Pura-Pura Rebahan
Part 6 : Kakak Ipar Ajaib
“Viooo ... kok di atas meja makan kosong melompong begini sih?” teriak Mas Nizar dari arah dapur.
Aku segera beranjak menuju dapur, dengan daster bolong-bolong yang terasa semakin enak untuk dipakai dari pada pakaian mewah tadi saat aku berperan jadi Vaulina, lebih enak jadi Viona Si Kang Rebahan sekalian kang halu.
“Apa, Mas?” tanyaku lemah lembut saat melihat wajahnya yang terlihat merah padam.
“Aku mau makan malam tapi kok nggak ada makanan begini?” Matanya membelalak seakan siap menelanku hidup-hidup.
“Maaf, Mas, berasnya habis dan kamu juga nggak ada ngasih uang belanja tadi pagi,” jawabku berpura-pura menjadi istri yang lemah ala sinetron chanel udang terbang.
“Terus ... kamu dan anak-anak makan apa? Kamu nggak sengaja memang mau bikin aku kelaparan ‘kan?” Nada bicaranya masih meninggi.
“Aku dan anak-anak makan nasi bekas tadi malam, dibikin nasi goreng, ‘kan kata Mas makan sisa makanan yang ada dulu karena Mas tak ada uang kecil buat ngasih uang belanja,” ujarku lagi, mengingatkan kembali, barangkali aja dia lupa ingatan.
“Ahgg ... dasar istri payah kamu, nggak ada kreatifnya sama sekali! Kan bisa ngutang di warung buat masakin aku makan malam,” ucapnya santai, dengan sambil duduk di depan meja makan.
“Nggak berani ngutang, Mas, takutnya kamu nggak mau bayarin.” Aku mengerucutkan bibir sexy ini.
Mas Nizar menatapku semakin tajam dan mendekat, aku jadi gelagapan juga karena tak mau mati muda di tangannya. Aku menelan ludah, siapa tahu tingkat kekasarannya akan naik level karena kelaparannya? Emang sih, dia itu mulutnya saja yang suka ngumpat, tapi dia tak pernah memukulku sedikit pun.
“Wajah kamu kok kinclong begini sih, Vio? Udah gitu, wangi lagi .... “ Mas Nizar mendekat dan mencium bahuku.
“Eh, masa sih, Mas?” Aku mengelap keringat di dahi.
“Tanganmu juga mendadak mulus begini .... “ Dia meraih tanganku dan mengamatinya.
“Hmm ... aku sih emang udah cantik dan mulus sejak dari dalam kandungan, Mas,” jawabku dengan tersenyum dan pura-pura malu-malu meong, padahal dalam hati bimbang antara mau atau tidak jika dia ngajakin ahak-uhuk.
“Anak-anak udah tidur ‘kan? Aku mau makan kamu saja, Vio.” Mas Nizar tiba-tiba menggendongku menuju kamar kamarnya.
Aku menghela napas dan tak berani menolak, mau tak mau aku akan menjadi makanannya malam ini. Ya udah, nggak apa-apa deh, dari pada dia jajan di luar!
***
Hari ini hari minggu, Mas Nizar akan seharian di rumah dan aku akan kesusahan menghalu di atas bantal ajaib.
“Ini masak, aku udah belanja semua kebutuhan dapur yang katamu habis itu. Jangan boros-boros, ya, Vio!” Mas Nizar melatakkan belanjaan di atas dapur.
Aku melengos. Dan seperti biasa, jika ia yang berbelanja maka semua yang dibelinya barang yang murah-murah dan terkadang sudah tak layak makan lagi. Aku kok heran sekali dengannya, kok ada suami pelit dan perhitungan kayak Mas Nizar? Uangnya ditumpuk, persis kayak kelakuannya Si Tuan Kreb di film Spongebob.
Setelah beres-beres rumah dan memasak untuk makan siang, aku duduk di depan televisi dengan sambil memangku bantal lecekku yang banyak menyimpan harta karun. Bagaimana ini? Kalau nggak nulis, ya nggak dapat duit. Pendapatanku di setiap hari minggu memang akan menurun dikarenakan tak bisa update cerita satu bab pun, inilah susahnya kalau ada Mas Nizar di rumah.
“Assalammualaikum .... “ Terdengar suara Mbak Mona dari depan pintu, dan kini ia sudah berdiri di hadapanku, dengan membawa rantang makanan.
“Waalaikumsalam, Mbak,” jawabku agak aneh melihatnya membawa rantang makanan karena selama lima tahun menjadi adik iparnya, belum pernah sekalipun ia membawakan makanan untuk kami.
Aku bangkit dan mendekat ke arahnya, dan berkata, “Mbak Mona bawa apa? Nggak usah repot-repotlah!”
“Hmm ... apaan sih, Vio, maksudmu itu?” Dia nyelonong menuju dapur dan mendapati Mas Nizar sedang makan di depan meja makan.
“Mbak Mona, ayo makan!” ajak suamiku kepada kakak iparku itu.
“Ayo deh, tapi Mbak minta dibawa pulang aja, ya, buat dimakan ama Mas Aldi dan anak-anak.” Mbak Mona tersenyum jahat dan membuka tutup rantangnya yang kosong melompong, lalu mengisinya dengan segala masakanku yang ada di atas meja makan.
“Loh ... Mbak, kok pada dipindahin begitu makanannya!” Mas Nizar melongo.
“Nanti suruh Vio masak lagi deh, Mbak nggak masak hari ini, jadi minta sama kalian aja, ya. Nggak boleh pelit ama kakak sendiri, nanti rezekinya seret loh!” ujar Mbak Mona dengan senyumnya.
“Iya, Mbak, ambil aja semuanya, di piring Mas Nizar juga sekalian saja, dia udah kenyang tuh!” Aku semakin mendukung perbuatan gila kakak iparku itu.
“Oh, gitu ya, Vio. Ya udah deh.” Mbak Mona mengambil piring Mas Nizar dan menumpahka isinya ke dalam rantangnya juga, dan suamiku yang pelit itu hanya melongo.
“Oke, udah beres, makasih, ya, Vio, kamu emang adik ipar the best.” Mbak Mona menenteng rantangnya dan melewatiku yang berdiri di samping pintu menuju dapur, dengan memeluk bantal ajaib.
Melihat tanduk dan taring Mas Nizar yang sudah mulai keluar, aku langsung berlari masuk ke dalam kamar mandi. Untung saja, aku dan dua putriku sudah makan tadi, jadi aman deh. Mas Nizar aja yang kasihan kelaparan. Aku cekikikan dalam hati mengingat tingkah Mbak Mona tadi.
“Viooo ... aku makan apa ini? Cepat masak lagi?” Suara Mas Nizar terdengar menggelegar.
“Vio lagi eek, Mas, sakit perut,” jawabku ikutan berteriak pula dengan sambil bersantai di dalam kamar mandi sambil bermain ponsel dan update status di sss.
Wkwkwkkk ... kasihan kamu, Mas, bukan salahku jika kamu kelaparan siang ini. Salahkan kakakmu yang malas itu, yang selalu meminta makanan hingga tak bersisa. Dia memang kakak ipar ajaib, yang mungkin udah langka stokan kayaknya.
Bersambung ....