Timo baru saja selesai bekerja di jam pertama, ponselnya berbunyi. Dia cepat-cepat berjalan ke tempat yang lebih sunyi karena bengkel pagi itu sangat sibuk.
“Halo, Astrid?”
“Timo. Kamu di mana?”
“Aku kerja, ada apa? Apa kabar Morgan?” Pikiran Timo langsung tertuju ke putra satu-satunya.
“Temui aku di depan bengkel, aku menunggumu,” ujar Astrid, seperti ada hal penting yang ingin sekali dia sampaikan ke Timo dan mendesak.
“Waktuku nggak banyak, Astrid.”
“Sepuluh menit cukup.”
“Baiklah.”
Timo bergegas pergi ke depan bengkel, dia sudah melihat mobil SUV mewah milik Astrid parkir di pinggir jalan, tepat di depan gedung bengkel Irfan.
Timo langsung masuk ke dalam mobil Astrid. “Aku nggak punya waktu, ada apa?”
“Dua minggu lagi aku akan menikah dengan Simon,” ujar Astrid, dan tatapannya terlihat gusar.
“Ya, lalu?”
Astrid menoleh ke Timo yang kotor.
“Maaf, membuat mobilmu kotor.”
Astrid jadi iba melihat keadaan mantan suaminya sekarang, lusuh dan kedua tangan yang kotor. Dia jadi mengingat indah pernikahannya dengan Timo yang disambut dengan suka cita keluarga Timo dan keluarganya. Meskipun papanya sempat kecewa atas keputusannya, tapi setelahnya malah mendukung, terlebih saat Astrid mengandung Morgan. Namun, tiga tahun terakhir, keadaan perusahaan memburuk, lalu berimbas ke keadaan keluarganya, membuat Astrid gelap mata dan menuruti keinginan papanya untuk berpisah dari Timo. Timo dianggap tidak becus mengelola perusahaan sehingga mengalami kebangkrutan, setidaknya ini yang menjadi sudut pandang papa Astrid.
“Kamu ingin aku datang ke pernikahanmu? Sebaiknya jangan, aku nggak mau mengganggu perasaan Morgan,” ujar Timo, berusaha bijak.
Astrid menelan ludahnya, dilema menerpa dirinya. Ini semua berawal darinya yang ikut menyalahkan Timo dan ikut pula mencari jalan untuk bercerai.
“Atau … aku saja yang ge er akan diundang? Huh, ada apa, Astrid?” Timo menyadari Astrid yang banyak diam.
“Aku minta maaf.”
“It’s alright.” Timo menghela napas panjang. “Aku tahu semua sudah diatur papamu, dan kamu yang menyetujuinya. Nggak apa-apa, itu artinya kamu memang sudah nggak mencintaiku—“
“Bukan begitu, Timo.”
“Paling tidak, perasaanmu kepadaku tidak seperti dulu.”
“Timo, kamu nggak mengerti—“
“Nggak mengerti di bagian apa?”
Astrid terdiam, dia sangat bingung.
“Kita nggak bisa mengembalikan keadaan seperti semula, meskipun kita menginginkannya. Jujur, aku rindu saat-saat indah kita, terutama kenangan bersama Morgan….” Tenggorokan Timo tercekat mengingat anaknya. “Kamu dan papamu tega melibatkan anak itu—“
“Itu di luar dugaan, Timo. Dia datang sendiri dan aku … aku nggak tahu kenapa dia sampai datang ke hotel itu.”
Timo menghela napas panjang, menahan perasaan kecewanya. “Jadi untuk apa kamu bertemu aku sekarang?”
Astrid menggeleng. “Aku … rindu kamu. Aku menyesal, dan sekarang aku hanya ingin meyakinkan perasaanku, aku ingin kamu baik-baik saja.”
“Aku baik-baik saja, Astrid. Aku bisa bertahan dalam keadaan apapun.” Timo malah mengenang kebersamaannya dengan Numa yang memabukkan, yang lumayan mengurangi kerinduannya akan masa lalu yang bahagia bersama keluarga kecilnya.
Timo mengamati wajah Astrid dengan seksama. Dia sebenarnya tahu Astrid yang tidak berdaya dengan keadaan, terpaksa mengikuti keinginan papanya. Dia kesal dengan ketidaktegasan Astrid, tapi tetap menerima maafnya.
“Tolong sampaikan ke Simon, anggap Morgan seperti anak kandung,” ucap Timo.
Astrid mengangguk lemah.
Timo cepat-cepat ke luar dari mobil Astrid, tidak mau lagi menyinggung Morgan, perasaannya sangat sedih mengingat anak itu, seakan dia adalah penjahat yang sebenarnya.
Astrid sebenarnya sudah lega akan sikap Timo yang tenang, tapi ketika Timo menyinggung Morgan, perasaannya sangat gamang. Dia menekan pedal, dan bergabung ke jalan raya.
***
Pertemuannya dengan mantan istri, justru membuat perasaan Timo jadi kurang semangat. Bukan karena Astrid yang akan menikah lagi, akan tetapi dia mengingat Morgan. Bagaimana tidak, tampaknya Timo akan selamanya buruk di dalam pikiran Morgan, dan Astrid yang tidak berdaya dengan keadaan, yang merasa kesulitan untuk memperbaiki hubungan Timo dan anaknya.
Sepertinya Timo memang lebih baik mengalah dengan keadaannya sekarang. Jika dia berkeras meyakinkan Morgan, pasti akan sia-sia. Morgan tidak akan pernah memercayainya karena sudah melihat kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri. Bagaimanapun, Timo tetap berharap keadaan perusahaan mantan mertuanya itu akan jauh lebih baik, sehingga kehidupan Morgan juga terjamin.
Timo tetap berhasil mengusir perasaan gamangnya, dan mampu bekerja dengan baik hari itu, bahkan dia meminta jadwal makan siangnya lebih telat dari pada biasanya.
Ingin mengusir perasaan gamangnya karena telah bertemu mantan istri, Timo menyendiri di sudut gedung yang menghadap ke jalan raya, dia berdiri menyender di dinding sambil merokok, matanya kosong ke jalan raya.
Timo merasa gamang, dia bertanya-tanya kenapa Astrid berubah sikap, menyatakan kerinduan, lalu bertemu dengannya dengan alasan ingin melihatnya baik-baik saja serta meyakinkan dirinya sebelum menikah dengan pria pilihan papanya.
“Numa….” Kini pikiran Timo tertuju ke Numa, gadis muda anak dari sahabatnya yang mampu membuatnya tersenyum bahagia.
Timo menelan ludahnya, masih tidak menyangka gadis itu menyukainya. Dia cantik, muda dan pintar, Irfan bercerita bahwa anak gadisnya itu cukup berprestasi di kampus, kerap memenangi ajang akademik setiap tahun.
Timo berdecak kecil, menyadari bahwa masalahnya di masa mendatang sangatlah berat terkait Numa. Dia merasa sangat bersalah, telah menyukai anak sahabatnya sendiri, memberi sentuhan mendalam, dan dia membiarkan perasaan sayang tumbuh di dalam dirinya, dia juga yakin Numa menyayanginya.
Timo menghisap rokoknya dalam-dalam dengan mata memicing, mengingat wajah cantik Numa dan bibir Numa yang menggairahkan perasaan saat dia cumbu di dalam kamarnya, wajah yang membuatnya bergelora.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi, ternyata Numa menghubunginya. Timo membuang rokoknya yang, memperbaiki celananya yang tiba-tiba terasa penuh karena mengingat Numa.
“Halo.”
“Om lagi santai?” tanya Numa di ujung sana.
Timo tersenyum senang mendengar suara lembut Numa. “Ya, sedang istirahat makan siang.”
“Kok jam dua?”
Timo masih dengan senyumnya, senang dengan perhatian kecil gadis cantik itu. “Aku sengaja ambil jam makan siang telat.”
“Oh.”
Timo bergejolak, hingga dia bertanya. “Kangen aku?”
“Om tadi ketemu Molly ya?”
Pertanyaan yang tidak Timo duga. “Ya, dia cerita sama kamu?”
“Iya.”
Timo tertawa.
“o*******g ya sama Molly.”
Tawa Timo surut seketika, karena nada suara Numa yang terdengar tidak senang. “Numa?”
“Om tebar pesona ya sama dia? Sampe dia tahu nama lengkap Om!”
Timo mulai serba salah. “Numa. Hei…”
Dia mencoba kembali menghubungi Numa, tapi tampaknya Numa tidak mau menerima panggilannya.
“Tebar pesona?” gumam Timo, bertanya kepada dirinya sendiri. Dia menggeleng, tidak habis pikir kenapa Numa bisa sejauh itu menilai dirinya.
Bersambung