Ponsel Bu RT

1095 Words
Pura-Pura Rebahan Part 4 : Ponsel Bu RT Dengan menahan debaran di d**a, aku masuk ke dalam rumah. Anak-anak langsung kusuruh masuk ke kamarnya, agar tak mendengar umpat-umpatan yang akan keluar dari mulut papanya yang saat pasti tanduk dan taringnya sudah keluar pastinya. Eh, ini bukan cerita fantasi tapi cerita komedi. Pletakkk ... aku menampar pelan kedua pipi, berharap suamiku itu berubah menjadi pangeran peyayang yang tak punya urat marah. “Hmm ... Mas, ini ponsel Bu RT yang ketinggalan waktu dia numpang bobo siang di sini,” ujarku dengan sambil meraih ponsel itu. Syukurlah ... hartaku hasil menghalu masih tergeletak di atas bantal ajaib ini, aku memeluknya dengan gugup karena mata Mas Nizar menatapku tajam, setajam belati buat bunuh diri, eh! “Bu RT ... mau rebahan di atas bantal bau jigong begitu?!” Pria berkulit sawo matang memicing matanya, menatapku tak percaya. “Iya, Mas, karena bau jigong itu ... makanya dia bisa sampai ketinggalan hape, ya udah aku mau balikin ponsel Bu RT dulu, takutnya Pak RT nelepon.” Aku langsung berlari menuju pintu dan berharap Mas Nizar tak mengejarku dari belakang. Aku menoleh ke belakang dan melihat Mas Nizar berdiri di depan pintu dengan berkacak pinggang, aduh ... gimana ini? Mau tak mau, aku melangkah juga menuju rumah Bu RT yang bersebelahan dengan rumah Tyas, yang sama-sama berhadapan dengan rumahku. Bu RT yang baru datang dengan motornya menatapku dengan matanya yang selalu melotot dan bibirnya agak sexy dua cm. Aku kembali menoleh ke belakang, Mas Nizar masih menatapku tajam. Aku menelan ludah lalu mendekat ke arah Bu RT. “Ngapain, Vio? Berubah pikiran pengen beli parfum kamu?” tanyanya dengan garang. “Hmm ... iya .... “ jawabku gugup, sambil garuk-garuk p****t karena cd terasa terselit di antara benua antartika. “Nah, gitu dong, ini baru tetangga yang baik.” Dia langsung menggandengku masuk ke dalam rumahnya. Aku berusaha memutar otak, memikirkan cara mengatasi masalah ini. “Kamu mau beli yang mana, Vio?” Bu RT sudah menyusun puluhan botol minyak wangi di hadapanku. “Boleh saya minta minum dulu, Bu RT?” tanyaku dengan keringat dingin karena takut Mas Nizar malah menyusul ke sini. Dengan tersenyum penuh keramahan, Bu RT masuk ke dalam. Secepat kilat, aku menarik uang seratus ribu yang kuselitkan di belakang case hp, lalu menyelitkan ponselku ke sela pinggang, agar Mas Nizar dan Bu RT tak melihatnya. Ahhaa ... kepintaran Viona Adella memang tak tertandingi walau SMA aja nggak tamat. 'Pletakkk!!' Sepuluh menit kemudian. Dengan melangkah perlahan, aku masuk ke rumah, Mas Nizar melirikku dari ekor matanya, ia sedang menonton televisi sambil rebahan. “Udah dibalikin ponselnya?” tanyanya dengan nada yang selalu garang. Aku mengangguk. “Itu kamu bawa apa?” tanyanya dengan sambil duduk. “Ini ... dikasih Bu RT parfum, buat kamu ajalah, Mas. Aku sih yang kerjaannya cuma rebahan, nggak perlu parfum,” ujarku sambil memberikan parfum itu ke tangannya, lalu meraih bantal saktiku yang ada di pojokan dan memeluknya dengan kasih sayang. “Ganti tuh sarung bantal, bikin mual tahu gak?!” ketusnya dengan sambil mengamati parfum dari Bu RT lalu menyemprotkannya ke baju. Aku hanya melengos, lalu masuk ke dalam kamar dan menguncinya. Kemudian mengeluarkan ponselku dan memasukkannya kembali ke dalam sarung bantal. Untung aja Mas Nizar jijik ama nih bantal, ada untungnya juga, kalau nggak, bisa melayang nih ponsel mahal yang selama ini hanya bisa kuimpikan saja. *** “Mas, uang belanja mana?” Aku menadahkan tangan saat pria berkemeja biru itu selesai sarapan. “Hmm ... aku nggak ada uang kecil, hari ini masak apa yang ada dulu deh,” jawabnya dengan wajah yang selalu terlihat masam dan berlalu dari dapur. Aku mengerucutkan bibir, malas memprotesnya. Palingan juga dia yang bakal kelaparan pas pulang kerja nanti. Oke, Viona istri yang baik akan selalu menuruti perintah dasri suaminya. Kaum rebahan mah bisa apa? Hiks ... aku menahan tawa. Mas Nizar, yang kalau dilihat dari wajah, tampan sih menurutku tapi pelitnya minta ampun, persis Tuan Kreb di film Spongebob, kartun kesukaan dua putriku. Lima tahun menikah, aku tak pernah tahu berapa jumlah gajinya sebulan di kantor itu, aku juga tak tahu dia kerja di kantor mana sebab dia tak pernah bercerita, palingan cuma membentak dan memaki saja. Hmm ... memikirkan Mas Nizar takkan ada habisnya, lebih baik mengurusi anak-anak dulu, menghalu dan siangnya ajak anak-anak jalan ke luar, makan di restoran, kasian uangku di dalam sarung bantal itu kalo nggak dibelanjakan, mereka akan menangis dan teriak-teriak. Pukul 11.30, aku sudah menulis dua bab cerita lalu mempostingnya. Kali ini ceritaku agak menurun likenya dan banyak disumpah readers karena kebanyakan gembok, harus tetap posting sebab rezeki mah Allah yang mengatur, yang penting tetap semangat dan optimis. Ini jalan rezekiku, maka aku harus berusaha untuk tetap menulis. Senyum dan senyum, tim emak-emak berdaster tetap mendukungku dengan gombalan-gombalannya. Dari rumah, aku dan anak-anak sengaja berpakaian biasa saja biar Mama mertua dan Mbak Mona tak menaruh curiga. Dengan sambil menjinjing kresek hitam yang isinya uang juga perhiasan, aku naik ke angkot. Setengah jam kemudian, aku dan dua putriku sudah turun di depan rumah kost yang di dalam salah satu kamarya adalah kamar sewaanku. Di dalam lemarinya, ada beberapa pakaianku juga anak-anak jika ingin jalan-jalan keluar. Segera aku berganti pakaian, lalu berdandan secantik mungkin. Kini emak-emak berdaster bolong-bolong kini sudah berubah menjadi wanita muda yang cantik bak artis ibu kota, mirip artis di sinetron udang terbang. Anak-anakku kini juga sudah menjelma menjadi dua putri cantik. Kuraih ponsel dan menghubungi baby sitters yang bisa disewa perhari, untuk menemaniku jalan-jalan keluar. Aku kembali ke depan cermin lalu memasang kaca mata juga masker, agar tak ada yang mengenaliku. Hmm ... dari dandanan glamorku ini sih, kayaknya Mas Nizar pun takkan bisa mengenali, sebab wajahku banyak berubah dengan memakai wig berwarna cokelat dengan panjangnya hampir mengepel pinggang, juga soplens berwarna biru persis mata meong. Satu jam kemudian, aku dan dua putriku juga baby sitters yang usianya 40 tahun itu dengan dandanan glamor pula sebab aku ingin orang yang melihat kami bukanlah sebagai pasangan majikan dan bawahan, sedang menikmati makanan enak ala restoran. Aku yang katrok, seraya sedang di surga saja dengan makanan mewah begini. Akan tetapi, dari arah meja sebelah pojok kanan, terlihat sepasang mata sedang menatap kami dengan tajam. Oh, no! Itu Si Tuan Kreb alias Mas Nizar, suami yang mulutnya berisi aneka jenis penghuni kebun bintang. Tenang, tenang! Santai, santai! Saat di luar begini, aku harus bisa bersikap berpura-pura tak mengenalnya, berpura-pura cantik dan berpura-pura menjadi orang lain. Berpura-pura jadi cowok tampan di sss saja aku bisa, maka berpura-pura jadi gadis kaya raya aku juga harus bisa. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD