tak berkutik. "Dasar tukang ngadu!" Fahry meraih salah satu bantal dan menyambar selimut yang tadi dipakai Alea. "Biarin. Kalau Bapak macam-macam, saya bisa telepon Mama Papa dan melaporkan semuanya," ancam Alea, berucap santai tanpa beban. "Awas kamu, Alea. Saya balas nanti." Fahry balik mengancam. "Saya tunggu!" tantang Alea, tanpa takut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD