Bab 7. Tekad yang Kuat

973 Words
Aminah berjalan pelan menuju ruang perawatan, matanya memandang sekeliling sebelum akhirnya melihat sosok Mita yang duduk di ranjang rumah sakit dengan wajah penuh emosi. Mita yang duduk di ranjang, matanya tampak bahagia. Aminah merasa bingung dengan suasana yang begitu tegang di ruangan tersebut. Dengan langkah hati-hati, ia mendekat kepada Linda dan akhirnya bertanya, "Mita, ada apa? Kenapa Linda bisa menangis seperti tadi? Apa yang terjadi?" “Aku hamil, Bu,” ujar Mita dengan suara yang terdengar mantap. Ia tersenyum dengan bahagia, menatap langsung pada ibu mereka. “Ini anak Mas Wisnu. Anak dari kakak iparku.” Mendengar pengakuan yang mengejutkan itu, wajah Aminah langsung memucat, tubuhnya seakan kaku. Rasa terkejut dan kebingungannya memuncak. Aminah yang sudah tak bisa lagi menahan amarahnya langsung menampar Mita. Terdengar suara tamparan keras yang menyentuh pipi Mita. Mita yang terkejut dengan tindakan ibunya, langsung menoleh, matanya terbuka lebar. Aminah berdiri di samping ranjang Mita, napasnya tersengal, wajahnya memerah karena kemarahan yang terpendam begitu lama. "Bagaimana kamu bisa begitu kejam, Mita?" Aminah berteriak, suaranya penuh dengan kekesalan yang sudah lama terpendam. "Kamu benar-benar nggak tahu malu? Kamu mengkhianati kakakmu sendiri! Linda, yang selalu menjaga dan melindungimu, justru kamu perlakukan seperti ini? Sudah berkali-kali ibu bilang tinggalkan rumah Linda, lupakan Wisnu! Apa kamu nggak memikirkan perasaannya? Apa kamu nggak sadar bahwa ini akan menghancurkan seluruh keluarga kita?" Mita menatap ibunya dengan tatapan tajam yang penuh kemarahan dan kekecewaan. Sambil menggigit bibirnya, ia akhirnya melepaskan kata-kata yang sudah lama terpendam. "Memikirkan perasaan Mbak Linda? Apa pernah ibu memikirkan perasaanku selama ini?" Suaranya serak, penuh emosi yang sulit untuk disembunyikan lagi. "Selama ini, aku selalu menjadi bayang-bayang kakakku. Aku selalu berusaha untuk mengalah, selalu berusaha untuk menjaga perasaan semua orang, terutama Mbak Linda. Tapi apa yang aku dapat? Aku selalu merasa nggak ada yang peduli dengan aku. Semua perhatian, semua kasih sayang, selalu tertuju padanya, bukan padaku." Mita menarik napas panjang, berusaha menahan air mata yang sudah mulai menggenang di matanya. "Aku ini siapa, Bu? Apa aku cuma bisa diam dan terus menjadi orang yang selalu mengalah? Apa aku harus terus hidup dengan rasa sakit ini hanya untuk menjaga perasaan orang lain? Aku juga punya perasaan, Bu! Aku juga punya keinginan, kebutuhan untuk dihargai. Tapi apa yang aku dapatkan? Justru dihina dan dilupakan begitu saja." Aminah yang mendengar kata-kata itu hanya bisa terdiam, seolah tak tahu harus berkata apa. Setiap kata yang keluar dari mulut Mita adalah pukulan bagi hatinya yang sudah cukup terluka. Sebagai ibu, Aminah merasa sangat gagal. Ia mencoba untuk merangkul Mita, memberikan kasih sayang, tapi kenyataannya justru seperti ada dinding yang tak bisa ditembus. Aminah, yang selama ini berusaha menahan emosinya, akhirnya meledak. Ia membentak Mita dengan penuh amarah. "Tapi bukan dengan cara merebut suami kakakmu sendiri, Mita!" suara Aminah penuh dengan kemarahan, matanya memancarkan kekesalan yang selama ini terpendam. "Bagaimana bisa kamu mengkhianati Linda seperti ini? Kamu tahu betul betapa sakitnya bagi seorang kakak jika adiknya sendiri yang melakukan hal seperti ini! Kenapa kamu harus melakukan ini? Kenapa harus menghancurkan keluarga kita?" Mita terkejut mendengar bentakan ibunya. Sementara itu, perasaan marah dan terluka di hati Mita semakin memuncak. Ia menatap Aminah dengan tatapan penuh kebencian dan kekecewaan. "Dan kamu, Bu! Apa ibu pikir aku nggak tahu bagaimana rasanya selalu dipandang sebelah mata? Selalu harus mengalah pada Mbak Linda, selalu harus menjaga perasaannya! Apa ibu pikir aku nggak punya perasaan? Apa ibu pikir aku nggak terluka melihat Mbak Linda selalu mendapatkan yang terbaik dari segalanya, bahkan dari Mas Wisnu?" Mita menyeka air mata yang tak bisa ia tahan lagi. "Aku memang salah! Aku memang salah mencintai Mas Wisnu. Aku memang salah kalau itu yang membuat ibu marah. Tapi aku juga manusia, Bu! Aku juga punya perasaan! Dan aku sudah terlalu lelah selalu berada di bawah bayangan kakakku. Aku selalu merasa nggak pernah ada ruang untuk diriku sendiri." Suasana di dalam ruangan seketika hening. Tidak ada lagi suara pertengkaran, hanya ada bisikan dari pikiran masing-masing yang memenuhi ruangan. Mita duduk terdiam, air matanya mengalir tanpa henti, mengaburkan pandangannya. Aminah berdiri dengan tangan terlipat di depan d**a, matanya menatap kosong ke arah pintu, seperti mencari jawaban yang tidak bisa ditemukan. Aminah, di sisi lain, merasa frustasi. Sebagai seorang ibu, ia ingin melindungi kedua anak perempuannya, tetapi saat ini ia merasa telah gagal melakukan itu. Ia tahu bahwa Mita merasa terluka, tetapi ia juga tak bisa membenarkan apa yang dilakukan Mita dengan Wisnu. Ia mencintai anak-anaknya, tetapi di tengah semua ini, ia bingung bagaimana cara memperbaiki segalanya. Tentu, ia tak bisa begitu saja mengabaikan perasaan Linda yang hancur. “Ibu nggak mau tahu, dan nggak mau dengar apapun alasanmu, Mita. Setelah keluar dari rumah sakit kamu harus tinggalkan Wisnu, dan anak ini ….” Aminah tiba-tiba terdiam beberapa saat sebelum melanjutkan ucapannya. “Kamu harus menggugurkannya, Mita.” “Menggugurkan anak ini … .” Suara Mita terdengar lirih. “Enggak, Bu. Aku nggak akan ngelakuin hal itu, Bu. Ini anakku dan Mas Wisnu, bagaimana mungkin Ibu memintaku untuk menggugurkannya,” ucap Mita dengan suara bergetar. “Anak itu adalah anak di luar nikah, Mita. Ibu nggak mau tahu, pokoknya setelah keluar dari rumah sakit kamu harus melakukan apa yang ibu perintahkan.” Aminah segera keluar meninggalkan ruang perawatan. Sementara itu Mita hanya bisa duduk di ranjang sambil menangis, tangannya mengusap perutnya yang masih terlihat rata dengan lembut. “Aku nggak akan menggugurkan anak ini, aku akan lakukan apapun agar Mas Wisnu mau bertanggung jawab atas anak ini.” Suara Mita terdengar lirih dan bergetar. Mita yang sudah terobsesi dengan Wisnu merasa bahwa kehamilannya adalah jalan untuk mengikat pria itu. Dalam hatinya, ia yakin bahwa dengan kehadiran anak ini, Wisnu tidak akan punya pilihan lain selain mengakui hubungan mereka, meskipun itu berarti menghancurkan rumah tangga kakaknya sendiri. “Aku akan pastikan kamu segera menikahiku secepatnya, Mas.” Mata Mita menatap lurus ke depan, kedua matanya terpancar tatapan penuh dendam dan emosi.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD