Bab 1. Dijebak

1147 Words
Bukan main terkejut Timo saat terbangun, ada perempuan cantik tanpa busana tersenyum manja ke arahnya. “Fu*k, siapa kamu?” Timo berteriak saat bertanya, tapi perempuan cantik itu malah tersenyum penuh makna. “Semalam adalah malam yang indah bersamamu,” ujar perempuan itu sambil meraba-raba d**a bidang Timo dan menyentuh perut berototnya. Timo meraba-raba dadanya dan menyingkap selimut tebalnya, semalam dia menghadiri acara pesta jamuan makan malam bisnis dengan istrinya di hotel ini, tapi kenapa berakhir di kamar ini bersama perempuan yang sama sekali tidak dia kenal? Timo berusaha mengingat apa yang terjadi semalam hingga membawanya ke kamar ini, tapi tak satupun yang dia ingat. “Hei, kenalan dulu dong, aku Lila.” “Kita tidak melakukan apa-apa, kan?” Lila tertawa menyeringai, dan Timo yang panik luar biasa. Tiba-tiba terdengar suara-suara gaduh di luar pintu kamar hotel yang diinapi Timo, suara-suara itu semakin mendekat dan pintu kamar. Pintu kamar didobrak kuat dari luar. “Timo!!” “Astrid!! Astrid memandang Timo dengan tatapan jijik. Lalu muncul seorang pria setengah baya dan di belakangnya ada beberapa pria bertubuh tegap mengarahkan ponsel dan menyalakan kamera. “Timo! Ternyata benar kata papaku, kamu telah berkhianat! j*****m, Kamu!” teriak Astrid sambil memukul tubuh setengah telanjang Timo dengan tas tangannya. “Astrid! Dengarkan aku dulu! Aw, hei! Astrid! Papa! Papa … aku mohon, ini semua salah paham. Aku … aku—“ “Kita bertemu di pengadilan, Timo! Aku ingin cerai!” desis Astrid dengan tatapan tajam menyala ke arah Timo, dan Timo yang tidak mengerti. “Ini akan jadi bukti di pengadilan,” ujar pria setengah baya, papa kandung Astrid. Lalu rombongan penggerebek ke luar dari kamar, meninggalkan Timo yang masih kebingungan. Tiba-tiba muncul seorang pemuda belasan tahun di pintu kamar. “Papa….” Laki-laki muda itu menggeleng tak percaya melihat papanya yang hanya bercelana pendek dan perempuan yang sedang menutup dadanya dengan selimut. Wajahnya menunjukkan kekecewaan yang sangat dalam. “Morgan! Morgan! Ini tidak seperti yang kamu lihat!” teriak Timo. Morgan terus menggeleng dan menangis sambil berlari kencang menjauh dari kamar hotel. “Siapa kamu, ha? SIAPA?” Timo berteriak keras ke perempuan muda cantik yang masih rebah di atas tempat tidur. Ingin menghindari amukan Timo, perempuan yang bernama Lila itu kemudian turun dari tempat tidur dan berpakaian, lalu mengambil tas dan ke luar kamar. Timo terduduk di atas tempat tidur, pandangannya nanar ke seluruh isi kamar, merasa aneh dan heran atas kejadian yang begitu cepat barusan. Dia berdecak kesal, mengerti mertuanya yang memang sudah sedari dulu tidak pernah menyukainya, terkait bisnis dan usahanya yang gagal dijalankan Timo, tapi seharusnya tidak begini. *** “Aku sudah ke luar,” ujar Lila. “Jangan lupa transfer uang secepatnya atau aku katakan kepadanya bahwa kamu telah mengatur semuanya.” “Iya, iya. Sudah aku transfer lima puluh juta,” ujar suara di ujung sana. Lila mengecek tabungannya di ponsel. “Oke, sudah aku terima. Senang bekerja sama dengan Anda, Pak Burhan.” *** Timo menarik gelas besar bir yang ada di depannya dan meneguknya sepuas-puasnya. “Hei, Duda baru.” Seseorang menepuk bahu besar Timo. Timo menoleh ke samping atas dan tertawa lepas, saat melihat temannya datang dan duduk di sebelahnya. “Irfan!” serunya. “Bagaimana perasaan kamu setelah jadi duda baru.” “Sudah bukan duda baru lagi, Fan. Sudah tiga bulan.” “Itu masih baru, tidak sepertiku yang sudah tiga tahun menduda.” Irfan mengangkat tangan ke arah bartender, dia juga menginginkan segelas bir. Timo terkekeh pelan. “Kenapa tidak segera mencari pengganti Hesti?” Irfan menggeleng sambil mencebik. “Aku belum terpikat dengan satupun wanita. Lagi pula anakku, Numa, belum membolehkan aku mencari pengganti Hesti.” Minuman untuk Irfan sudah tersedia dan Irfan meneguknya hingga setengah. “Kamu sendiri?” tanyanya balik. “Baru tiga bulan, Bung. Aku masih trauma dengan pengaturan mantan mertuaku.” “Burhan memang gila, sama gilanya dengan mantanmu.” “Ya, aku akhirnya tahu bahwa Astrid dan papanya bekerja sama untuk mendepak aku dari perusahaan, juga dari keluarga besar Gumilang. Ck, aku baru sadar bahwa selama ini aku hanya dimanfaatkan Burhan.” Irfan terkekeh. “Burhan. Kapan si tua bangka itu tobat. Aku heran sekali,” gumamnya yang mengetahui bahwa eks mertua Timo itu hanya memanfaatkan Timo selama ini melalui pernikahan dengan Astrid, sang putri kesayangan. Setelah Timo bekerja dan menyerahkan ide-ide untuk perusahaan meubelnya, dia membuat sebuah scenario sehingga Timo ke luar dari circle keluarga besarnya. Timo sendiri tidak mendapat apa-apa, karena dianggap telah melakukan sebuah pengkhianatan yang tidak bisa dimaafkan. “Dengar-dengar Burhan mendekatkan Astrid dengan Simon.” “Ya, aku juga dengar itu. Sebenarnya sudah sejak tiga tahun lalu. Aku sebenarnya sudah meminta waktu untuk memperbaiki performa perusahaan, tapi sepertinya mertuaku sudah tidak sabar.” Irfan mengangguk-angguk, sahabatnya ini memang luar biasa sabar. “Kamu cinta sekali dengan Astrid.” “Ya, hubungan kami indah dulu, tapi dia sekarang berubah, cinta uang.” “Jadi apa kegiatanmu sekarang, Timo?” “Aku masih menunggu jawaban dari beberapa perusahaan, sudah dua bulan menunggu tapi belum ada jawaban. Sementara keuanganku sudah mulai menipis—“ “Aku bisa—“ “No. No. Aku tidak mau berhutang.” Irfan tersenyum tipis. “Atau … kamu bekerja di bengkelku.” *** “Gue ke toilet dulu, Beb,” ujar Daniel terburu-buru. Dia bergegas pergi sampai lupa dengan ponselnya yang tergeletak di atas meja cafe. Numa mengangguk. Tiba-tiba terdengar bunyi denting dari ponsel Daniel dan Numa tanpa sengaja melihat sebuah notifikasi di layarnya. Jantung Numa berdetak kencang, satu pesan mesra datang dari teman satu kelasnya yang bernama Lisa. Lisa : Yang, jadi ya malam Minggu ke rumah gue, bonyok gue pergi ke Bandung dua malam, kita bisa e*e sepuasnya. Daniel muncul dari toilet dan menghela napas lega. “Yuk, pulang,” ajaknya. “Lo pulang duluan saja, Dan,” balas Numa, wajahnya murung, sebal melihat wajah Daniel. “Hei, ada apa?” tanya Daniel sambil mengambil ponsel dari atas meja. “Lo liat saja hape lo, ada yang mau ngajak lo ngewe.” “Numa. Ini….” Daniel lalu melihat pesan dari Lisa dan dia mengutuk dalam hati. “Well, gue bisa jelasin.” “Nggak perlu.” “Ini cuma candaan, Num. Gue dan Lisa terlibat panitia lomba basket kampus dan lo, ‘kan tau?” “Serah lo.” Numa melipat kedua tangannya di d**a. Daniel berlutut di depannya. “Num, hanya lo yang gue cinta—“ “Diam lo.” Numa mengambil tasnya dan pergi begitu saja dari cafe. “Numa! Hei, Numa! Tunggu!” Numa terus saja pergi tanpa memedulikan Daniel yang tergopoh-gopoh menyusulnya. “Numa, hei, itu cuma candaan.” Daniel menarik tangan Numa. “Candaan basket, itu nggak serius.” Numa menoleh ke arah Daniel. “Lo kira gue bodoh? He? Lo kira gue gampang lo boongin?” “Nggak, Numa.” “Ya sudah, kita putus!” “Numa!!” Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD