Karena banyak yang nggak tahu dimana sih klik love itu?
Jangan lupa Klik tanda bentuk jantung terlebih dulu sampai berubah jadi warna putih, untuk pengguna Handphone agar masuk ke dalam library kalian
Untuk pengguna komputer cukup klik tulisan ADD menjadi ADDED yaa :D
Nikmati dan jangan lupa Appreciate juga karyaku yaa , Terimakasih:*
Selamat membaca :)
{ 12 }
.
.
.
Tidak bisa menolak permintaan Sofia. Ari mendesah panjang, setelah tadi bertemu dengan Liam. Dia harus berhadapan dengan wanita yang menjadi istri Liam sekarang, bahkan putrinya juga.
Gadis kecil dengan rambut hitam, manik kecoklatan, serta alis tebal yang persis seperti keduanya. Memikirkan kembali sudah cukup membuat Ari pasrah.
Dia memang tidak bisa menolak, padahal mereka baru saja berkenalan dan Sofia sudah seberani itu mengajaknya kemana-mana.
‘Hh, bagaimana aku bisa lupa.’ Pikirannya menerawang, mengingat kembali pekerjaan Liam. Sosok tegap yang pasti bisa melindungi kedua orang itu. Sofia bahkan tidak perlu takut, meskipun di depannya tadi berdiri seorang pembunuh.
Kembali melamun, Ari yang tengah merapikan beberapa pakaian untuk disimpan di lemari tersentak saat sebuah tangan mungil menepuk pipinya. Sosok Ella merangkak naik ke atas tempat tidur, duduk di dekatnya dengan pandangan bingung.
“Ibu, kenapa melamun terus dari tadi? Apa ada orang jahat yang sakitin, Ibu?” Dengan manik menatap khawatir, dan bibir tertekuk ke bawah.
Bisa Ari lihat bagaimana sosok mungil itu cemas. Kenapa Ari melupakan janjinya sendiri. Tidak ingin membuat Argi ataupun Ella cemas lagi.
Menggeleng pelan, wanita itu menjawil hidung Ella, “Ibu, khawatir soalnya, putri Ibu belum mandi juga, padahal nanti kita ada belanja makanan sama Tante Sofia,” Mengelak, dan mencari jawaban lain. Pikiran yang Ella yang masih polos tentu saja percaya dengan ucapannya.
Tertawa kikuk, dan beranjak turun dari tempat tidur, “Hehe, Ella mau mandi sama kak Argi sekarang, Ibu!!”
“Hm? Apa perlu Ibu bantu kalian berdua mandi juga?” Menggoda Ella, “Ella dan kak Argi ‘kan udah besar, Ibu! Kita bisa mandi bersih sendiri!! Kyahaha!” Diiringi tawa kecil, Ella berlari keluar kamar.
“Kak Argi, ayo mandi!! Kita mau belanja sama Ibu!” Memanggil sang kakak yang masih sibuk merapikan mainannya.
“Iya! Sekarang Kakak susul!!” Menjawab panggilan adiknya, bisa Ari lihat bagaimana tubuh mungil Argi melesat di depan kamarnya, suara tawa yang pecah, dan pintu kamar mandi tertutup dapat Ia dengar.
Kedua anak-anaknya sekarang sudah tumbuh perlahan. Ari sangat berharap mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang kuat seperti ayahnya. Bukan seperti ibu mereka yang hanya bisa membunuh dan menyiksa orang lain,
Tersenyum miris, manik amber itu melirik ke arah jam dinding di dalam kamar. Sebentar lagi dia harus berbelanja dengan orang-orang yang sangat Ari hindari. Untuk yang kesekian kali lensa kontak berwarna hitam legam harus Ia gunakan.
Kembali mendesah, menggelengkan kepala sekali lagi. Ari mulai memfokuskan pikiran pada tumpukan pakaian di depannya.
.
.
.
“Ibu, Ella mau pakai baju yang ini!” Menyelesaikan semua pekerjaannya, Ari terkekeh saat melihat Ella berlari tanpa pakaian ke arah sang ibu.
Memperlihatkan baju berwarna biru dengan gambar rubah berwarna orange, ditambah dengan hoodie yang mirip telinga rubah. “Boleh sayang, mau Ibu pakaikan?”
“Mm, Ella bisa pakai sendiri, Ibu!” Mengeluarkan cengiran, sepertinya anak itu bahagia sekali hari pertama di sini sudah Ari ajak jalan-jalan, ditambah lagi dapat teman baru.
Meskipun berat bagi Ari, tapi jika hal itu bisa membuat kedua buah hatinya bahagia, kenapa tidak? Dia masih bisa bertahan.
‘Hh, sekarang giliranku yang mandi,’ Setelah seharian tidak menyentuh air, tentu saja Ari merasa tidak nyaman. Beranjak dari kasurnya, Ari mengambil handuk yang sengaja Ia simpan di lemari khusus untuk mandi.
“Ibu, mandi dulu! Kalian berdua siap-siaplah!” Mengeraskan suara, memberitahu Ella dan Argi. “Siap, Ibu!!” Dijawab teriakan penuh semangat keduanya.
Melangkahkan kaki menuju kamar mandi, membuka seluruh pakaian. Kamar mandi yang baru sekarang lengkap dengan bathtub, ruang shower, wastafel kecil, menurut Ari tidak berbahaya untuk buah hatinya.
Ari bahkan tidak melupakan sebuah kaca yang cukup besar di atas wastafel. Tepat saat dirinya membuka pakaian.
Berhadapan menatap dirinya sendiri, beberapa tahun ini dia memang menerima banyak pekerjaan berbahaya, menyangkut nyawa, melukai seluruh tubuhnya, memberikan goresan-goresan yang membekas.
Tusukan pada bagian lengan, kaki, pundak, bahkan perutnya. Ari pernah hampir merenggang nyawa melawan para mafia yang memiliki tubuh dua kali lipat lebih besar darinya.
Sebuah pisau menggores perut wanita itu, kalau saja dia tidak memiliki kelincahan sejak kecil. Mungkin Ari sudah tidak bisa berdiri di sini lagi, bertemu dengan Argi dan Ella. Banyak sekali resiko yang harus Ia ambil.
Mengangkat kedua tangannya perlahan, mengingat kembali pertemuannya dengan Liam tadi, bagaimana laki-laki itu akhirnya memiliki keluarga baru. Ditambah dengan pekerjaan dan misinya yang masih terus berjalan,
Membunuh suami-ah mantan suaminya sendiri-
“Ibu, apa yang harus aku lakukan?” Hanya di tempat ini Ari bisa melepaskan semua penat pikirannya. Menangis di saat semua orang tidak melihat. Mengingat ibunya kembali, wanita cantik yang meninggal setelah melahirkan sang adik.
Meringkuk, menundukkan tubuh. Terisak kecil, agar suara Ari tidak terdengar oleh kedua buah hatinya.
Ribuan kali Ari sudah menangis, namun keadaan tidak akan pernah berubah. “Kenapa hatiku sesakit ini, padahal aku sudah merelakannya. Seharusnya aku senang karena akhirnya Liam memiliki keluarga kecil yang normal.” Sesenggukan, air mata Ari mengalir deras.
“Dia tidak bersamaku lagi, wanita kotor, pembunuh dan sekarang bahkan dengan tubuh penuh luka seperti ini, apa yang bisa kubanggakan!”
Tapi seperti apapun dia, Argi dan Ella membutuhkan kehadiran sosok ayah untuk mereka. Terutama Argi, dia sangat memerlukan figure ayahnya, Ari ingin melihat Argi tumbuh menjadi sosok yang tegap, kuat, melawan kejahatan, bertindak penuh dengan keadilan.
“Maafkan Ibu kalian yang tidak becus, Ibu justru merelakan ayah kalian tanpa memikirkan Argi dan Ella.” Ari merasa dirinya egois.
Tapi jika Ari memilih membongkar semua identitasnya pada Liam. Mungkin Ella dan Argi bisa mendapatkan kasih sayang ayah mereka.
Tapi bagaimana dengan nyawa suaminya? “Lagipula, Liam tidak mungkin memaafkanku. Liam seorang polisi, dan aku penjahat yang dia cari. Tugasnya menangkap dan memasukkanku sendiri ke sel jeruji.”
Ari tidak akan pernah menyesal menikah dengan Liam. Justru dia bahagia, karena menikah dengan Liam merupakan salah satu keberuntungan besar baginya.
Bahkan setelah dikaruniai dua buah hati kembar, Ari mengurungkan dirinya untuk bunuh diri. Karena mereka, Ari bisa tetap menguatkan dan bertahan sampai sekarang.
Masih menangis, tubuh Ari tersentak saat ketukan pintu kamar mandi berkali-kali terdengar. “Ibu!! Kok lama mandinya? Kita berdua sudah siap!” Suara teriakan Argi, membuatnya kembali ke dunia nyata.
Menghapus air mata, mengembalikan suara agar tidak terdengar serak. “I-iya, sayang. Sebentar lagi Ibu selesai!” Bergegas bangkit dan membersihkan diri.
Untuk kali ini Ari harus terus bertahan, demi Argi dan Ella, hanya itu saja.
.
.
.
Di tempat lain-
Pukul 17.00 pm-
Menghubungi wanita yang sangat Ia kenal. Bersender pada mobil dan menunggu di luar. Sesuai dengan janji mereka, sengaja mengganti pakaiannya agar terlihat lebih casual.
Liam selalu menyempatkan waktunya untuk menghabiskan waktu dengan Hanna. Agar buah hatinya tidak kesepian, meskipun sudah ada Sofia yang bisa menjaga Hanna, tapi tetap saja tugas Liam sebagai seorang ayah tidak boleh dilupakan.
[“Halo, aku sudah menunggu di bawah. Kalian sudah siap?” berujar cepat, di seberang sana Liam bisa mendengar suara cempreng Hanna.]
Memanggil nama Sofia dengan sebutan mama. Mungkin karena putrinya terlalu sering bersama atau entah itu keinginan Sofia yang menginginkan dia dipanggil mama, Liam tidak terlalu mempermasalahkan.
Bahkan kesalahpahaman sering terjadi, selama beberapa tahun ini Sofia memang selalu setia mendampinginya.
Disaat dirinya dilanda stress luar biasa saat mengetahui kenyataan bahwa Ari adalah sosok penjahat yang sudah lama Ia cari. Wanita itu menghiburnya, dengan candaan dan tidak pernah menyerah.
Perkataan Ares sedikit mengganggunya, laki-laki itu selalu mengatakan sesuatu yang menusuk dengan mudah. Tapi tidak pernah sekalipun ucapannya meleset.
["Setidaknya hargai masakan Sofia, Liam. Kau ini dari dulu tidak pernah peka, wanita itu menyukaimu. Bahkan dia sudah sangat dekat dengan Hanna, sudah saatnya gadis kecilmu itu butuh seorang wanita dewasa untuk mendampinginya, tidak hanya seorang ayah yang cukup sibuk sepertimu. Pikirkan itu."]
[“Liam! Astaga, halo tuan tukang melamun? Kau mendengarkanku?!” Sofia memanggil dari seberang sana, membuyarkan lamunan Liam.]
[“A-ah, iya? Maaf, aku tidak dengar tadi. Kau ada bilang apa?”]
[Wanita pirang kecoklatan itu mendesah panjang, “Hh, kau ini sedang melamunkan apa? Kita berdua sudah siap, tinggal menunggu kedatangan Nona Sia saja,” Kening Liam bertaut.]
[“Nona Sia?”]
[“Oh, iya kau belum tahu ya. Tadi ada pendatang baru di sebelah apartementmu, jadi sekalian kuajak berbelanja sama-sama. Baguskan?” Sofia terkekeh, sedangkan Liam mendengus.]
[“Kau mengajak mereka seolah-olah sudah mengenal orang itu dengan baik? Bagaimana kalau nanti dia penjahat? Atau orang aneh? Kalau bukan aku yang mengantar kalian berdua-” Ucapan Liam terpotong.]
[“Khaha, iya-iya tuan overprotective. Makanya aku berani mengajak Nona Sia berbelanja sama-sama, ‘kan ada Komandan polisi yang hebat menjaga kami berdua,” Dengan nada mengejek, Liam reflek mengacak rambut cepat.]
[“Ck, cepatlah!”]
[“Baik, baik. Tunggu di bawah, oke?”]
“Hn,” Mengakhiri panggilan. Manik abu-abu Liam masih menatap layar handphone miliknya. Kebetulan apa lagi ini? Sofia tiba-tiba mengajak Sia untuk berbelanja sama-sama?
Setelah tadi dirinya bertemu dengan wanita itu, menemukan banyak sekali kejanggalan. Kali ini dia harus bertemu lagi dengannya. Jujur saja, entah kenapa Liam agak risih.
“Hh, apa yang kupikirkan tadi,” Memijat kening yang sedikit berdenyut.
Apa yang Ia pikirkan. Mengira bahwa Sia adalah sosok penjahat yang menyamar? Setelah mencicipi bekal sarapan terenak yang pernah Ia makan selama beberapa tahun belakangan ini? Tega sekali Liam menuduh Sia.
“Tidak seharusnya aku mengatakan itu,” Menghela napas panjang, tubuhnya semakin menyender. Sekarang hanya tinggal menunggu wanita-wanita itu turun.
.
.
.
.
Menggunakan celana panjang berwarna hitam, dan baju cream, dengan wig berwarna hitam yang tadi sempat Ia gunakan. Jangan lupakan lensa kontak berwarna legam.
Menggandeng kedua buah hatinya keluar dari kamar apartement mereka. Ari sengaja menguncir sedikit rambut Ella ke samping, lengkap dengan ikatan berhias bunga matahari kesukaan putrinya. Menggunakan rok kecil.
Argi dengan baju berwarna hitam bermotif pahlawan kesukaannya, dan celana jeans, keduanya selalu manis di mata Ari.
“Ah, itu mereka. Nona Sia!” Membuyarkan lamunan tadi, pandangan Ari tertuju ke arah sumber suara yang sempat memanggilnya.
Sosok Sofia berdiri di dekat dengan aquarium, menggunakan one piece berwarna hijau muda, dan tengah menggendong Hanna.
Sosok mungil berbalut pakaian dress mini berwarna biru, lengkap dengan rambutnya yang sengaja dikuncir dua.
Tersenyum tipis dan mengangguk pelan. Ari menghampiri Sofia. Penampilan mereka sangat berbeda. Sofia dengan karakter ibu yang anggun dan manis, sedangkan dirinya dengan karakter tomboy, dan terkesan simple.
“Maaf, lama menunggu.” Menunduk sekilas. Sofia menggeleng cepat, “Ah, tidak masalah, Nona Sia. Kita berdua juga baru selesai kok!”
“Selamat sore, Tante Sia!” Ari sedikit tersentak melihat Hanna menundukkan tubuh sekilas dan menyapanya. Ah, gadis kecil yang sangat sopan.
“Selamat sore, Hanna. Hanna, manis sekali,”
“Terimakasih, Tante! Tadi mama yang ikat rambut Hanna,” Gadis itu tersenyum ke arah Sofia.
“Ella, juga manis kok, oh sepertinya aku belum mengenal pangeran tampan di sebelahmu, Nona Sia.” Manik Sofia melebar saat melihat sosok Argi yang berdiri di samping Sia, menggandeng tangan ibunya.
Perawakan sangat mirip dengan seseorang, kedua manik berwarna abu-abu, rambut bentuk mangkok, paras wajah yang manis dan tampan serta kulit tannya. Sangat mirip dengan-
Ari tersenyum tipis, menatap putranya yang masih diam. “Ayo, Argi beri salam pada Tante Sofia dan Hanna.” Sosok mungil itu mengangguk cepat.
“Salam kenal, Tante Sofia, Hanna. Namaku Alvaro Argi Naruna.” Mengeluarkan cengiran khasnya, mau tak mau tubuh Sofia menegang.
Tidak mungkin ada dua orang yang sangat mirip kalau mereka sendiri tidak memiliki hubungan keluarga kan? Tapi apa yang Sofia lihat sekarang terasa nyata. Cengiran rubah itu benar-benar mirip Liam.
Hanna, menarik pelan dressnya, “Mama, ayo. Papa, pasti sudah menunggu di bawah,” Menyadarkannya kembali. Sofia sedikit tersentak, dengan keringat yang mengalir sekilas di pipi, wanita itu tersenyum kikuk.
.
.
.
.
“A-ah, iya. Kalau begitu bagaimana kalau kita berangkat sekarang. Papa Liam, sudah menunggu di bawah,”
Ah, bahkan wanita itu sudah terbiasa memanggil Liam dengan nama singkat dan embel-embel papa? Ari tersenyum pedih. Mencoba keras untuk tidak memperlihatkan kerutan pada kening. Ia tidak ingin membuat kedua buah hatinya khawatir.
“Baiklah, ayo Argi, Ella. Hari ini Tante Sofia dan suaminya ingin mengantarkan kita belanja,” ujar Ari tipis, menatap ke arah Sofia, bisa Ari lihat bagaimana wajah wanita itu memerah.
.
.
.
.
Turun dari lantai ruangan mereka. Keluar dari gedung, apa yang Ari lihat saat ini adalah sosok tegap yang kembali muncul di seberang sana. Dengan pakaian casual, dan tersenyum tipis. Melambai ke arah mereka.
Sengaja berjalan di belakang Sofia, menggandeng kedua buah hatinya, Ari lebih memilih untuk meladeni celotehan Argi dan Ella dibandingkan merasa sakit hati saat melihat kedekatan pasangan itu.
“Ibu, kita mau kemana memangnya? Ella, belum tahu tempatnya!”
Terkekeh kecil, “Ella, pasti suka, soalnya tempat belanja kita sekarang super besar, di sana ada banyak tempat berbeda.” Sayangnya mereka bersama dengan orang lain sekarang jadi geraknya terbatas, mungkin Ari tidak bisa mengajak putra-putrinya ke banyak tempat.
Manik Argi menatapnya berbinar, “Benar, Ibu?! Aku bisa belanja figure superhero-ku tidak?”
“Nanti kita lihat ya, sudah lama Ibu tidak ke sana.”
“Yee!! Kita berpetualang hari ini, Ella!!” tertawa kompak, setidaknya keberadaan Argi dan Ella sudah cukup membuat hati Ari membaik.