Selamat membaca :)
{ 14 }
.
.
.
“Uwaa!!!” Keluar dari dalam mobil, apa yang Argi dan Ella lihat pertama kali adalah sebuah gedung yang sangat besar. Banyak mobil yang terparkir rapi, ramainya keadaan perkotaan sangat berbeda jauh dengan tempat mereka tinggal dulu. Sepi, sunyi dan damai.
Sejenak melupakan permasalahannya tadi, Ari terkekeh. “Ayo jangan melamun terus, kita punya banyak sekali hal yang perlu dilakukan sekarang,” Mengelus puncak kepala kedua buah hatinya, mengembalikan pikiran mereka ke dunia nyata.
“Ibu!! Tempat ini besar sekali!!” Ella mengamit tangannya, begitu juga Argi. “Hm, Ella suka?” Berjalan pelan, setelah turun dari mobil tadi.
Sofia langsung menggendong Hanna dan berjalan di samping Liam. Ari sengaja membiarkan kedua pasangan itu berjalan di depannya.
Mungkin perlahan dia bisa merelakan Liam untuk Sofia. Setelah menerima ancaman dari sang ayah tadi, pikiran Ari semakin membulat.
Jauh dari perkiraannya jika suatu saat nanti Ari akan memberitahukan keadaannya pada Liam. Tidak akan pernah,
Membayangkan seberapa benci Liam saat mendengar dan mengetahui jati diri Ari. Pembunuh dengan banyak sekali dosa. Mana yang lebih baik? Seorang wanita pembunuh berdarah dingin atau,
“Hanna mau pancake sebentar, Mama!!”
“Hm, pancake apa?” Seorang sekertaris cantik dengan pribadi yang baik, tanpa menanggung dosa besar, dan selalu setia berada di samping sang Aiden?
Tersenyum tipis, pandangan Ari teralih kembali. “Kalian ingin Ibu buatkan apa hari ini, hm?” Berusaha mengalihkan pikirannya sendiri.
“Mie goreng, mie kuah, dan telur dadar!!” Siapa yang menyangka kedua buah hatinya berteriak kompak. Dengan senyuman lima jari mereka. Membuat Ari tergelak. “Mie? Kalian Ibu ajak ke sini jauh-jauh dan akhirnya tetap memilih mie goreng dan kuah?”
“Hm, Ibu tidak tahu bagaimana mie itu sangat lezat bagi kami!! Benarkan, Ella?!” Argi berujar penuh semangat. “Apalagi di tempat ini, pasti banyak sekali ada varian mie yang baru!”
“Kyahaha! Mie goreng!! Ella mau mie goreng kecap!!” Mengayunkan genggaman sang ibu. Suara teriakan keduanya sudah cukup menarik perhatian kedua pasangan di depan Ari. Terutama Liam,
Mendengar kata mie, laki-laki itu tertarik, sengaja memelankan langkah. Menatap Argi dan Ella. “Kalian suka mie juga?” Bertanya cepat.
“Suka!! Kata, ibu! Ayah kami itu maniaknya mie! Jadi kesukaan kami entah kenapa menurun darinya!” Menggosok bawah hidungnya dengan pipi memerah, Argi tersenyum lebar.
Kali ini mereka berjalan sejajar, Liam berjalan di sebelah Ella. “Hm, ayah kalian? Kebetulan Paman juga maniak mie! Terutama mie goreng seafood di kedai Sunrise sini, kapan-kapan Paman akan mengajak kalian ke sana!” Seolah nyambung saat dirinya berbicara tentang mie. Ari melupakan kepanikannya sesaat,
Melihat bagaimana raut wajah Liam yang nampak antusias saat membicarakan berbagai macam jenis mie. Satu hal yang tidak berubah, wanita itu tergelak. Tanpa sadar mengucapkan kalimat gamblang,
“Benar-benar tidak berubah,” Satu kalimat yang cukup di dengar jelas oleh semua orang di sekitarnya.
Termasuk, “Siapa yang kau maksud, Nona Sia?” Sofia dan Liam. Wanita berambut pirang kecoklatan yang nampak bingung mendengar ucapan aneh Sia. Begitu juga Liam, ucapan dan senyuman laki-laki itu meredam sesaat.
