Emily Pov.
"Aku … Jake Sharp." Pria itu menyodorkan tangannya.
"Terimakasih, Jake, kamu sangat baik padaku, meski kita baru kenal," kataku.
Jake memang sangat baik, hari ini adalah hari pertamaku di Los Angeles, sejak pagi sampai sore hari aku tak pernah mendapatkan seseorang yang dapat di ajak bicara seperti Jake walaupun teman kamarku sendiri.
Aku berharap Kelly adalah wanita yang baik, yang dapat membuat hariku jadi semangat, tapi ternyata tidak, sesuatu yang ku bayangkan dan ku harapkan ternyata berbeda dengan kenyataan yang kuhadapi saat ini.
“Makanlah," kata Jake.
Aku menikmati makan malam dengan lahap, karena jujur sejujur-jujurnya, aku baru memakan semua ini hari ini, sebelumnya aku hanya melihat menu makanan ini di bambar atau di internet.
Haha … malang benar nasibku.
Sebagian orang memandangku dan sesekali menertawakanku.
Aku memang bukan wanita yang terpelajar yang dapat menikmati makanan seperti wanita terpelajar di luar sana, namun aku wanita sederhana dengan kepribadian yang baik.
Bukankah menjadi diri sendiri lebih baik ?
Aku pun bukan tipe wanita yang harus menjaga imej di depan pria tampan seperti Jake saat ini. Jadi semau diriku yang penting hal itu membuatku nyaman akan ku lakukan apa pun itu.
Aku lalu mencicipi satu persatu makanan yang sudah di sajikan pelayan restoran atas perintah Jake, pria tampan yang kini sedang duduk di hadapanku.
Oh sungguh hariku sejak pagi begitu buruk tak ada seorang pun yang dapat ku ajak bicara tapi tuhan memberiku penutup malam ini dengan teman seperti Jake.
Setelah kami selesai makan Jake dan aku kembali kerumah masing-masing.
Aku belum mengetahui siapa Jake sebenarnya.
Siapakah dia?
Apakah Tuhan memberiku penutup malam ini dengan pria tampan seperti pria ini agar aku bisa tidur dan mimpi indah?
Aku terlalu berlebihan menanggapi semuanya. Pria tampan yang begitu baik padaku walaupun pertemuan kami sangat singkat.
Yang pasti Jake bukan pria sembarangan, itu terlihat dari cara dia bicara, cara dia menatap, cara dia makan dan semuanya berbeda.
Jake pun sudah di pastikan adalah pria terpelajar.
Waoww ... terpelajar dan begitu baiknya mau berteman denganku?
Wanita miskin yang memiliki banyak mimpi.
Wanita miskin yang menghadapi semuanya sendirian, dan hanya mengharapkan bantuan dari kedua tanganku sendiri.
Pria yang memiliki kepribadian seperti Jake sungguh jarang ku temukan. Pria ini membuatku sadar tak semua orang kaya dan terpelajar itu sombong serta menyebalkan.
Aku teringat kepada pria siang tadi yang sudah membuat hari pertamaku menjadi hari yang buruk. Dia menyebalkan, sombong dan angkuh.
Semoga aku tak sampai bertemu dengan dirinya lagi.
***
Jake mengantarku sampai di depan rumah perusahaan.
"Thanks, ya, Jake, hari ini ternyata aku bisa juga bertemu teman sebaik dirimu," kataku.
"Iya, Emily, sampai nanti."
"Sampai nanti." Aku melangkah masuk ke dalam rumah dengan perut yang kenyang.
Moodku sungguh berantakan melihat ruang tamu dan dapur masih sangat kotor dan berantakan serta banyak sampah berserahkan di mana-mana.
Ini rumah apa gudang?
Aku mulai membersihkan. Pertama-tama aku memungut semua sampah yang berserakan di mana-mana. Setelah itu aku menyapu dan mengepel lantai yang sudah sangat kotor di penuhi dengan kotoran tanah.
Selanjutnya aku melap meja di mana kotoran snack membuatnya sangat kotor. Terakhir aku mencuci piring makan yang sudah menumpuk seperti gunung.
Setelah selesai membersihkan semuanya, aku langsung merebahkan tubuhku di atas sofa. Aku menyerendengkan kepalaku di kepala sofa.
Aku sungguh lelah, melakukan perjalanan berjam-jam untuk sampai di Los Angeles. Setelah itu mendapatkan pekerjaan pertama dengan membersihkan seisi rumah ini.
Oh sungguh menyebalkan.
"Hei, kau belum tidur?" suara seorang wanita yang sepertinya mengajakku berbicara.
"Belum," jawabku.
Wanita yang belum ku ketahui namanya mengambil minum dan duduk di hadapanku.
"Kamu karyawan baru, ‘kan?"
"Iya," jawabku.
"Kenalkan namaku Pegie, kamu?"
"Aku … Emily."
"Kau berasal dari mana?"
"Lexington, Virginia, kamu?"
"Aku … San Diego."
"Kamu sudah lama bekerja di perusahaan Maxwell?" tanyaku.
"Sudah 4 tahun, teman kamarmu siapa?"
"Kelly."
"Hati-hati dengannya, dia galak."
