Part. 9

1999 Words
Venus mengatur detak jantungnya yang berpacu sangat cepat. Tak diperdulikan lututnya yang sudah mengeluarkan banyak darah. Dia sempat menoleh ke depan lift, tempat Gustof berdiri, ternyata lelaki itu sudah mendekat ke arahnya. Agak mengernyit Venus menyeret kakinya. Sampai dia menabrak seorang wanita yang cukup tua, mengenakan pakaian petugas hotel, sambil membawa alat-alat kebersihan. Wanita itu terkejut melihat tangannya sudah dicekal Venus. Namun Venus segera meletakkan telunjuknya ke bibir sambil mendesis agar wanita itu tak berisik. “Bu, tolong saya. Selain Lobi itu saya bisa keluar lewat mana ya?” ibu itu menoleh ke belakang Venus, terlihat beberapa petugas keamanan celingukan. Venus beringsut dan berjongkok di balik troli alat kebersihan tersebut. “Ikut saya,” Venus berjalan jongkok agar dapat menyembunyikan tubuhnya. Dan ibu itu membawanya ke sebuah lorong panjang, dibelakang hotel. Diapun menutup pintu lorong tersebut. “Kamu lurus terus, diujung lorong ada pintu sebelah kanan, itu jalanan menuju tempat pembuangan sampah, hanya disitu satu-satunya jalan.” Venus meneteskan air mata. Didekapnya ibu itu sambil menggumamkan terimakasih. Dengan tertatih Venus berjalan melewati lorong yang mempunyai pencahayaan sangat minim. Di ujung lorong dia membuka sebuah pintu besi. Ketika pintu tertutup, terdengar derap langkah kaki seolah berlari. Tanpa perlu melihat langkah kaki itu, Venus yakin kalau pemiliknya pasti petugas keamanan yang sedang berusaha menemukannya tadi. Seketika itu juga suara petir menggelegar, lalu hujan turun dengan derasnya. Venus menutup hidungnya, bau-bauan sampah menyeruak menyesakkan d**a. Dia harus menahan mual yang menyergap perutnya, seolah ada sesuatu yang dengan kasar mengaduk-aduk lambungnya. Berkali-kali Venus berjalan sambil menoleh ke belakang. Berharap tidak ada yang mengejarnya. Venus menajamkan pendengarannya, cukup lega karena dia merasa tak ada suara langkah kaki selain dari dirinya. Namun ketika Venus menolehkan wajah, kakinya tersangkut sebuah tali panjang. Diapun terjerembab. Tubuhnya jatuh diatas sampah sisa makanan. Baju putihnya kini sangat kotor, perpaduan sampah dan air hujan. Venus terduduk, kakinya terkilir. Dilihatnya sendal hotel tipis yang dikenakannya sobek. Akhirnya diapun membuang sandal itu. Tangannya di usap-usap sambil menadahkan air hujan, berusaha membersihkan dari sisa kotoran yang menempel akibat terjatuh tadi. “Mamaaaa!!!” ucapnya serak, andai mama masih hidup nasibnya tentu tak akan seperti ini. Papa tidak akan menjualnya hanya demi kepentingan pribadi. Mereka akan hidup dengan bahagia seperti di buku dongeng. Tapi kini, orang yang dihormatinya justru berbuat sangat kotor kepadanya. Tega-teganya lelaki tua yang disayanginya itu mengorbankan dirinya. Jika mama masih ada, dia pasti menangis. Ah mungkin dia memang sedang menangis menyaksikan anak kesayangannya berkutat di tempat sampah, mencari jalan keluar. Venus melihat gerbang tinggi besar dihadapannya. Dia mendekatinya. Terlihat rantai yang mengunci gerbang tersebut. Di tengah keputusasaannya dia mencoba mendorong gerbang tersebut. Pintu gerbang terbuka sedikit, meski masih melingkar rantai di bagian bawahnya. Venus menakar tubuhnya. Beruntung dia mempunyai tubuh yang ramping, yang pas jika melewati celah pintu tersebut. Berhasil, Venus keluar dari tempat bau itu. Sesekali dia berkernyit ketika telapak kakinya menginjak kerikil kecil. Venus bersandar pada sebuah pohon