"Apa maksud kamu, Nia?"
Wanita itu pun menceritakan semua perlakuan yang ia terima acap kali menjalankan tugasnya untuk ikut mengawasi Ello saat belajar.
“Sejak awal saya sebetulnya sudah merasa kurang srek saat berinteraksi dengan Miss Careena. Tatapannya seolah merendahkan dan membuat saya jadi tidak nyaman. Mungkin karena Nia hanya seorang pengasuh.”
Dewa tak menyangka kalau Careena adalah orang yang seperti diceritakan Tania.
Dewa tidak peka. Seharusnya ia menyelidiki latar belakang guru private anaknya itu. Menanyakan langsung pendapat sang anak tentang sekolah juga gurunya.
Dewa terlalu percaya dengan track record yang diberikan kawan-kawan yang menggunakan jasa wanita itu sebelumnya sehingga ia mengabaikan hal-hal yang sebetulnya menjadi peringatan kuat sejak Careena meminta ijin mengajak Ello belajar di luar rumah. Kini, semua itu membuat Dewa merasa bersalah sekaligus menjadi orangtua yang buruk.
Tania sendiri masih menangis tersedu-sedu. Dewa reflek membawa wanita itu ke dalam pelukannya dari samping.
Tangan Dewa menyusuri lengan Tania, lembut naik turun sambil memberikan kata-kata penenang.
“Ini bukan salah kamu, Nia. Jangan menyalahkan diri kamu lagi.”
"Maafkan Nia, Pak."
"Tidak, Nia. Kalau ada yang harus disalahkan itu saya. Beban kamu sudah banyak dengan mengurus Rena dan saya malah menambahinya dengan Ello.”
Tania menggeleng. “Nia sayang sama Ello dan Rena, Pak. Nia ikhlas merawat mereka. Mereka bukan beban untuk Nia.”
“Iya, Nia, iya. Saya percaya. Sudah ya. Ello pasti kita temukan. Kamu harus percaya itu. Saya tidak akan membiarkan Ello, Rena atau pun kamu mengalami kesulitan selama kita tinggal di sini. Percayalah."
Tangis perempuan itu pun mereda dalam pelukan sang majikan yang terjebak dengan suasana hati yang sama mendung dan mengabunya beberapa saat kemudian.
Baru setelah menyadari sikap impulsif masing-masing, keduanya mendadak dihinggapi perasaan kikuk dan salah tingkah.
Untunglah tangisan Rena menyelamatkan mereka dari momen aneh yang membuat keduanya sama-sama merona malu.
“Nia, biar Rena tidur dengan saya saja. Supaya kamu bisa istirahat.”
Tania menggeleng. “Jangan Pak. Bapak justru yang harus istirahat. Nia bisa tidur siang sambil menemani Rena. Bapak harus bekerja juga mencari keberadaan Ello.”
Dewa mengalah. Tidak akan ada habisnya berdebat dengan wanita di saat emosional seperti ini.
Seketika sikap Tania ini mengingatkannya pada sang istri saat anak sulungnya itu jatuh hingga terluka.
Friska seharian menangis bahkan Dewa sampai harus pulang demi menenangkan wanita itu.
Kedua sudut bibir dewa pun melengkung ke atas. Dia benar-benar bersyukur untuk kesekian kalinya lagi.
Tania benar-benar orang yang hadir dan dikirimkan Tuhan dalam hidup pria itu untuk tulus menggantikan Friska menyayangi anak-anaknya.
Dewa tak menyesal karena sudah sedikit memaksa wanita itu untuk ikut pindah dengannya kalau semua ini yang ia dapatkan dari Tania.
Pria itu pun kembali ke kamarnya. Mengistirahatkan tubuh agar lebih fit untuk menghadapi hari esok.
Dewa tak bisa berbuat banyak. Teman yang merokemendasikan Careena pun sudah membantu banyak dengan memberikan identitas dan tempat tinggal yang mereka tahu.
Sayangnya, tempat tinggalnya bukanlah tempat tinggal asli wanita itu. Polisi pun meluaskan area pencarian.
Saat jam makan siang Dewa, dua orang petugas kepolisian datang menemuinya dan mengabarkan kalau Careena diduga keluar Singapura dengan menggunakan kapal feri.
“Sepertinya hal itu dilakukan untuk menghilangkan jejak sebab tidak adanya catatan perjalanan yang menunjukkan wanita itu bepergian ke luar Singapura dengan menggunakan pesawat,” terang petugas kepolisian tersebut.
Dewa pun mencoba mencari bantuan dari kawannya yang tinggal di negara yang diduga dijadikan tempat pelarian wanita itu. Pun dengan pihak kepolisian yang bekerja sama dengan aparat di negara sana.
Dewa tiba di rumah pada malam harinya setelah menyelesaikan operasi terakhir. Tania menunggu majikannya itu dengan cemas.
Hatinya berharap besar ada kabar baik yang bisa didengarnya setelah berhari-hari Ello masih juga belum ditemukan.
“Gimana Pak? Sudah ada kabar dari kepolisian?”
Dewa pun menjelaskan semuanya tanpa ditutup-tutupi. Ia merasa Tania berhak tahu. Apalagi wanita itu terlihat selalu gelisah dan bersedih setiap harinya.
“Mudah-mudahan Ello bisa segera kita temukan.”
“Aamiin,” sahut Tuti dan Tania bersamaan.
“Tuan mau makan sekarang? Biar makanannya Bibi hangatkan sebentar.”
Namun, belum Dewa menjawab, suara keroncongan perut Tania menginterupsi mereka bertiga.
“Kamu belum makan Nia?” Wanita itu menggeleng. Merasa malu sekaligus takut dimarahi majikannya.
“Dari tadi juga sudah saya suruh makan Tuan. Tapi katanya nggak ada selera kalau belum tau kabar Ello dulu.”
Dewa mendesah pelan. Menatap Tania yang kini menunduk tajam.
“Bibi tolong jaga Rena dulu, biar Tania yang melayani saya,” ucap pria itu dingin sebelum berlalu ke kamar.
Tuti langsung mengambil Rena dari gendongan Tania dan berkata, “Sekarang kamu layani Tuan, ya. Sekalian makan.”
“Bapak pasti marah sama Nia ya, Bi.”
“Kalau Bibi jadi Tuan, Bibi juga pasti marah Nia. Kamu itu ditugaskan menjaga anak-anaknya. Kalau kamu lalai menjaga diri kamu, sama saja kamu juga lalai menjaga Rena.”
Wanita itu semakin tertunduk sendu. Lanjut Tuti, “Sudah, ya. Sekarang lebih baik kamu turuti maunya Tuan.”
Tania mengangguk. Pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam Dewa.
Dan benar saja dugaan Tuti, pria itu meminta Tania melayaninya agar bisa memaksa wanita itu untuk ikut makan bersamanya.
Suasana hening di meja makan pun terasa mencengkam. Suara sendok dan garpu yang beradu menjadi latar suara utama di antara dua orang yang sedang duduk dan mencoba menikmati makanan mereka.
“Kamu masih tidak mau makan Nia?”
Gerakan mengaduk makanan yang sejak tadi hanya dilakukan Tania pun terhenti. Namun, wanita itu tak berani menatap majikannya.
“Apa perlu saya suapi kamu biar mau makan?”
“Eh, jangan Pak!”
Tania gelagapan. Dan ekspresi terkejutnya itu membuat Dewa mengulum senyum.
“Ya sudah. Makanya makan makanan kamu. Jangan cuma dilihat dan diaduk-aduk. Kamu sedang makan Nia, bukan sedang membuat bahan bangunan.”
Tania mendongak mencari tatapan sang majikan.
“Maksud Bapak?”
Dewa mengusap tengkuknya malu. “Candaan saya garing, ya?”
Tania tertegun sejenak. Mencoba menelaah sendiri maksud dari kalimat yang diucapkan sang majikan tadi.
‘Bikin bahan bangunan?’
Kemudian tatapannya turun ke piring dan sendok yang masih dipegangnya. Tania menyoba mengkorelasikan semuanya.
Otaknya memang sangat lambat ketika dalam suasana yang sedih seperti ini. Karena itu Tania baru menyadari setelah berpikir lagi untuk yang kesekian kalinya.
Wanita itu pun akhirnya mendenguskan tawa. Paham maksud dari candaan sang majikan.
“Maaf, Pak.”
“Kamu baru sadar Nia?” Wanita itu mengangguk. Keduanya pun tertawa kecil bersama.
“Makanlah Nia. Kalau kamu sakit kasihan Rena. Nanti dia kehilangan ibunya.”
Degh ….
Jantung Tania mendadak salah berdetak. Wajahnya juga terasa panas. Entah apa sebabnya. Namun wanita itu akhirnya mencoba melahap suap demi suap makanan yang ia sendokkan ke mulutnya.
Sayangnya setelah suapan kelima, Tania merasa mual dan langsung berlari ke depan bak cuci piring untuk memuntahkan semua isi perutnya.
Wanita itu hampir jatuh saking lemas karena memuntahkan semua isi perutnya sejak siang.
“Kamu pusing?” Tania hanya mengangguk.
Dewa segera mengulurkan lengannya di pinggang dan di bawah lutut wanita itu dan membawanya ke kamar untuk diperiksa.
Tania menahan napas ketika Dewa menangkupkan telapak tangannya di kening dan di bawah rahang Tania untuk memastikan suhu tubuhnya.
“Kamu tidak demam. Sejak kapan kamu tidak makan?”
“Siang Nia makan, Tuan. Tapi tidak banyak karena Rena nangis terus,” terang Bi Tuti mewakilinya menjawab.
Dewa mengambil stetoskop dan melakukan beberapa pemeriksaan pada Tania dengan detail.
“Kamu stres. Asam lambung kamu sepertinya naik. Apa kamu punya riwayat sakit lambung sebelumnya?”
Tania menggeleng. “Nia tidak ingat, Pak.”
Dewa meringis malu. “Maaf. Saya lupa kamu amnesia. Ya sudah kalau begitu. Nanti saya minta James menebus obat. Kamu istirahat dulu di sini. Saya akan minta Bibi membuatkan makanan yang lebih ringan untuk kamu.”
“Maafkan Nia, Pak.”
Dewa mengangguk lalu keluar kamar. Pria itu mengambil alih Rena sementara sang Asisten Rumah Tangga membuatkan makanan yang dimintanya untuk sang pengasuh.
“Biar saya yang bawa, Bi,” sergahnya begitu Tuti melintas sambil membawa nampan berisi makanan.
James yang baru kembali dari apotik pun langsung menghampiri Tuan-nya, memberikan bungkusan obat yang sudah ia tebus pada Dewa.
Pintu kamar Tania memang sengaja tidak ditutup rapat. Wanita itu sedang menangis saat Dewa masuk.
Langkah Dewa terhenti sejenak. Pria itu pun menghembuskan napas pelan, menghampiri Tania yang langsung menghapus jejak tangisnya.
“Kenapa Bapak yang bawa?”
“Bibi sedang mengasuh Rena. Kamu makan dulu sekarang.”
Dewa mengambil mangkuk berisi bubur kacang hijau. Menyendok isinya, kemudian meniup-niup bubur yang disendok itu sebelum ia sodorkan pada Tania.
“Biar saya makan sendiri, Pak.”
Dewa menggeleng. “Makanlah. Kamu masih lemas.”
“Tapi Pak–“
“Makanlah Nia. Ayo cepat! Tangan saya sudah pegal ini.”
Dewa mengatakannya dengan mimik serius namun nada yang terdengar memanjakan. Membuat jantung Nia berdebar aneh.
Wanita itu pun menurut hingga separuh bubur itu masuk ke dalam perutnya. Dewa juga membukakan bungkus obat dan memberikannya pada Tania.
“Istirahatlah. Jangan pikirkan soal Ello dulu.”
“Bagaimana bisa, Pak. Saya–“
“Ello baik-baik saja. Saya yakin. Kamu juga harus yakin.” Tania terdiam. “Sekarang istirahatlah. Biar Rena malam ini saya yang menjaga.”
Tania tak bisa membantah. Tubuhnya membeku mana kala Dewa mengucapkan kalimat-kalimatnya sambil meremas jemari Tania dan tersenyum hangat.
Pria itu entah sadar atau tidak. Sengaja atau tak sengaja melakukannya, sudah membuat Tania merasa sangat diperhatikan dan disayangi.
Tania harus banyak beristirahat. Sekuat tenaga wanita itu melawan emosinya yang sedang terpuruk karena merasa bersalah sekaligus kehilangan Ello.
Dewa juga Tuti pun senang melihat perubahan wanita itu dari yang semula murung, kembali bugar dan fit meski wajah sendunya masih tak bisa ditutupi.
Dewa memahami itu. Sebab ia pun merasakan hal serupa seperti yang dirasakan Tania.
Bersambung ....