Jam sudah menujuk angka sembilan malam ketika Tania masuk ke dalam kamar untuk menidurkan Rena.
Dewa sendiri baru selesai menidurkan Ello dua puluh menit yang lalu ketika pria itu menghampiri kamar Tania dan mengetuk pintunya.
“Nia, boleh saya masuk?” Suara Dewa terdengar dari luar.
“Masuk saja, Pak. Tidak dikunci.”
Kepala Dewa melongok sedikit sebelum pintu terbuka lebih lebar dan bertanya apakah, “Rena sudah tidur?”
Tania menoleh ke arah pintu lantas menunjuk Rena dengan wajahnya kembali sembari tersenyum kecil.
“Baru saja, Pak,” lirihnya setelah membetulkan selimut Rena.
Dewa masuk dan mengajak Tania duduk di dalam kamar itu untuk membicarakan lagi masalah kepindahan mereka ke Singapura.
Sudah satu bulan sejak permintaan pertama sekaligus terakhir kalinya saat pria itu meminta Tania ikut pindah bersamanya.
“Bagaimana Nia? Saya akan berangkat satu minggu lagi. Kamu sudah punya keputusan?”
Tania menunduk. Jemarinya saling menaut gelisah.
Dewa berdeham pelan. “Kalau memang kamu keberatan dan ingin tetap tinggal di sini, saya tidak akan marah Nia. Saya akan membawa kamu kembali ke Bandung dan membantu mencarikan pekerjaan lain yang bisa membuat kamu mandiri selagi kamu belum menemukan keluarga kamu,” tutur pria itu dengan detak jantung yang gugup namun pembawaan yang tetap tenang dan berkarisma.
Dewa tentu saja lebih suka jika Tania ikut bersamanya. Namun, pria itu juga tak bisa memaksa terlalu ekstrim dan berakhir membuat Tania malah takut.
Jika memang Tania tidak mau ikut karena alasan keluarga yang masih ingin dicarinya, Dewa hanya bisa pasrah.
Tatapan Tania beralih pada kasur di mana Rena tertidur pulas di sana. Seraut bimbang itu tergambar jelas di sorot matanya.
Dewa memang menyediakan box bayi untuk tempat tidur Rena, tapi Tania lebih suka membawa bayi berusia satu bulan lebih itu tidur bersamanya di kasur setiap hari.
Tania semakin gamang. Satu sisi ia ingin tetap tinggal di sini. Namun, di sisi lain ia tak sanggup berpisah dengan Ello juga Rena yang sudah lebih dari satu bulan ini di bawah pengasuhannya.
Tania begitu menyayangi keduanya. Akan berat sekali baginya untuk berpisah mengingat kedua bocah itu baru kehilangan ibu mereka.
Perlu waktu lagi bagi Ello juga Rena untuk beradaptasi dengan pengasuh barunya nanti. Apalagi mereka juga akan tinggal di negara asing.
Tania tak dapat membayangkan hal itu. Hatinya seperti disayat sembilu karena merasa ialah yang melakukan tindakan kejam pada kedua bocah lucu nan menggemaskan yang sudah di sayanginya juga itu.
“Nia?” seruan Dewa pun membawa wanita itu kembali dari lamunannya.
“Apa Bapak tidak berniat menikah lagi?” Dewa tertegun mendengar pertanyaan Tania yang mendadak tak siap ia jawab.
Alih-alih pria itu bergurau dan menyahut dengan jawaban, “Kenapa? Kamu mau daftar jadi Ibu barunya Ello dan Rena?”
Blush …
Tania menunduk dalam. Dewa jadi merasa bersalah karena melemparkan candaan yang entah kenapa terlintas di kepalanya begitu saja tadi.
“Maaf kalau saya lancang, Pak.”
“Tidak apa Nia. Saya minta maaf kalau candaan saya menyinggung kamu,” balasnya ragu.
“Saya hanya takut jadi omongan tidak baik karena ikut dengan Bapak dan anak-anak di sana.”
Dewa tersenyum. Wanita di hadapannya ini memang wanita baik. Tania memikirkan dampak dan akibat dari apa yang mungkin akan terjadi di kemudian hari meskipun sebenarnya hal itu tidak perlu Tania cemaskan.
“Kita akan tinggal di rumah peristirahatan orangtua saya. Dan di sana juga ada asisten rumah tangga yang membantu. Jadi kamu tidak perlu cemas Nia. Lagi pula di Singapura pemikiran orang-orangnya lebih terbuka. Mereka tidak punya waktu mengurusi kehidupan orang lain.”
“Saya nggak paham soal itu, Pak. Tapi maksud saya, keluarga Bapak dan almarhum Bu Friska.”
Tania sadar dia wanita normal. Dewa juga pria dengan usia yang masih produktif. Akan riskan jika mereka tinggal bersama dengan status yang sama-sama single.
“Jangan cemaskan itu. Kamu bekerja untuk merawat anak-anak saya. Saya akan berusaha menjaga profesionalitas di antara kita agar tidak melebihi batas.”
Tania mendongak. “Maaf, Pak, kalau saya kurang ajar.”
“Tidak Nia. Saya yang seharusnya minta maaf. Karena kecerobohan saya hidup kamu jadi seperti ini. Dan sekarang saya malah memaksa kamu ikut dengan menggunakan alasan anak-anak. Semoga kamu tidak berpikir saya sengaja melakukan ini untuk memanfaatkan ingatan kamu yang hilang.”
Tania segera menggelengkan kepalanya dengan cepat.
“Bapak sudah merawat saya. Memberi saya pekerjaan. Walaupun hanya sebentar mengenal Bu Friska, beliau juga memperlakukan saya dengan baik. Sudah seharusnya saya membalas budi dengan menjaga anak-anak.”
Dewa tersenyum lega. “Jadi itu artinya kamu siap pergi bersama saya?”
Anggukan pelan Tania pun memberikan jawaban pasti atas kesepakatan yang mereka buat malam ini.
“Supaya kamu merasa nyaman dan aman, setelah sampai di Singapura saya akan membuatkan kontrak kerja yang jelas. Kamu boleh menambahkan dengan menuliskan kesepakatan lain yang kamu inginkan.”
“Tidak perlu, Pak. Saya percaya pada Bapak. Tapi saya hanya minta satu hal.”
Tania menatap netra Dewa dengan raut tegas dan berani.
“Katakanlah.”
“Jika suatu hari nanti saya bertemu keluarga saya, saya harap Bapak tidak mencegah saya untuk kembali pada mereka.”
Dewa mengangguk setuju sebelum pria itu keluar kamar dan membiarkan Tania beristirahat.
Seminggu kemudian, tepat di hari sebelum keberangkatan mereka ke Singapura, Dewa mengumpulkan pekerja rumahnya untuk memberikan pesangon terakhir pada Bu Maya, supir pribadi dan seorang penjaga keamanan yang menjaga rumah Dewa selama ini.
Tidak hanya itu, Dewa juga memberikan kompensasi untuk supir dan penjaga keamanan di rumahnya dengan memberikan mereka pekerjaan baru di tempat lain karena pemilik baru membawa serta pekerja rumah mereka pindah.
Sementara Bu Maya memilih pensiun agar bisa menikmati waktu untuk mengurus cucu-cucunya.
Pesangon yang diberikan Dewa akan Maya gunakan untuk menambah modal warung makan anaknya agar bisa lebih berkembang.
Dewa memang sengaja menjual rumah yang memiliki banyak kenangan dengan Friska sejak mereka menikah itu.
Dewa benar-benar ingin memulai hidup barunya agar bisa lebih fokus membesarkan dan merawat anak-anaknya, tentu dengan bantuan Tania yang sudah sangat ia percayai.
Barang-barang berharga peninggalan Friska sepetri foto dan beberapa lainnya sudah dipindahkan ke rumah orangtuanya untuk disimpan sebagai kenang-kenangan terakhir untuk Ello juga Rena kelak.
“Sekali lagi terima kasih. Saya tahu apa yang saya berikan mungkin tidak seberapa dengan pengorbanan dan loyalitas kalian selama bekerja di sini. Tapi semoga itu bisa mencukupi sebagai bentuk terima kasih saya juga almarhum.”
Tenggorokan Dewa sedikit tercekat karena mengingat Friska kembali.