Aku berpikir sejenak. Apa Pegie hanya menakutiku? Kenapa juga aku harus takut?
Biasanya aku tak pernah takut dengan apa pun, selagi aku benar dan niatnya baik aku tak harus takut. Kelly memang wanita yang sedikit tegas. Jawabannya selalu singkat, padat dan jelas.
"Tapi ngomong-ngomong, siapa yang bersihkan tempat ini? Biasanya tempat ini akan bersih di pagi hari saja. Apa Nyonya Kors yang datang ? Tapi tidak mungkin, atau jangan-jangan-"
"Iya. Aku yang membersihkannya."
“Kau hebat juga," pujinya.
"Apanya yang hebat? Biasa aja."
"Kau suka dengan kebersihan, ya? Tapi sayangnya semua orang di sini pengotor, jadi lain kali biarkan saja berantakan, ini sudah tugas Ny. Kors."
Aku mengangguk.
"Baiklah, aku ke kamar duluan." kata Pegie.
Sepeninggalan Pegie, aku pun masuk ke kamar dan melihat Kelly sudah tertidur pulas dan tak menutup jendela.
Ketika hendak menutup jendela, aku melihat pria yang ada di gedung sebelah sedang menatap ke arah kamarku, aku pun dengan cepat menutup tirai dan membaringkan tubuh lelahku di atas ranjang.
"Pria itu aneh," gumamku.
***
Esok paginya ketika sudah bersiap. Aku melihat para karyawan sedang sarapan bersama dan saling bercengkrama sesekali tawa mereka pecah.
Hanya aku yang sendirian.
Aku bingung harus tanya kemana tentang jatah sarapanku.
"Hei, Emily. Ayo duduk di sini." Pegie memanggilku.
Syukurlah ada Pegie.
"Ayo sarapan." Ajak Pegie.
Ketika aku hendak duduk disamping Pegie seseorang tak sengaja menumpahkan minuman di bajuku. Kesalnya aku.
"Upss sorry, aku tidak sengaja," kata wanita berambut merah itu.
"Tidak apa-apa." kataku berusaha ramah.
Walaupun hatiku greget tapi mumpung aku di sini masih baru, aku tak mungkin membuat masalah.
"Hei kau harus ganti baju, Emily, ini ‘kan hari pertamamu kerja, jadi kau harus kelihatan rapi, apalagi hari ini ada pertemuan dengan bos besar," kata Pegie.
Akupun mengangguk.
Setelah mengganti pakaianku dan keluar dari kamar, aku sudah tak melihat para karyawan berada di rumah saat ini.
Kemana mereka?
Aku melihat Nyonya Kors sedang mencuci piring.
"Nyonya Kors, para karyawan kemana?" tanyaku.
"Ya ampun, Emily. Kau belum berangkat kerja? Ini sudah hampir jam 8 pagi, kau akan terlambat," kata Nyonya Kors yang mengingatkanku.
"Aku tidak tahu harus jalan kemana, Nyonya, aku tau alamat ini, tapi aku harus kemana?"
"Telpon taksi sekarang juga."
"Aku tidak tau nomor taksi di sini."
"Ya ampun ... aku juga lupa membawa ponselku. Kau harus pergi, Emily. Kau bisa bertanya, ‘kan? Jadi berikan alamat ini kepada siapa pun yang mengantarmu, supir taksi atau apa pun itu, mereka sangat tahu tempat ini," kata Nyonya Kors yang harus ikut bingung.
"Jika kau berdiam diri seperti itu, kau akan terlambat dan pagi ini ku dengar akan ada pertemuan dengan bos besar, kau bisa celaka jika kau tak tepat waktu di hari pertamamu bekerja, Emily."
"Baiklah ... aku pergi dulu," kataku sembari berlari menuju ke arah gerbang.
Aku berjalan beberapa meter dan menyusuri jalan, namun aku belum juga mendapatkan taksi, ku lihat jam yang melilit di tanganku, kurang lima menit jam 8.
Gawat!
Aku tak tau apa aku akan sampai tepat waktu di kantor?
Karena aku juga tak pernah tau sebelumnya seberapa jauh perjalanan ke kantor. Beberapa taksi melewatiku tapi tak ada yang berhenti mungkin ada penumpang lain.
Tak lama kemudian salah satu taksi berhenti tepat di hadapanku. Aku langsung naik dan masuk kedalam mobil.
"Pak, antarkan saya ke alamat ini," kataku seraya memberikan kertas kepada supir taksi itu.
"Baik, Nona." Supir itu langsung menancap gasnya.
Aku sebenarnya berharap ada angkutan lain yang bisa ku naiki selain taksi. Taksi ‘kan mahal. Jika aku terus-terusan naik taksi aku bakal kehabisan uang bulanan sebelum gajian.
***
Tak lama kemudian aku sampai di depan gedung kantor.
Amazing perfect.
Kantor yang sangat mewah dan super besar. Aku berlari menuju lift dan menekan tombol angka 12.
Ya.
Aku akan bekerja di lantai 12 mulai hari ini.
Lift terbuka.
Aku hendak melangkah, namun pandangan semua orang mengarah padaku. Apa aku sudah terlambat? Kenapa mereka menatapku seperti itu ?
BERSAMBUNG.