Pura-Pura Rebahan
Part 8 : Pura-Pura Ngambek
Sudah dua hari sejak Mas Nizar mengutarakan keinginannya untuk nikah lagi demi menguasai uang gaji si manager janda itu, aku tak mau menyapanya. Setiap dia pulang kerja, aku selalu masuk kamar, walau kopi dan makanan tetap kusiapkan untuknya. Aku lagi pura-pura ngambek ini, pengen dibujuk ama Si Tuan Kreb.
‘Drrttt’
Ponsel jadul itu bergetar, ada sebuah sms yang masuk. Ya elah, hari gini masih aja smsan, padahal udah jamannya w******p, dasar suami pelit padahal dia aja punya ponsel bagus, masa dia nggak mau beliin aku ponsel yang layak? Aku melengos kesal, walau sebenarnya aku juga udah punya ponsel baru yang lebih mahal dan bagus dari punyanya.
[Viona, maafkan aku. Keluarlah dari kamar, ada sesuatu yang mau kubicarakan denganmu!]
Itulah isi sms dari Si Tuan Kreb.
[Apa?]
Kubalas pesannya walau tanpa pulsa, biar saja beban sms ini akan dibayarkan oleh pulsanya.
[Aku minta maaf, yang kemarin cuma kalau kamu setuju saja. Jangan marah lagi, baikan, ya. Kamu mau minta apa sebagai permintaan maaf ini?]
Aku tersenyum jahil sebab selama menikah dengannya, belum pernah dia menawarkan permintaan seperti ini. Hmm ... aku mau minta apa, ya? Ponsel mahal, udah punya. Perhiasan, udah punya. Uang, hhmm ...udah ada banyak di dalam bantal ini. Mungkin readers pada mikir, kok Vio Si Kang halu bisa-bisanya nyimpan uang di dalam bantal, alasannya biar pas kalau aku lagi butuh uang, tinggal ambil aja soalnya atm jauh dari rumahku dan nggak punya kendaraan pula, Mas Nizar juga pelit, dia nggak pernah mau ngajarin aku naik motor, eh!
Ngomong-ngomong masalah bantal, nggak banyak kok uang di dalamnya, cuma lima juta aja. Selebihnya uangku tersimpan rapi di atm sono.
“Vio, kamu baca sms aku nggak sih? Buruan dibalas!” Terdengar suara Mas Nizar dari depan pintu.
Ya elah, masih mau ngajak main smsan dia. Segera kubalas sms darinya dan menuliskan permintaanku.
[Vio mau maafin Mas Nizar, kalau diajak makan ke restoran malam ini. Gimana?]
Langsung kutekan tombol sent dan menunggu balasannya.
“Oke, Vio, malam ini kita ke restoran,” ujar Mas Nizar dari depan pintu kamar.
“Mas, bukan Cuma ke restoran doang, tapi kami minta ditraktir makanan yang enak dan mahal. Deal, gak?” teriakku dari balik pintu.
“Oke, Viona Adella binti Mansyur. Bukalah pintunya!” Suara Mas Nizar terdengar melemah, tumben sekali dia, kesambet apa dia?
“Kalau sampai bohong, tak sumpahin dikeroyok nenek-nenek loh, ya!” ancamku dari balik pintu seraya membukanya.
Pintu kamar terbuka, anak-anakku langsung mengintip ke luar.
“Naffa, Aisha, sini, Nak, Papa kangen kalian!” Mas Nizar melambaikan tangan kepada dua putrinya itu.
Kedua putriku melangkah ragu, karena mereka tak terlalu dekat dengannya sebab mereka sering ketakutan jika Papanya membanting sesuatu atau juga mengumpat marah.
“Mas, benaran makan ke restoran ‘kan kita?” tanyaku memastikan perjanjian kami.
“Iya, segeralah bersiap!” ujarnya dengan wajah letih, aku tahu, ia pasti merasa sayang kepada uangnya walau hanya untuk makan anak dan istrinya.
Dua putriku itu langsung bersorak girang mengetahui kami akan jalan-jalan keluar berempat, sebab ini perdananya ia mengajak kami keluar, biasanya ia hanya pergi sendirian.
Beberapa saat kemudian, kami berempat sudah naik ke motor baru milik suamiku itu dan kini sedang berputar-putar di jalanan.
“Vio, kita makan bakso di ujung jalan saja, ya!” ujarnya tiba-tiba.
“Mas, kalo bohong bakal dikeroyok nenek-nenek loh, jangan meremehkan sumpah seorang istri, ya!” jawabku dengan sengit.
“Iya, iya, kita ke restoran,” jawabnya pasrah.
Setengah jam kemudian, kami sudah berada di parkiran restoran. Hmm ... restoran biasa sih, tapi nggak apa deh, soalnya lidahku juga udah bosan makan telor melulu sudah beberapa hari ini.
Dengan terlihat seperti keluarga yang bahagia, kami duduk di sebuah meja di restoran itu. Dengan gaya anggun, kuamati buku menu dan sedang memilih makanan paling mahal di restoran ini.
“Vio, jangan pesan yang mahal-mahal, awas kamu, ya!” bisiknya di dekat telingaku.
“Mas bawa uang berapa?” Aku balas berbisik kepadanya.
“Cuma seratus ribu,” jawabnya pelan.
Aku menghela napas panjang, cuma seratus ribu sih cuma bisa makan nasi dan air putih aja.
“Mas ambil uang ke atm dulu, deh!” perintahku dengan meliriknya kesal.
“Uangku di atm udah nggak bisa diambil, udah dibekukan!” jawabnya.
Aku menolehnya tak percaya, masa iya uang bisa dibekukan? Kirain Cuma air aja yang bisa dibekukan jadi es batu. Aku memutar otak, soalnya aku yang hanya lulusan SMP sungguh tak mengerti dengan istilah omongan dari Si Tuan Sarjana Ekonomi ini.
“Mas, menu di sini nggak ada yang di bawah seratus ribu, masa iya cuma mau mesan air putih doang? Ya udah deh, kami bertiga mau balik aja, mau lanjut ngerem di kamar.” Aku pura-pura hendak bangkit dari kursi.
“Vio, Vio, jangan! Kamu boleh pesan apa saja,” ujarnya dengan menarik tanganku.
“Terus bayarnya pakai apa?” Aku masih pura-pura merajuk soalnya ini jarang-jarang loh.
“Mas yang akan memikirkan cara membayarnya, kalian pesan saja!” Dia tersenyum kecut.
Sebelum Si Tuan Kreb yang sedang kesambet ini kembali norma, sebaiknya aku tak melewatkan kesempatan. Langsung saja kupesan makanan yang lumayan mahal dan menikmatinya dengan dua putriku, sedang Mas Nizar hanya memperhatikan kami saja dengan sambil sibuk dengan ponselnya.
Setengah jam kemudian, makanan telah ludes tak bersisa dan kini tinggal suamiku yang baik hati ini yang membayarnya.
“Kalian tunggu di parkiran, kalau aku lama, tetap tunggu saja!” Mas Nizar menyuruh kami untuk meninggalkan meja.
Aku menurut saja. Kugendong Aisha dan menggandeng tangan Naffa, kami melangkah keluar dari restoran itu. Saat aku menoleh ke belakang, terlihat suamiku itu sedang bernegosiasi dengan seorang waiters. Dugaanku sih, dia mau gadai KTP mungkin, dasar suami pelit yang malang. Kasihan kamu, Mas, cuma aku nggak habis pikir aja, uang di rekening yang banyak-banyak itu mau digunain untuk apa. Rumah udah punya, walau sederhana, motor baru juga udah punya. Atau mungkin dia mau beli mobil kali. Ah, sudah sejam kami menungg di parkiran tapi Mas Nizar tak kunjung datang, mana darahku udah hilang sesendok ini gara-gara digigitin nyamuk.
Bersambung ....