DINGIN

697 Words
Di ruangan itu, Ranti hanya bisa menunduk. Sambil mendengarkan ucapan Pa Ridwan, ia sesekali melihat ponselnya. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Setelah dipersilahkan masuk, tampak 3 orang memasuki ruangan. Ternyata Tim Legal. "Pa Ario ini tim legal kita, agak terlambat karena mereka baru saja rapat di luar kantor. Head of Legal Wiratama, lalu asistennya Ira dan Andri," Pa Ridwan memperkenalkan. Wira dan Ario pun saling bersalaman. Sekilas Ranti melihat keduanya memiliki postur tubuh yang sama tinggi dan besar, meski Wira terlihat lebih berotot. Ario juga berbadan atletis tapi tidak menunjukkan otot yang berlebih. Ranti tiba-tiba memiliki imajinasi tersendiri, seperti apa jika ia menyentuhnya. Ranti stop! Ia merasa aneh sendiri, kenapa memikirkan hal itu. Hmm… Tiba-tiba Wira mengarahkan pandangan padanya. Ranti mencoba memasang muka cuek, antara kaget Wira melihatnya, sekaligus juga ketidaknyamanan satu ruangan dengan Ario. Namun entahlah apa yang terlihat. Apakah teman-teman kantornya di ruangan itu tahu kalau ia sedang gundah dan gelisah tidak jelas? Ah sudahlah, pikir Ranti. Tak lama, Pa Ridwan menyudahi pertemuan itu. Ranti pun kembali ke mejanya. Sesekali ia melirik ke arah ruangan Pa Ridwan, menanti keluarnya si tampan Ario dari ruangan itu. Plak! Punggungnya disentuh keras oleh seseorang. Ternyata Linda. "Aduh apa sih?" Ranti pura-pura kesal. "Rantiii.. iya benar itu pengacara super ganteng. Hmm.. Karismatik," puji Linda penuh semangat. "Terus kenapa?" Ranti berpura-pura cuek sambil melihat majalah. "Ihhh... Aku dukung dirimu sama pengacara ituuu..." Linda berbisik di telinganya. "Setujuuu..." Cica ikut-ikutan berbisik di telinga satunya lagi. "Tapi kelihatannya dia tidak ada interest. No comment," Ranti menjawab keisengan dua temannya itu. "Jangan menyerah ok?! Nanti kita ngobrol lagi, aku harus ke lapangan," Linda pun pergi. Cica mengikutinya. Keduanya terlihat tertawa bersama, entah apa yang mereka bicarakan. Ranti pun menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Ia yang tadinya menanti Ario keluar ruangan Pa Ridwan pun lupa. Sampai jam menunjukkan pukul 12.00, waktunya makan siang. Tapi Ranti kehilangan selera makan dan memutuskan hanya diam saja di ruangan. Namun, ponselnya berbunyi. Ternyata WIRA. Wira adalah teman sekelas saat SMA. Meski dulu saat SMA tidak terlalu dekat, tapi mereka saling kenal. Jadi hubungannya sekarang tidak canggung lagi, malah semakin akrab. Wira, "Ranti, mau gabung makan siang?" Ranti, "Dimana?" Wira, "Proper Lunch, gedung sebelah. Aku turun. Tunggu.” Langsung menutup telepon tanpa menunggu jawabannya. Ranti pun menghela nafas, dan akhirnya siap-siap keluar. Ruangan Wira ada di lantai 9. Supaya tidak lama lagi, Ranti pun bergegas menuju area lift, terus berjalan sambil melihat isi tas. Betapa kagetnya, baru ia sadari dompetnya tidak ada, Ranti pun setengah berlari kembali ke ruangannya. Brak! Badannya bertubrukan dengan seseorang dan sedikit terpental hampir mengenai pembatas ruangan. Namun ia terselamatkan, ada tangan yang menarik tangannya. Kaget! Lebih kaget lagi, ternyata sosok itu Ario. "Ma.. Maaf Pa Ario," Ranti meminta maaf sambil agak terbata-bata. Ia kaget luar biasa, pertama karena bertubrukan dan kedua Ario memegang tangannya!!! Lagi-lagi Ario tidak berkata-kata. Ia hanya tersenyum kecil. Hatinya meleleh... Ranti mulai merasa getaran-getaran itu memang ada. "Ranti!" Wira memanggilnya. Kondisinya saat itu, Ario masih memegang tangannya. Ranti pun melepaskan diri. Wira menghampiri keduanya, lalu menyapa Ario. "Siang Pa Ario, ternyata masih di kantor, mau gabung kita makan siang?" sapa Wira. "Terima kasih, tapi saya harus segera kembali ke kantor. Besok setelah meeting mungkin kita bisa lanjut makan siang," ujar Ario ramah. Ranti kaget. Kenapa Ario seramah itu? Sedangkan padanya tidak mengucap sepatah kata pun. Kecewa. Ranti merasa pupus harapan. "Baik Pa Ario, sampai besok," balas Wira. "Saya permisi dulu," pamit Ario. "Baik pa," ujar Wira. Ario pun melangkah menuju lift. Sementara itu, Wira menyapa Ranti. Saat Ranti mengungkapkan dompet entah dimana, Wira langsung mengusap cepat bagian atas kepala Ranti dan mengatakan,"Lunch on me! Ayo." Mereka pun berjalan ke arah lift. Ario masih di situ menunggu lift terbuka di lantai 7. Saat lift terbuka, dengan "terpaksa" mereka bertiga memasuki lift yang sama. Ranti menundukkan kepalanya, berpura-pura mencari barang di dalam tas. Sunyi, sepi, tidak ada obrolan dalam lift. Akhirnya lift tiba di lantai dasar. Ahh akhirnya, Ranti bersyukur dalam hati. Saat hendak melangkah keluar, Wira memegang bahunya pelan, dan mengarahkannya untuk keluar. Meski kaget, Ranti mengikutinya. "Mari Pa Ario," Wira berpamitan. Sekilas terlihat, Ario hanya tersenyum kecil dan mengangguk. Ranti merasa hari itu bukan miliknya. Bye pengacara ganteng, pikirnya saat itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD