PART 7. Yang Terpilih
Sudah ada tiga puluh menit Arlo berdiri di teras panggung rumahnya. Kini, ia sedang menatap Cashel yang sedang berjalan menuju tempatnya.
“Kenapa dia ada di sini?” tanyanya begitu Cashel sampai di dekatnya.
“Kamu melihat rupanya.” Balas Cashel.
“Aku sudah di sini sejak gadis bodoh itu membuat ikan-ikan koi piaraanku, pusing dengan ulahnya,” balas Arlo.
“Wah, kamu sepertinya akan membahayakannya.”
“Kamu khawatir?”
“Sebaiknya jaga dia baik-baik, aku akan membunuhmu jika sampai kelinci liarku itu kamu lukai.”
“Kelinci liar?”
“Hahahaha, dia tidak mau mengatakan namanya kepadaku. Jadi aku menamainya itu.” Arlo memutar badannya, melihat tumpukan kertas di atas meja. Cashel yang melihat itu langsung bergerak cepat dan duduk di kursi. Arlo langsung memukul tangannya manakala pria itu hampir menyentuh dokumen yang ada di meja tersebut.
“Wah, kamu tertarik juga untuk melihat,” goda Cashel
“Sama sekali tidak. Tetapi kamu tidak boleh sembarangan menyentuh milikku.”
“Gadis itu milikmu juga?” Cashel penasaran.
“Kamu boleh memilikinya kalau mau.” Datar Arlo menjawab.
“Serius, Arlo. Kalau kamu benar-benar tidak bisa menjaga dia, maka aku akan mengambilnya darimu.”
Arlo tidak menjawab ocehan Cashel. Sebagai gantinya, pria itu mengambil semua file yang ada di meja, lalu membawanya masuk ke ruangan kerjanya. Cashel menggeleng pelan melihat tingkah kakaknya. Senyuman samar tidak lepas dari bibirnya, ketika dia menuruni tangga menuju kediamannya sendiri.
***
Di ruangan kerjanya, Arlo langsung menaruh semua dokumen di atas meja. Pria itu duduk di kursi andalannya. Lalu membuka dokumen di depannya. Empat bundle file ia lewati begitu saja, saat wajah di photo itu tidak dia kenali. Kemudian dia berhenti pada satu poto yang sengaja ia cari. Wajah yang tidak menampakkan senyum sama sekali namun mengandung chemistry. Perlahan pria itu membaca nama yang tertera.
“Ayara Hayu,” gumam Arlo. “puisi cantik, sederhana sekali, apa maksudnya dengan nama itu?”
Arlo meraih telepon yang ada di depannya. Memijit nomor yang yang sudah dia hafal di luar kepala.
“Datangkan perempuan bernama Ayara Hayu kemari,” kata Arlo begitu panggilannya tersambung.
"Baik, Tuan Muda," balas suara dari seberang.
***
Ayara sedang membaca buku ketika pintu kamar diketuk seseorang dari luar. Salah satu dari mereka membukakan pintu. Seorang wanita setengah baya, berpakaian rapi, berdiri di ambang pintu.
“Yang memiliki nama Ayara Hayu, keluarlah!” perintahnya. Ayara langsung menaruh buku yang sedang ia baca. Di kamar itu memang disediakan perpustakaan kecil, Nawang sengaja menaruh perpustakaan di setiap ruangan, karena dia ingin semua pekerjanya memiliki wawasan. Ayara berjalan keluar kamar.
“Ikutlah denganku,” kata wanita itu lagi. Ayara mengangguk patuh.
Wanita itu membawa Ayara melintasi taman yang sudah ia ketahui, karena tadi pagi dia sudah berjalan-jalan ke tempat tersebut. Sebenarnya dia penasaran akan dibawa ke mana, tetapi dia sedang tidak ingin berbicara, malas jika wanita di depannya itu akan memberinya banyak pertanyaan jika dia memulai.
“Dari mana asalmu?” Usaha Ayara untuk menghindari pertanyaan tidak berhasil. Wanita itu mengajukan pertanyaan.
“Dari Sendang Ayu, Bu.” Ayara menyebutkan daerah kelahirannya dulu.
“Berapa saudaramu?”
“Tidak ada.” Wanita itu berhenti. Mentapa wajah Ayara lekat-lekat.
“Bagaimana bisa, anak tunggal diijinkan melamar menjadi seorang pelayan?”
“Tidak akan ada yang peduli saya mau bagaimana.” sahut Ayara datar. Kening wanita itu mengernyit.
“Kenapa?”
“Saya sudah yatim piatu sejak kecil.”
“Oh.” Wanita itu menatapnya iba, "kasihan sekali kamu, Nak."
Ayara tidak menanggapi.
“Lalu bagaimana dengan hidupmu selama ini?”
“Saya hidup di jalanan.” sahut Ayara asal.
“Sebab itu kamu memilih menjadi pelayan di sini?”
“Ya.”
Keduanya sampai di depan rumah berwarna putih dengan kombinasi warna kayu. Seorang pria penjaga pintu menyambut mereka. Wanita dan pria itu berbicara sebentar, kemudian si wanita menyerahkan Ayara kepada pria tersebut.
“Bersabarlah dengan apa yang akan kamu alami di sini.” bisik wanita itu sebelum meninggalkan Ayara.
Sejenak Ayara terkesima. Apa yang kualami? Apa yang akan terjadi?
“Ikut denganku, Nona.” Pria penjaga pintu mengajak. Ayara mengangguk patuh, berjalan mengikuti pria yang belum dikenalinya. Mereka melintasi lorong remang-remang, Ayara waspada.
Keluar dari lorong, keduanya sampai di depan pintu dengan ukiran unik, dan bertuliskan, “DILARANG MASUK” dengan huruf kapital. Pria itu mengetuk pintu.
“Tuan, gadis itu ada di sini.”
“Suruh masuk!” Balas suara dari dalam, memberi perintah. Pria itu membuka pintu.
“Silakan, Nona.” Ayara melangkah dengan hati-hati. Nyalinya sedikit menciut mana kala pintu di belakangnya langsung tertutup kembali. Apa yang akan kuhadapi di sini? Bayangan wanita yang membawanya kemari kembali melintas. Bersabarlah dengan apa yang akan kamu alami di sini.
Walaupun sudah mempersiapkan diri sejak pertama masuk ke rumah keluarga itu, Ayara tetap merasa takut.
“Tempat apa ini?” bisiknya. Ia mengedarkan pandangannya. Di sebelah kiri dari pintu masuk, terdapat sebuah meja keramik segi empat dengan lampu besar bulat di atasnya. Di sebelahnya lagi sofa panjang yang terlihat mewah. Di sampingnya lagi, adalah dinding, terlihat sliding pintu yang sedikit terbuka di sana, sehingga menampakkan sedikit barang yang ada di dalamnya. Seperti benda elektronik mirip komputer.
Lalu di tengah ruangan, terdapat meja keramik segi empat yang kokoh berkaki stainless mengkilap, dengan tempat duduk busa empuk di kanan kirinya, yang sama lebar dan tingginya dengan meja itu sendiri. Di atas meja, ada nampan kayu segi empat berisi gelas aroma therapy.
Ayara menggulirkan pandangannya ke dinding jarak sepuluh meter di depannya. Kali ini ia melihat sebuah lukisan alam, di bawah lukisan lagi-lagi meja kecil memanjang berwarna putih tulang dengan tiga tanaman hias di atasnya. Di samping meja terdapat vas jumbo yang entah apa isinya, karena terlihat kosong.
Ayara maju beberapa langkah. Dilihatnya satu lagi ruangan berbentuk bulat, dengan pintu rumbai yang terbuka, di pojok kiri ruangan utama. Ruangan tersebut berisi meja bulat dengan empat kursi yang tertata rapi mengelilingi. Di sebelah kiri ruangan itu, masih ada satu lagi ruangan yang tertutup korden tebal dan mewah berwarna coklat s**u, dengan ketinggian empat meter ke atas hingga bawah. Ayara menyentuh kain korden tersebut. Berat. Bersamaan dengan itu, seseorang menyembul dari dalam.
Keduanya bertabrakan. Ayara hampir terjatuh saat tangan kokoh itu menangkap tubuhnya. Sejenak kedua pasang mata mereka beradu. Ayara mendorong tubuh pria itu, dan kembali berdiri tegak.
“Siapa yang mengijinkanmu berjalan-jalan di ruanganku?” tanya pria itu dingin. Ayara terdiam. Jantungnya berdebar lebih keras, meskipun ia telah mempersiapkan sebelumnya. Pria itu benar-benar Arlo Raynar. Pria yang menghukumnya dengan tidak manusiawi di depan teman-temannya, di tempat pelatihan kemarin.
"Kamu pelayan di sini, jadi dilarang menyentuh apa pun tanpa seijinku." Arlo berjalan menuju sofa di dekat dinding. Ayara terpaku. Wajah tampan pria ini sungguh tidak menarik, jika dibarengi dengan akhlak b4jingan seperti dia, batin Ayara.