Sudut bibir Adreno berkedut menahan tawa, sebisa mungkin cowok itu menjaga ekspresinya agar terlihat datar. Tangannya masih menggenggam jemari Alvira yang kini sama dinginnya dengan suhu tangan Adreno. Sudah lima menit berlalu sejak pertanyaan konyolnya itu terlontar.
Dan Alvira... masih diam mematung dengan pandangan kosong ke depan.
Hah, kapan lagi bisa melihat cewek brandalan sekolah itu jadi terlihat aneh dan menggemaskan seperti ini?
Adreno mendekatkan kepalanya, berbisik, "Hei, saya hanya bercanda. Jangan baper."
Detik itu juga, Alvira menggerjabkan matanya beberapa kali seolah tersadar. Buru-buru ia melepaskan tangan si Ketua OSIS yang melingkupi jemarinya dengan kasar. Ia memalingkan muka saat merasakan panas mulai menjalar ke pipinya.
Hey, sejak kapan Alvira berubah baperan begini?
Tawa Adreno pecah. Cowok itu memegang perutnya kegelian, ekspresi Alvira benar-benar diluar dugaannya. Ia pikir, cewek itu akan marah dan memukulnya tanpa ampun. Tapi nyatanya, cewek itu sama saja, tidak bisa berkutik jika sudah berhadapan dengan pesona seorang Adreno Yudhistira.
Di dorong oleh perasaan malu dan kesal, Alvira melemparkan kotak P3K yang sedari tadi di bawanya ke pangkuan Adreno. Lalu, tanpa berkata apa pun lagi, ia bergerak menjauh, meninggalkan si ketua OSIS yang menatapnya dengan sorot geli dan tawa nan lebar.
***
"Muka lo pucet."
Adalah kata pertama yang diucapkan Raja saat menghampiri si Ketua OSIS di bangku taman. Cowok itu melemparkan sebotol air mineral ke pangkuan Adreno dan dengan sigap cowok itu tangkap. Kemudian Raja mendekat dan duduk di samping sang sepupu.
"Hmm..." Adreno hanya bergumam,memejamkan mata saat rasa sakit itu kembali bercokol di kepalanya.
Hening...
Hanya kebisuan yang tercipta berbalut sepi. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, dan anak-anak sudah mulai membubarkan diri karena kegiatan yang telah usai.
Raja sengaja kemari saat tugasnya berjaga selesai. Cowok itu hanya khawatir jika saudara sepupunya ini terlalu memaksakan diri dan berakhir dengan tubuhnya yang lunglai dan terkapar.
Adreno itu~ sosok keras kepala yang tidak butuh belas kasihan secuil pun. Selalu harus bisa memenuhi target konyol yang cowok itu buat sendiri. Meskipun itu berarti~ mengantarkan tubuhnya sendiri ke ranjang rumah sakit nan beku.
Tentu saja. Raja sudah berulang kali mengingatkan cowok itu untuk memperhatikan kesehatannya sendiri. Tapi hanya berakhir dengan anggukan dan senyuman tipis, tanpa aksi. Ya, Adreno memang sekeras kepala itu.
"Bang Ivan nanyain lo." Raja berucap setelah hening beberapa saat. Ia menatap semburat jingga yang mulai tampak menghiasi kanvas langit, begitu menawan sekaligus berbahaya.
Sementara itu, Adreno tampak menegang di tempatnya. Netranya terbuka sempurna berikut wajahnya yang mendadak pias. Orang yang Raja sebutkan namanya itu adalah kakak sepupunya, abang kandung Raja.
"Kapan dia sampai?" Adreno menyenderkan punggung ketika berhasil mengendalikan diri. Ivan itu~sudah sangat dekat dengan Adreno karena memang sejak masuk ke bangku kuliah 3 tahun lalu, Ivan memilih tinggal di London.
Bukan, bukan itu yang menjadi masalahnya. Hanya saja~
"Lo dicariin Griya Ja," Terlihat Radit datang dari arah koridor dengan terburu-buru. Adreno menatap Radit sekilas dan menyandarkan punggung.
"Busuk banget mulut lo. Gue baru aja liat dia gandeng Alvira ke parkiran."
Radit terkekeh keras. "Ah, ternyata lo perhatian banget ya sama Griya. Sampe dia pulang aja lo tahu."
Radit terseyum menyerigai, kemudian meringsek maju untuk duduk di antara ke dua sahabatnya.
Radit membuka sebungkus chiki yang ia bawa, menawarkannya pada Raja dan Adreno sebelum ia makan sendiri."Gimana perkembangan geng Shinigami? Mereka kan yang bikin lengan Adreno kayak gini?"
Raja mendengus. "Sok tau lo."
"Ya emang bener kan?" Radit membalas tidak terima.
Raja berdecak sinis. "Bukan, yang ini lebih kejam dan lebih cerdik dari geng mental tempe itu. Bahkan gue sendiri masih meraba-raba nebaknya."
Raditya mengangguk paham. Ia menyenggol lengan kiri Adreno yang sedari tadi hanya diam. "Menurut lo gimana Ren? Lo pasti udah tau kan dalangnya?" cowok itu menaikkan alis sambil menunggu respon si ketua OSIS.
Adreno membuka tutup air mineral dan menegak isinya setengah sebelum berucap, "Saya masih belum yakin."
"Tapi udah ada nama kan?" Raja menimpali sambil menatap kedua sahabatnya.
Adreno mengangguk singkat, "Ya." dahi cowok itu berkerut dalam, berpikir. Lalu mendesah dan berujar dengan nada sedikit ragu, "Bang Ivan... Apa bisa bantu kita?"
Gerakan tangan Raja terghenti di udara, membeku. Sedikit tidak percaya dengan ucapan Adreno.
Cowok itu tidak sedang bercanda kan?
"Lo yakin?" ujar Raja memastikan, ia menyenderkan punggungnya yang tiba-tiba terasa kaku.
"Saya tidak pernah seyakin ini."
Sebenarnya Adreno sudah tahu siapa dalang dibalik semua ini. Tapi dia merasa ragu dan perlu memastikannya sekali lagi. Meminta bantuan Kaivan terasa begitu tepat, lelaki itu mempunyai banyak koneksi untuk mempermudah penyelidikan.
Meskipun itu berarti~ Adreno harus siap menanggung konsekuensi, berhadapan kembali dengan Kaivan dan dia... seseorang dari masa lalunya...
"Gue balik dulu. Nanti kalau ada perkembangan kasih tau gue." Radit bangkit dari duduknya. Melemparkan sisa bungkusan chikinya ke pangkuan Raja yang masih sibuk merenung.
"Sialan. Mau kemana lo?" Raja memandang kesal sambil melemparkan bungkusan itu kepada sang pemilik. Tapi rupanya, Radit lebih cepat menghindar dan bergerak menjauh.
"Ngapelin cewek lah. Mana sudi gue jadi jomblo kayak lo berdua." cowok itu terkekeh geli sebelum berlari untuk menghindari amukan Raja.
****
"Bantuin gue bunuh Adreno."
Cewek itu menatap kedua sahabatnya dengan sorot serius, mengepalkan satu tangannya ke udara untuk memprovokasi.
Ah, setelah kejadian memalukan tadi, Alvira langsung menyeret Griya ke rumah Ana. Sepanjang perjalanan ia habiskan untuk memaki dirinya sendiri karena sikap refleksnya yang terlalu bodoh.
Kenapa ia tidak jauh berbeda dengan cewek-cewek centil di luaran sana? Yang langsung terpaku dengan pesona sang ketua OSIS? Dan sekarang, Alvira tidak punya muka lagi untuk bertemu Adreno.
Astaga. Rasanya Alvira ingin pindah sekolah saja supaya tidak bertemu lagi dengan cowok itu.
Griya memiringkan kepala, netranya memicing dengan sudut bibir terangkat ke atas. Tanpa kata, cewek itu mengarahkan tangannya untuk menyentuh dahi Alvira.
"Lo...siapa? Sahabat gue kayaknya gak segila itu deh," ujarnya dengan nada aneh.
Alvira menyingkirkan tangan Griya dengan cepat. "Apaan sih!"
"Gue tahu lo ada masalah. Kenapa lagi? Adreno?" Ana menimpali santai, sedang kedua tangannya sibuk mengoleskan cat berwarna hitam gelap pada kuku-kuku lentiknya.
Ah, Ana memang paling mengerti Alvira lebih dari siapa pun. Hanya dengan memperhatikan sikap Alvira yang terlihat aneh, ia bisa menebak jalan pikiran sahabat karibnya itu.
Alvira menjatuhkan punggungnya ke kasur, berguling miring sambil memeluk guling. Netranya berubah kesal sambil menatap Ana. "Dia tuh nyebelin banget tau An! Masa dia pura-pura nembak gue? Dan begonya gue malah speechless! g****k!"
Gerakan tangan Ana berhenti. Alisnya menukik dengan dahi berkerut, "Dia beneran suka sama lo kali." ia mengedikkan bahu tak acuh.
"Anjir! Gak penting banget respon lo, monyet!" Alvira melemparkan guling di pelukannya ke arah Ana, mengenai botol kutek milik Ana hingga menggelinding ke lantai.
"Gue belum selesai, Alvira Anindya! Dan ini masih baru tau!" Ana berdecak kesal, turun ke bawah untuk memungut botol kutek kesayangannya.
Alvira tertawa kencang, sedangkan Griya yang sedari tadi sibuk memainkan ponsel mengalihkan tatapannya, ikut tertawa saat melihat wajah Ana yang tampak frustasi.
Hah, jarang sekali bisa melihat pemandangan seorang Anastasya dengan wajah frustrasi semacam ini. Ana itu~ selalu bisa mengendalikan ekspresi wajahnya menjadi datar. Harusnya tadi Alvira mengambil ponsel dan merekam ekspresi Ana tadi. Buat kenang-kenangan.
"Eh tapi, beneran Adreno nembak lo Vir? Kok bisa sih?" suara Griya terdengar panik. Ia buru-buru meninggalkan ponselnya dan merapat ke arah Alvira.
Dan, Alvira memutar bola mata. "Dia cuma ngerjain gue, Griya."
"Dan lo speechless?" nada suara Griya terdengar tak percaya.
Alvira menyentil dahi Griya keras-keras. "Iya, b**o!"
Dan, tawa ngakak Griya terdengar membahana, memenuhi kamar. Cewek itu sampai menungging dan memegangi perutnya saking tak kuat menahan tawa.
Alvira mengusap wajahnya kasar. Berteman dengan seorang Griya nyatanya memang harus punya stok kesabaran diluar batas.
****