Part 2. Perkelahian

1064 Words
PART 2. Perkelahian Ayara sedang dalam perjalanan pulang, ketika sayup-sayup telinganya mendengar percakapan mencurigakan di balik gedung kosong, yang hampir ia lintasi. Suara lelaki dan perempuan. Didorong rasa penasaran, Ayara menyelinap di balik tembok. Pembicaraan itu mengusik hatinya. Mungkin mereka akan berbuat m***m, pikirnya, mengingati jalanan setapak itu begitu sepi. Dari balik tembok, dilihatnya seorang perempuan berbaju ungu, dan dua laki-laki sedang melakukan transaksi. Perempuan itu menyerahkan satu amplop tipis kepada salah satu dari pria tersebut. Juga satu botol kecil berisi cairan. "Dia itu begitu rapi,” Ayara mengomentari penampilan si perempuan. “rasanya tidak mungkin jika dia hendak menjajakan diri, kepada dua pria itu di tempat seperti ini." Ayara terus mengamati. Sesaat, ia teringat sesuatu, bukankah itu perempuan yang kemarin dia lihat, bersama salah seorang ceo platform kepenulisan Angkasa Biru, di acara temu penulis, di floating cafe? Sedang apa dia di sini, malam begini? "Siapa di sana?" Sebuah suara dari arah lain, mengejutkan Ayara. Reflek ia menoleh, berniat melesatkan diri untuk kabur, tetapi pria di dekatnya terlanjur siaga menangkapnya. Dia mencengkeram kuat lengan Ayara. Gadis belia itu berusaha menutupi wajah dengan tangan satunya. Sayangnya, lagi-lagi sosok di depannya dengan cepat menghalanginya. Ayara tidak tinggal diam. Dengan kemampuan bela diri yang diajarkan beberapa guru sejak kecil, serta latihan terus-menerus di sepanjang hidupnya, Ayara balas mencengkeram lengan penyerangnya, lalu memuntir ke belakang dan menjatuhkan tubuh pria itu ke tanah. Ayara bertindak cepat, menginjak punggung pria itu. "Siapa di sana?" Lagi-lagi Ayara dikejutkan oleh suara tidak jauh dari mereka. Saat kepalanya menoleh, ia mendapati perempuan berbaju ungu dan kedua pria yang tadi melakukan transaksi sedang menatapnya. Dengan kuat Ayara menghentak kakinya, ia lepaskan tangan pria yang diinjaknya, lalu melesat, melarikan diri. "Kejar dan tangkap dia!" perintah suara itu lagi, terdengar nyaring. Dua orang yang berada di samping perempuan tadi langsung mematuhi perintahnya. Keduanya mengejar Ayara. Usai memberi perintah, perempuan berbaju ungu itu mendekati pria yang tergeletak yang tadi diinjak Ayara. "Sepertinya dia seorang perempuan, bagaimana bisa seorang Arlo Raynar yang tangguh bisa dijatuhkan oleh seorang perempuan?" Perempuan berbaju ungu itu mencibir, seraya berjalan dengan gemulai menuju sosok yang disebutnya Arlo Raynar tersebut. Setelah dekat, perempuan itu mengulurkan tangan bermaksud membantu Arlo bangkit. Namun bukan sambutan yang Arlo berikan. Pria itu berjingkat dengan cepat, mengebaskan pakaiannya, lalu berjalan meninggalkan dewi penolongnya itu. Perempuan itu tersenyum miring menatap punggung Arlo. *** Di sebuah kebun karet yang sepi, Ayara berusaha berlari dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Dua orang pria sedang mengejarnya, dia harus berhati-hati agar tidak tertangkap. Sayangnya, baju putih yang ia kenakan menyulitkannya untuk bersembunyi di dalam kegelapan. Kedua pria itu berhasil menemukannya. "Kamu sudah menyusahkan kami, Nona," seru salah satu dari pria tersebut. "Aku tidak pernah mencampuri urusan kalian," kata Ayara. "Ikut kami jika kamu ingin selamat," kata pria satunya. "Kenapa aku harus ikut kalian? Bahkan aku bisa menghabisi kalian di sini," balas Ayara, sombong. "Gadis keras kepala!" Usai berkata begitu, pria berbadan sedikit gemuk, langsung menghambur ke Ayara. Mengayunkan tangan dengan kekuatan penuh. Ayara yang sudah waspada langsung bergerak ke samping, sehingga tangan pria itu menghantam udara kosong, tubuhnya terhuyung hampir jatuh. Saat itulah Ayara menghantamnya dengan kaki, sehingga pria itu tersungkur ke tanah. Melihat temannya tak berdaya, pria yang satu menyerang. Lagi-lagi Ayara berhasil menaklukkannya. "Tolong jangan sakiti kami, Nona. Kami hanya menjalankan perintah," suara mereka terdengar gemetar karena ketakutan. "Siapa yang memerintahkan kalian?" "Perempuan yang tadi bersama kami." "Sebut namanya!" Bentak Ayara. "Itu, Nona Birdella," sahut salah satu dari mereka. "Birdella Xavera?" "Be, betul, Nona." Ayara melepaskan cengkeramannya pada dua tangan pria tersebut, lalu mendorong tubuh mereka menjauh. Dua pria itu langsung berlari meninggalkannya. *** Plak! Plak! Dua tamparan mendarat di masing-masing pipi dua pria itu. "Bodoh sekali! Bagaimana bisa amplop itu hilang? Bagaimana kalau ada yang menemukannya?" "Saya jamin tidak akan ada yang menemukannya Nona." "Dari mana kamu bisa menjamin?" "Karena kami yakin sekali amplop itu jatuh di semak-semak yang orang tidak akan peduli untuk menoleh ke sana." "Lalu bagaimana dengan perempuan itu? Kalian melihat wajahnya?" Dua pria itu saling pandang, lalu menggeleng. "Kami hampir menangkapnya, sayangnya dia tergelincir dan masuk ke sungai." Kedua pria itu sudah sepakat untuk berbohong. Birdella mendengkus kesal. Ingin rasanya dia memecat kedua bawahannya itu, karena ia anggap tidak becus bekerja. Namun dia tidak bisa karena rahasianya sudah banyak diketahui oleh mereka. Jika keduanya tidak terima, bisa-bisa tersebar semua rahasianya. "Kalian boleh pergi, tapi ingat, segera cari info tentang perempuan itu. Apakah dia selamat atau tidak. Jika selamat, introgasi apa yang dia dengar dari pembicaraan kita tadi." "Baik, Nona." Setelah membungkuk di depan perempuan itu, kedua pria itu langsung meninggalkan ruangan. *** Ayara mengeluarkan amplop coklat yang ia temukan di lokasi perkelahian. Benda yang kini terikat dengan karet gelang bersama sebotol cairan itu ia buka. Kedua matanya langsung terbelalak mendapati isinya. Itu, beberapa lembar poto yang wajah pemiliknya sangat dia kenali, dengan bermacam-macam angle. "Gistara, Hyuna Sada," Ayara bergumam, "apa yang Birdella rencanakan dengan poto-poto ini?" Diambilnya botol kecil yang berisi cairan, diamatinya dengan seksama. Warnanya tidak benar-benar bening, tetapi mendekati keruh kekuningan. "Cairan apa ini? Racun?" Ayara terus memandangi benda mungil di tangannya. Didorong rasa penasaran, gadis itu kembali memasukkan poto ke dalam amplop, mengamankan botol, lalu keluar kamarnya. Rumahnya yang hanya beberapa meter dari sungai, menyebabkan banyak tikus di sekitarnya. Ayara akan menangkap satu dan menjadikan tikus sebagai bahan uji coba. *** Brak! Dihyan dan Gayatri saling pandang. Suara yang berasal dari dapur itu mengejutkan keduanya. "Siapa itu jam segini masih di dapur?" tanya Gayatri. "Mungkin tikus menjatuhkan barang," sahut Dihyan. "Ayo kita lihat, Pak." Dihyan hanya menurut ketika Gayatri mengajaknya bangkit dari kasurnya. "Ayara?" Ayara terkejut! "Sedang apa kamu di sini?" tanya Gayatri. "Banyak tikus berkeliaran, Bu, brisik sekali suaranya," balas Ayara. "Oh iya, kami juga mendengarnya. Apa tadi yang jatuh?" lanjut Gayatri. Ayara menunjuk baskom yang berada tidak jauh darinya. "Tikus-tikus itu memang semakin mengganggu saja," gumam Gayatri kemudian. Ayara mengangguk. Tetapi tadi itu bukan tikus yang menjatuhkan, Bu. Aku pelakunya, batinnya. Gayatri menatap Ayara cukup lama. Membuat gadis itu merasa aneh. "Ada apa, Bu?" tanya Ayara penasaran. Gayatri mengembuskan napas. Menoleh kepada suaminya. Lalu memberi isyarat dengan matanya. Dihyan mendehem. "Ayara, apakah kamu belum mengantuk?" tanya Dihyan. Ayara mulai curiga dengan gelagat keduanya. "Ada apa?" Seperti biasa, nadanya pelan tetapi tegas. "Duduklah sebentar, ada yang ingin kami bicarakan denganmu." Ayara mengikuti ajakan Dihyan untuk duduk di kursi meja makan yang ada di dapur. Gayatri mengikuti. Ayara menangkap kegelisahan di wajah keduanya. "Ada apa?" ulangnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD