Bab 10. Kesal Molly

1134 Words
d**a Numa mendadak terasa sesak saat mendengar ucapan papanya tentang kedatangan mamanya, dia tidak mengerti dengan keadaannya. “Jadi, Mama berencana untuk bertemu om Timo dan … mungkin om Timo akan jadi papa kamu,” jelas Irfan kemudian. Numa menelan ludahnya kelu. “Ini masa lalu, Numa. Papa dan Mama dulu memang saling mencintai … tapi jauh sebelum itu, mama kamu itu sangat menyukai om Timo.” “Om Timo … apa dia sudah tahu bahwa mama akan datang ke sini untuk menemuinya?” tanya Numa, ingin tahu apakah Timo sudah mengetahui rencana mamanya. Irfan menggeleng, “Belum, ini baru pengakuan dari mamamu. Dia berniat melakukan pendekatan dengan om Timo. Hm … Papa cerita begini supaya kamu nanti nggak kaget kalo Mama bakal sering ke mari, untuk menemui om Timo.” Numa mengernyitkan dahinya, heran dan tidak percaya. “Kok, Papa bisa sih?” “Ya, bisa, Numa. Papa dan om Timo itu sahabat dekat. Papa nggak tega melihat dia hidup sengsara.” “Tapi—“ “Kenapa? Kamu nggak setuju?” “Bu … bukan. Aneh saja. Papa kok bisa gitu? Rasanya aneh aja. Membiarkan Mama sama om Timo?” Irfan menghela napas panjang. “Kamu nggak ngerti, Numa.” “Aku ngerti, Pa. Papa sahabat sama om Timo, mama juga, ‘kan?” “Iya. Jadi Papa, mama kamu dan om Timo itu deket bak saudara.” Numa menggeleng, masih tidak percaya dengan sikap yang diambil papanya. “Papa kasihan sama om Timo. Papa nggak mau hidupnya terpuruk. Paling tidak jika dia sama mama kamu, dia bisa bangkit lagi, mengelola usaha butik bersama. Apalagi dia punya pengalaman lama di bidang usaha.” “Papa, memang bisa gitu liat mama dan om Timo bersama?” Irfan menelan ludahnya sambil menghela napas pendek. “Papa itu sudah mengikhlaskan semua yang terjadi di masa lalu, termasuk perceraian Papa dan mama kamu.” Numa mengamati wajah papanya, masih tidak percaya dan tidak habis pikir. “Apa … om Timo tahu kalo mama itu pernah seling—“ “Ssst. Biarlah itu menjadi rahasia keluarga kita, Numa. Jangan sampai orang lain tahu.” Numa menghempaskan napasnya, pikirannya tiba-tiba menjadi kacau dan kalut memikirkan Timo. “Papa mau mandi dulu. Selamat beristirahat.” “Iya, Pa.” Irfan ke luar kamar dengan langkah gontai, dan Numa mengerti keletihan papanya. “Papa sudah makan?” tanya Numa tiba-tiba. Irfan menoleh ke belakang dan mengangguk tersenyum. Papanya sudah ke luar kamar, Numa dengan cepat mengambil ponselnya, ingin menghubungi Timo dan menceritakan pembicaraan barusan yang sangat mengejutkan. Hampir saja dia menekan nomor kontak Timo, Numa dengan cepat menahan jempolnya, dia malah berpikir bahwa lebih baik dia membiarkan mamanya bertemu Timo, ingin melihat reaksi Timo, apakah dia tulus menyayanginya, atau tergiur dengan mamanya. Malam ini, Numa jadi kesusahan tidur memikirkan pertemuan Timo dan mamanya. Baru saja dia mengalami jatuh cinta dengan seorang duda ganteng itu, pikiran dan perasaannya sudah tidak karu-karuan. Numa memilih main gim mudah di ponselnya, sampai dia akhirnya mengantuk dan tidur. *** Bagaimanapun, Numa tetap bisa bangun di awal pagi, dan tetap pergi kuliah dengan semangat. Dia tidak mau terjebak lama dalam perasaan gelisah, terutama saat memikirkan Timo. Baru saja dia duduk di depan setir, dia melihat sosok Timo yang baru saja selesai olah raga pagi. Duda itu tersenyum sekaligus melambaikan tangan ke arah mobilnya. Numa menurunkan kaca mobil dan membalasnya dengan senyuman manis. Entah kenapa dia masih yakin bahwa Timo sangat menyayanginya dan tidak akan mau melukai hatinya. Melihat senyum Timo, Numa merasakan bahagia dan semangat pagi itu. *** Molly cemberut dan resah karena dia tidak bertemu Timo pagi ini di bengkel ketika hendak mengambil kembali mobilnya yang sudah diperbaiki. Ingin menanyakan nomor kontak Timo ke staf administrasi bengkel Irfan, dia merasa malu. “Mbak, saya perlu ketemu dengan orang yang memperbaiki mobil saya, hm … namanya Timo.” “Oh, pak Timo. Dia diajak pak Irfan pergi ke bandara jemput barang, Mbak.” “Oh, ada nomor hapenya nggak?” Staff adimistrasi itu tersenyum penuh makna. “Ada sih,” ujarnya pelan sambil membuka ponselnya. Melihat sikap staff itu, Molly agak tersinggung dan dia pun bertanya, “Kenapa senyum-senyum begitu, Mbak?” “Eh. Oh, soalnya banyak banget customer yang nanyain nomor hape pak Timo, nggak cewek nggak cowok. Hm … tapi kebanyakan cewek sih, ada juga ibu-ibu.” Wajah Molly merah padam. “Sudah, Mbak. Nggak usah.” Dia lalu buru-buru pergi dari bengkel. Sampai di dalam mobil, Molly sibuk menenangkan diri. Untungnya, mobilnya sudah benar-benar enak dipakai, dia merasa lebih lega saat mengendarainya. *** Kuliah baru saja berakhir pagi ini di jam kedua, Numa menoleh ke Molly yang duduk di sampingnya, dia heran melihat wajah Molly yang terlihat kurang semangat. “Ada apa, Molly?” “Nggak apa-apa sih. Pagi-pagi gue, ‘kan mau ambil mobil di bengkel, nggak ketemu om Timo, katanya diajak bokap lu ke bandara ambil barang.” “Oh.” Numa tertawa dalam hati, merasa lucu dengan Molly yang juga menyukai Timo. Berdecak kecil di dalam hati, ada dua perempuan yang hendak merebut hati Timo, teman dekatnya dan mamanya sendiri. Ah, andai mereka tahu dirinya yang sekarang sedang menjalin hubungan diam-diam dengan Timo. Numa sudah merasakan posisinya yang sangat sulit sekarang. Ada kebahagiaan yang membuncah di dalam diri Numa, bahwa Timo yang telah menepati janjinya untuk tidak bertemu Molly di bengkel. Timo melakukannya demi dirinya. “Lo punya nomornya nggak?” tanya Molly tiba-tiba. “Ha? Ih, mana punya. Aneh lo,” elak Numa. Sekiranya dia menjawab punya, tentu saja Molly mencurigainya. Jawaban yang paling aman sekarang adalah mengaku tidak memiliki nomor duda macho itu. “Ya, siapa tahu … lo, ‘kan anak bos bengkel, kali punya daftar nomor hape orang-orang yang kerja di bengkel bokap.” “Gue mana ngurusin yang begituan.” Molly tertawa letih. “Si Vidi sudah punya pacar,” keluhnya. Vidi adalah mantan pacar Molly, mereka sudah putus tiga bulan lalu. “Oh ya? Lo yang liat dia pacaran atau dia yang mamerin pacarnya ke lo?” Numa balik tanya. “Gue liat di story pacar barunya, namanya Emi, masih SMA.” “Oh.” Numa memperhatikan wajah Molly yang cemberut. “Ini muka lo anyep gini gara-gara nggak ketemu om Timo atau mikirin mantan yang sudah punya pacar baru?” tanyanya. Entah kenapa dia senang dengan keadaannya yang sudah sangat dekat dengan pria yang disukai banyak perempuan. Ini yang tidak pernah dia rasakan selama berpacaran dengan Daniel dulu, mungkin karena hampir semua tahu bahwa dia dan Daniel berpacaran, sedangkan dia dan Timo masih merahasiakan. “Dua-duanya, Numaaa. Bete gue. Ih, kepingin om Timooo.” Molly merengek seperti anak kecil. “Haha. Ya ampun, Molly. Segitunya lo.” Numa mengakui bahwa sosok Timo memang ngangenin. “Lo emangnya belum ketemu om Timo, Num? Lo kalo ketemu dia, lo pasti kelepek-kelepek deh.” Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD