Numa takjub melihat kamar Timo yang sangat rapi. Sebelumnya dia diajak Timo ke kamar ini dan Timo dengan cepat mematikan lampu, sehingga dia tidak bisa mengamati kamar Timo dengan detail seperti saat ini. Sekarang masih sore dan dia bisa melihatnya.
Numa tertegun melihat isi kamar Timo, ada barang-barang mewah tersusun rapi di atas meja, dari tiga dompet kulit, tas ransel kulit yang setahunya berharga puluhan juta, juga jam tangan mahal. Numa iseng membuka lemari pakaian, dia melihat lima botol parfum bermerek, serta perawatan rambut dan kulit. Pantas saja kulit Timo bagus dan kencang, jika dia bandingkan dengan papanya. Dia juga melihat peralatan olah raga Timo yang tersusun rapi di sudut kamar.
Numa duduk di atas tempat tidur, dan dia merasakan kenyamanan luar biasa, mengingat kembali momen indah bersama di atasnya, dan sebentar lagi dia akan merasakannya lagi, atau bahkan lebih dalam daripada yang dia rasakan sebelumnya.
Tak lama kemudian, Timo muncul dari luar kamar dan dia setengah telanjang, hanya handuk yang melekat di pinggang. Lekuk tubuhnya yang atletis dan seksi sangat menggoda dan memanjakan mata.
Timo tersenyum melihat wajah Numa yang takjub, juga mata Numa yang mengerjap tertuju ke d**a bidangnya.
Timo duduk di samping Numa, mendekap pinggang Numa sambil menghirup leher Numa dalam-dalam.
“Om wangi banget,” ucap Numa, dadanya berdesir berulang kali, sampai dia kesulitan mengatur napas.
Timo menarik tubuh Numa dan mengangkatnya lalu mendudukkannya di atas pangkuannya, memeluk Numa erat-erat dari belakang, dan dia melenguh nikmat.
Numa mendesah panjang kedua tangan Timo meraba kedua dadanya dan meremas-remasnya lembut dari arah belakang. Dia benar-benar terbuai dalam kenikmatan dan kegelisahan yang ingin dia akhiri.
“Katanya dulu Om sering gendong aku,” ujar Numa yang sudah bisa menguasai diri, tapi tetap membiarkan tangan Timo nakal menjamah dadanya.
“Ya.”
“Dulu … meluk aku begini?”
Timo terkekeh. “Ya, nggak dong. Dulu kamu masih kecil dan manja sama aku.”
“Oh ya?”
“Aku sering belikan kamu jajanan, hm … kamu suka lemper di toko roti.”
Numa tertawa renyah, “Kok aku bisa lupa sama Om Timo sih?”
“Kamu masih kecil banget, pasti lupa. Hm … apalah Timo ini—“
“Ih, Om suka gitu deh.”
“Ya, aku suka cium pipi kamu. Tapi tentu saja perasaanku dulu berbeda dengan sekarang. Kamu sekarang sudah besar, dewasa, dan cantik … hm … menggairahkan aku, memberiku semangat hidup.”
“Haha, Om berlebihan.”
“Aku nggak berlebihan, Sayang. Aku mengatakan yang sebenarnya.”
Perasaan Numa menghangat saat Timo menyapa sayang kepadanya, dan dia terbuai lebih dalam.
Numa turun dari pangkuan Timo, lalu duduk mengangkang di atas pangkuan Timo menghadapnya, dia memegang kedua bahu kokoh Timo sambil menatap wajah tampan Timo lekat-lekat. “Om ganteng, Om macho, Om gagah. Aku suka Om Timo,” ucap Numa, bak meracau, dan dia meraba-raba d**a Timo, dan menyentuh putingnya.
Timo terkesiap, matanya mengerjap saat ujung dadanya disentuh jari-jari halus Numa.
“Kamu cantik sekali, kamu wangi, kamu energik, kamu pintar dan aku sayang kamu,” balas Timo dengan wajah sungguh-sungguh, mengeratkan tubuh Numa menyatu dengan tubuhnya yang bergejolak.
“Om wangi banget. Aku suka. Oooh.”
Keduanya tidak tahan, lalu saling melumat dan bertukar ludah, Timo mengeluarkan jurus mautnya dalam berciuman, menghisap pelan bibir bawah Numa dan memainkan dengan gigi dan lidah kasarnya. Memberi gigitan kecil lalu menghisap penuh nafsu membara. Numa tertantang dengan cara Timo melumat bibirnya, dia membalas dengan cara yang sama, tapi hanya beberapa saat, dia menyerah, karena lumatan bibir Timo lebih dahsyat dan memabukkan, sangat disayangkan jika terlewatkan.
Numa bahkan sempat-sempatnya membandingkan ciuman dan lumatan bibir Timo dengan ciuman Daniel yang dia rasakan selama berpacaran, dia mengira ciuman Daniel menenangkan dan menggairahkan, tapi ternyata lumatan dan ciuman bibir Timo jauh lebih memabukkan, tidak terlalu bersemangat, dan memiliki irama serta ritme yang menunjukkan bahwa Timo sangat menikmatinya.
Puas melumat bibir Numa, Timo lalu merebahkan tubuh Numa di atas kasur sambil memperbaiki handuk di pinggang.
Dia langsung menjejal leher Numa dengan pelan, bibirnya juga singgah di telinga Numa, berbisik pelan, “Sayangku. Hm … Numa.”
Tubuh Numa menggeliat gelisah saat suara bass rendah Timo terdengar di telinga, sungguh menggetarkan jiwa dan dia merasa nikmat, dan tubuhnya melemah.
Timo menarik kaus Numa, dan melepasnya dari tubuh Numa, tangannya dengan sigap melepas bra, dan tanpa ragu menciumi area d**a Numa, menghisapnya lembut di ujungnya, bak bayi yang kehausan.
“Om Timo, aaah.” Numa mendesah lega dan dia semakin lemah. Rengekan dan desahannya tidak berhenti, seiring dengan keinginannya yang memuncak. Dia semakin gelisah, tubuhnya menggeliat tidak teratur, ingin disentuh lebih dalam dan dia tidak mengerti harus bagaimana.
Numa merasakan denyut-denyut enak di bawah perutnya. “Om … aku … aku….”
Timo mengerti keinginan Numa, dia mengulurkan tangannya ke bawah tubuh Numa, memasukkannya ke balik bawahan Numa, menyelip dalaman tipis dan menyentuh bulu-bulu halus dan ujung salah satu jarinya menyentuh permukaan milik Numa yang basah.
Numa memejamkan matanya sambil berdesis nikmat, karena Timo memainkan daging kecil di dalam miliknya, menghasilkan bunyi decak-decak yang memabukkan.
Sadar terlalu jauh, Timo berhenti.
“Cukup ya?”
“Om.”
“Aku sayang kamu, Numa.”
Numa tersenyum mengangguk, lalu mengecup ujung bibir Timo dan tatapan matanya menunjukkan kebahagiaan.
Timo menarik kembali tubuh Numa, dan mengajaknya duduk di atas pangkuannya, dia mengusap-usap punggung Numa dengan penuh rasa sayang, berucap lembut bahwa dia sangat menyayangi Numa. Dia tahu Numa cukup berpengalaman saat b******u, dia sempat membayangkan Numa b******u dengan eks kekasih, tapi dia tidak mempermasalahkan dan tidak pula mencemburui. Dia sendiri sudah menikah dan sudah menikmati lebih daripada sekadar sentuhan.
“Enak tadi, Om,” ucap Numa malu-malu. Dia masih merasakan nikmat jari-jari Timo yang menyentuh bagian intim di tubuhnya.
“Kalo diteruskan, bisa gawat.”
“Gawat kenapa?”
Timo mengatur deru napasnya yang memburu, menekan rasa gairahnya.
“Ya, bisa … terjadi penyatuan di sini, kamu dan aku, dan kamu yang nanti nggak mau pulang lagi ke kamar.”
Numa tertawa kecil, dia mengerti maksud dari perkataan Timo. “Om, memangnya seenak itu?” tanyanya sambil menggantungkan kedua tangannya di leher Timo.
“Ya, surga dunia.”
“Oh ya?”
Timo mengangguk, entah kenapa dia mulai b*******h lagi. Tapi, dia memilih diam menikmati momen sore ini dengan memandang wajah cantik Numa yang semakin bersinar, meskipun belum dia sentuh sampai puas.
Tiba-tiba wajah Numa berubah tidak semangat, seolah ada sesuatu yang kurang menyenangkan terlintas di benaknya.
“Ada apa, Numa?” tanya Timo lembut.
Bersambung