Lanjutnya lagi, “Saya minta maaf jika selama menjadi majikan kalian ada banyak hal yang baik sengaja atau pun tidak di sengaja menyinggung perasaan kalian. Terutama almarhum,” tuturnya tulus.
“Sama-sama, Pak. Kami juga minta maaf jika ada yang tidak berkenan,” sahut Bu Maya.
“Semoga Bapak sekeluarga bahagia dengan kehidupan barunya di sana. Jangan lupakan kami ya, Pak, kalau suatu saat mungkin bertemu di jalan,” wakil sang supir keluarga menambahi.
Dewa tersenyum seraya menepuk pundak dan menyalami mereka satu persatu.
Ello dan Tania juga berpamitan pada mereka. Tania memeluk Bu Maya dengan haru.
“Baik-baik di sana ya, Nia. Telpon Ibu kalau kangen. Ibu nggak akan ganti nomer.”
Air mata Tania leleh. Maya sudah seperti ibu baginya saat ia merasa sendirian karena ingatannya yang hilang.
Maya juga selalu membantu Nia saat tinggal di rumah ini. Apalagi setelah kepergian Friska, Maya seringkali menginap agar bisa gantian menjaga Rena saat malam hari.
Kini mereka harus berpisah. Sungguh hal itu memberikan perasaan berat pada Tania hingga ia tak kuasa menahan tangisnya dan membuat Rena yang sedang berada dalam gendongan Tania sedikit resah karena terganggu dengan isakkannya.
“Sudah ya. Jangan menangis lagi. Nanti capek di perjalanan. Kamu anak yang kuat. Ibu doakan kamu bisa bertemu kembali dengan keluarga kamu suatu hari nanti.”
“Aamiin, Bu. Terima kasih untuk semuanya. Terima kasih sudah menjaga Nia selama ini. Maafkan Nia kalau pernah menyinggung Bu Maya.”
Maya menepuk-nepuk punggung tangan wanita itu dan mengusapnya penuh kelembutan.
“Sama-sama. Jaga diri kamu baik-baik ya di sana,” pungkasnya sekali lagi sebelum memberikan usapan punggung pada sosok Tania yang sedang menggendong Rena itu dari samping.
“Nanti akan ada Raihan adik sepupu saya yang akan datang bersama pemilik baru rumah ini,” pesan Dewa sebelum masuk ke dalam mobil yang dikemudikan adik kandungnya, Eddo.
Keluarga Dewa sudah lebih dulu menunggu di Bandara untuk mengantarkan keberangkatan mereka menuju Singapura.
“Titip cucu saya ya, Nia. Kalau ada apa-apa ponsel saya dua puluh empat jam bisa kamu hubungi,” pesan Narasihㅡibu kandung Dewaㅡpada Tania dengan lembutnya.
Wanita paruh baya itu juga memeluk Tania yang terlihat sedikit terkejut menerima perlakuan yang tak biasa dari wanita berusia lima puluh lima tahun yang sekaligus juga menjadi majikannya secara tak langsung.
Narasih menikah muda dengan Ayah-nya Dewa saat pria itu juga ditinggalkan istri pertamanya bersama dua orang anak yang dilahirkan sebelum Dewa dan adik-adiknya lahir.
Narasih sendiri punya tiga orang anak dari pernikahannya bersama Tuan Alfran, ayahnya Dewa.
Karena itu Narasih dan Alfran sangat mengerti dengan kondisi psikologis Dewa yang memilih untuk pergi dan memulai hidup baru bersama anak-anaknya di tempat baru.
Dewa dan Tania pun pamit untuk masuk ke area boarding.
Setelah lepas landas, Rena sedikit rewel ketika pesawat sudah mengudara beberapa belas menit.
Untunglah ada dokter anak yang kebetulan satu pesawat dengan mereka dan membantu keduanya menenangkan balita yang sangat tak nyaman berada dalam ketinggian di udara itu hingga mereka tiba di Bandar Udara Internasional Changi Singapura.
Orang suruhan Tuan Alfran pun sudah menunggu di Bandara sebelum pesawat mendarat.
Dewa dan Tania pun langsung di bawa menuju kediaman yang akan mereka tempati hingga seterusnya selama menetap tinggal selama di Singapura.
Bersambung