Mungkin anak-anak itu tidak terlalu mendengar ucapan Ari, berbeda dengan dua orang dewasa yang mendengar jelas. Kepanikan Ari naik satu tingkat. Dirinya tak sengaja berbicara gamblang, merutuki diri sendiri.
Sedikit panik, menggeleng kecil, setengah tertawa kikuk. “Ella dan Argi sama sekali tidak berubah sejak dulu. Mereka sangat menyukai berbagai macam mie seperti ayahnya,” Menjawab dengan lancar.
Sofia mengangguk paham, “Maaf jika aku lancang Nona Sia, sejak tadi aku bertemu denganmu. Aku sama sekali tidak bertemu dengan ayah Argi dan Ella. Apa ayah mereka masih bekerja?”
Terdiam sesaat, siapa yang mengira bahwa Sofia akan bertanya secepat ini padanya. Wanita itu tersenyum kecil, menatap ke arah Argi dan Ella. “Ayah, mereka sudah pergi sangat jauh, aku bahkan tidak bisa menggapainya lagi. Argi dan Ella hanya mendapatkan kenangan ayah mereka dari setiap cerita yang pernah kuceritakan pada keduanya.”
“Ma-maaf, Nona Sia. Aku lancang sekali-aw!” Merasakan sebuah pukulan kecil di kepalanya, Sofia meringis sakit. “Eh! Papa, kenapa mukul mama Sofia?!” Hanna dalam pelukan Sofia berjengit kaget.
“Jangan sembarangan bertanya, Sofia.” Liam memperingati Sofia, wanita yang hanya bisa tertawa kikuk. “Aish, iya-iya! Ah, kepalaku sakit sekali. Kau memukulku keras, Liam!”
“Apa?! Aku hanya memukulmu pelan! Jangan berlebihan!” Kedua pasangan itu bertengkar kecil di depannya. Sangat serasi. Ari merasa jadi pengganggu saja jika berada di sini.
Berusaha tersenyum, “Tidak apa-apa, Tuan William. Aku tidak keberatan sama sekali.” menatap ke arah Sofia dan Liam bergantian.
“Kalian berdua nampak sangat serasi, manis sekali. Jangan sering-sering bertengkar, oke?” Terkekeh geli, Ari sengaja berjalan melewati keduanya.
Melihat rona merah terpampang nyata di pipi Sofia, dan kedua manik abu-abu Liam yang menatapnya dengan senyuman tipis, sekilas Ia melihat semburat merah di kulit tan itu,
Apa artinya? Jantung Ari terasa diremas saat itu juga. Ari hancur walau hanya sekejap.
.
.
.
.
Di tempat lain-
Dibekali teropong kecil miliknya, melihat dari jarak yang tidak begitu jauh. Mengunyah crepes di salah satu tangan. Sosok perempuan yang hampir sama dengan figure sang Anindira, umur mereka pun hanya berbeda jarak lima tahun.
Kedua manik amber itu melihat gerak-gerik Ari, dengan gaya yang santai, sekilas Ia melengos malas.
“Hh, jadi itu incaranku mulai hari ini?” Mendesah kesal, rambut panjang berwarna kecoklatannya tertiup angin sekilas. Senyuman tipis terukir.
“Gara-gara kakak gagal membunuhnya, ayah sampai harus mengirimku ke sini, menyebalkan,” Mendengus tak suka. Tubuh itu perlahan menyender.
“Hm, kita bermain apa hari ini? Bagaimana kalau petak umpet, kartu, sesuatu yang menyenangkan, oh atau-”
Senyuman tipis itu berubah menjadi seringai, menyantap sampai habis crepesnya. Mendapatkan sebuah ide yang menarik.
“Kita main polisi-polisian saja,” Dengan senandung santai dan riang tubuh itu perlahan bangkit dari posisinya. Memastikan keadaan sekali lagi,
“Aku jadi penjahatnya, dan mereka jadi polisinya.” Sebuah ide yang sangat brilliant untuk memperkenalkan dirinya lagi, setelah sekian lama tidak bertemu dengan sang kakak.