besar, diusapnya dengan kasar air yang membasahi pipinya. Sementara bajunya sudah sangat basah karena hujan mengguyur tak henti. Dia tak mungkin melapor ke kantor polisi, pasti dengan cepat wartawan akan datang dan menjadikannya hot news. Venus memilih keselamatan dirinya yang menjadi prioritas utama. Maka diapun berjalan semakin jauh, menatap perkampungan yang berada beberapa ratus meter dari hotel. Lelah, sakit. Itulah yang dirasa Venus. Telapak kakinya terluka karena gesekan batu dan pecahan benda tajam yang tak sengaja dia injak. Waktu sudah semakin malam, ditambah hujan deras. Membuat perkampungan yang didatanginya sepi penghuni. Bahkan beberapa rumah sudah mematikan sebagian lampunya. Hanya tersisa beberapa pencahayaan dari halamannya saja. “Sakit,,,” Desah Venus, diangkat roknya, lututnya terlihat memar dan masih mengeluarkan darah. Dia sudah memastikan kalau tak ada lagi yang mengejarnya. Tapi dia tak tahu harus bersembunyi dimana? Dia sama sekali tak membawa handphone, tak mungkin menghubungi salah seorang kerabatnya disaat seperti ini. Sedangkan jarak tempatnya berada dengan panti bu Reni sangat jauh. Lagipula dia tak berniat membuat bu Reni bersedih melihat betapa kacau dirinya saat ini. Venuspun berjongkok, mendekap sikunya. Kedinginan. “Nak,,” sapa seorang wanita yang nampaknya tak sengaja lewat depan Venus. Wanita itu mengenakan payung besar dengan tentengan plastik kresek hitam di tangan sebelahnya. Venus mendongakkan kepalanya, matanya membesar melihat wanita yang beberapa waktu lalu sempat bertemu dengannya di rumah sakit. Dia adalah Bundanya Ramon. “Venus?” Bunda terkejut, dia segera membantu Venus berdiri, ditatapnya wanita itu dari bawah ke atas. Kakinya yang bertelanjang dengan beberapa luka menyeruak dari sela-sela jarinya. Bajunya kotor dan tercium bau busuk, wajahnya pun belepotan lumpur, sementara rambutnya lepek tak beraturan. “Kamu Kenapa?” Venus terisak, ingin sekali dia memeluk wanita itu tapi dia sadar diri kalau tubuhnya saat ini sangat bau. Diapun mundur selangkah. “Ikut kerumah saya, mau nak?” tanya bunda hati-hati, Venus mengangguk. Kini air mata yang keluar bukan airmata ketakutan, melainkan air mata kelegaan. Karena dia yakin, bahwa untuk saat ini dia selamat. Bunda memayungi Venus, yang terlihat selalu beringsut menjauh. Tak banyak bertanya karena dia tahu Venus saat ini pasti sangat ketakutan jika dilihat dari raut wajahnya yang pucat dan dia sesekali menengok kebelakang. Seolah memastikan sesuatu. Tak berapa lama bunda berhenti di depan rumah sederhana, dengan kursi kayu di terasnya. Pintu rumah tersebut sudah cukup usang. “Masuk,” tawar Bunda, diletakannya keset di depan pintu karena Venus terlihat mengusapkan kakinya yang kotor ke punggung kakinya yang lain, mungkin berniat membersihkannya. Venus mengangguk meski bibirnya masih tertutup rapat. “Kamu mandi ya, nanti saya siapkan baju.” Lagi-lagi Venus mengangguk. Dia mengikuti Bunda, rumah itu terlihat rapih dengan penataan yang seadanya, terdiri dari ruang tamu berukuran empat kali empat dan tiga kamar. Kamar utama terletak menghadap ruang tamu, sementara dua kamar lainnya yang berukuran lebih kecil saling menghadap dengan pembatas kamar mandi. Di tengah rumah. Dapur sendiri agak terpisah di bagian belakang rumah. Venus menatap ke tembok dengan tempelan tutup botol plastik. Berwarna warni. Dia masih belum menebak untuk apa tutup botol tersebut. Pikirannya masih kalut jika hanya untuk memikirkan kegunaan benda tersebut. Langkahnya berhenti ketika melihat sosok pria dengan pakaian santainya terpaku pada televisi di hadapannya. Ramon! Kakinya bersila dinaikkan ke atas sova lusuh namun terlihat nyaman. Mengenakan kaus berwarna putih dan celana boxer yang gambarnya sudah terlihat pudar. Ramon menoleh ketika tahu bahwa ada seorang wanita mengikuti bundanya. Keningnya mengkerut mencium aroma tidak sedap yang tiba-tiba menyeruak ke rongga hidungnya. Bahkan Ramon menganga, melihat penampilan Venus yang lain dari biasanya. Venus hanya menunduk. “Saya masakkin air hangat untuk mandi dulu ya?” “ja..jangan bu, saya mandi air biasa saja.” Venus memegangi ujung rok dengan tangannya yang masih bergetar, tak berani menatap siapapun dirumah ini. “Bun, kok ada bau gak enak sih.. bunda lupa buang sampah ya?!” Jerit David dari kamar, dia pun keluar sambil menutup hidungnya. Ramon memelototinya, David yang kebingungan langsung menoleh sembilan puluh derajat ke arah Venus yang terlihat semakin mengkerut. “Kamu ka Venus kan? Kaka kenapa?” David memajukan langkahnya menatap Venus dengan pandangan menyelidik. Venus mencoba menahan tangis dengan menggigit bibir bawahnya sangat keras. “sssttt! udah biarin Venus mandi dulu. Ini handuknya nanti saya cariin baju ganti ya.” Venus pun mengangguk menerima handuk yang terlipat rapih di nakas depan kamar mandi. Dia segera masuk ke dalam ruangan yang berukuran tak lebih dari dua kali dua meter tersebut. Bunda berjalan ke kamar sambil tangannya menjawil telinga David yang ternyata mulutnya tak bisa mengerem. Meskipun senyum terangkat di sudut bibirnya melihat perkembangan David sekarang yang sangat pesat. Tak terbayangkan olehnya jika David tak bisa melihat lagi. Dunianya mungkin memang sudah akan hancur berantakan. David yang mengurung diri semenjak kecelakaan dan kini sudah mulai bisa tersenyum kembali. Bunda nampak berbicara dengan Ramon cukup serius, hingga akhirnya Ramon menganggukan kepala dan masuk ke kamarnya. Sementara di kamar mandi, Venus sudah menanggalkan bajunya. Ditatap onggokan itu dengan pandangan hina. Dia langsung mengambil air di kolam dengan gayung dan menyirami tubuhnya dengan cepat dan agak kasar. Dia mengambil sabun cair dan mengusapkan ke seluruh tubuhnya. Lalu dibilas. Diulanginya lagi hingga berkali-kali karena hidungnya masih terus tercium bau busuk. Begitupun dengan rambutnya, tak ada shower disini, dia tak bisa menyiram air dan keramas sekaligus. Pandangannya menelisik ke keran diatas ember. Digesernya ember yang berisi air itu, lalu dia duduk dibawah keran. Dengan air yang mengalir kencang. Membasahi kepalanya, meredam tangisnya. Sakit di tubuhnya mungkin tak seberapa dibanding sakit di hatinya. Tangannya mengepal dan menepukkan ke d**a. Dengan putus asa Venus terisak menyesali nasibnya, mengapa dia harus dipertemukan dengan lelaki sejahat papa? Mengapa Mama yang baik hati bak malaikat harus berjodoh dengan iblis semacam papa! *** Ramon menatap jam dinding diatas televisi. Sudah satu jam Venus mengurung diri di kamar mandi. Diapun menghampiri bunda yang berdiam diri dikamar. Bunda keluar dan mengetuk pintu kamar mandi. Hanya terdengar suara air mengalir dari dalam. Ketukannya lebih keras, bercampur rasa khawatir. “Venus,, kamu sudah selesai?” tak lama keran itu berhenti, sunyi. Venus membuka pintu dengan handuk melilit tubuhnya. Ramon yang berdiri di belakang bunda langsung membuang muka menyaksikan pemandangan itu. Dia beringsut menjauhi bunda, sambil tangannya menggaruk tengkuknya. Salah tingkah. Venus masuk kembali ke kamar mandi dengan membawa baju ganti dari bunda. Sebuah baju terusan berbahan spandek selutut. Entah punya siapa? Karena ukurannya sangat pas dengan tubuhnya. Bundapun memberikan dalaman ke Venus yang terlihat masih baru. Setelah berpakaian lengkap Venus keluar kembali, masih tanpa bersuara. Dia sangat pendiam. Dengan sorot mata datar penuh kesedihan. Dihelanya Venus ke kamar Ramon. Dia langsung duduk di ranjang single milik Ramon. Kepalanya pusing. Yang diinginkan hanya tidur saat ini. Meskipun dia tahu mungkin dia akan terjaga tanpa obat insomnianya. Bunda menyelimuti Venus sampai ke leher, bibir Venus pucat seperti kedinginan. “Kamu gak mau makan dulu, Bunda siapkan ya... eh maksud saya, saya siapkan.” Bunda nampak salah tingkah dengan ucapannya barusan. Dia terbiasa membahasa-i bunda kepada orang-orang yang dikenalnya. “Boleh aku panggil ibu dengan sebutan bunda?” akhirnya Venus membuka suara juga. Bunda mengangguk. Venus menurunkan selimut dan mengeluarkan tangannya. Bunda segera menggenggam tangan kecil itu yang rasanya sedingin es. “Kalau ada yang mau diceritain, cerita aja. Bunda siap dengerinnya.” Venus menggeleng, dia belum siap dan nampaknya tak akan siap menceritakan hal yang menimpanya. “Aku Cuma mau peluk bunda, kalau boleh.” Venus memberanikan diri menatap mata hitam bunda. Bunda langsung menghambur mendekap wanita cantik di hadapannya yang langsung terisak ketika kepalanya menempel dengan bahu bunda. Diusapnya secara perlahan punggung Venus yang bergetar. Dia membiarkan Venus menumpahkan segala kesedihannya. Meskipun bajunya akan basah nanti. Venus memeluk bunda dengan sangat erat, yang ada dibayangannya saat ini adalah mama. Wanita yang mengangkatnya anak hampir dua puluh tahun yang lalu. Wanita yang mempunyai senyum menarik dan sorot mata yang sendu. Hampir setiap hari Venus memeluk mama, dia tak pernah terpisahkan. Sejak Venus kecil mama memang sering bolak balik ke rumah sakit. Dan sejak itu pula Venus selalu menemaninya. Hingga mama mempunyai tekad untuk sembuh, dan ternyata dia mampu bertahan hingga sepuluh tahun dengan penyakit mematikannya. Venus adalah cahaya kehidupan bagi mama. Pun berlaku sebaliknya. Bagi Venus dunianya adalah mama. Selalu tentang mama. Meskipun dia bukan wanita yang melahirkannya tapi mama lah yang membuatnya terlahir kembali. “Makasih ya bun,” Venus menyeka sisa air matanya, Bunda mengelus bahu Venus pelan, dia merapikan rambut Venus yang tak disisirnya. “Sudah malam, kamu tidur yaa. Kalau ada apa-apa bunda dikamar sebelah.” Venus mengangguk, diapun mencegah Bunda mematikan lampu kamar karena dia masih agak takut jika sewaktu-waktu Gustof datang dan mencarinya. Venus menatap langit-langit kamar yang ukurannya mungkin hanya seperempat ukuran kamarnya. Plafon yang terbuat dari triplek dan bercat putih. Matanya mulai mengelilingi tembok kamar. Tak banyak hiasan di sekitar kamar itu. Ya identik dengan kamar lelaki bujang. Ada gitar teronggok di pojok kamar. Lemari dari kayu berwarna cokelat tua. Meja yang nampak seperti meja belajar. Dan ada beberapa tumpukan CD di meja itu. Venus memiringkan tubuhnya menghadap tembok, ditariknya selimut sampai ke leher, tubuhnya merinding mengingat kembali luka yang tadi. “Belum tidur?” Venus membalikkan badan menghadap pintu. Ramon sudah berdiri di sana, bersandar di daun pintu menatap dengan tatapan tajamnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD