Perhatian Lebih

1411 Words
Mata Cindy yang sipit terbelalak, ia terkejut mendengar pengakuan Lina yang tidak masuk akal itu. Yah, meskipun sebenarnya hal itu lazim dialami sebagian wanita. Bahkan, saat ini, menyukai kekasih atau suami orang lain sangat marak terjadi. Tapi, selama ini ia mengenal Lina, sahabatnya itu pantang menyukai laki-laki yang sudah memiliki pasangan meskipun ia setampan artis sekalipun. Bahkan, meskipun pria itu sendiri yang terang-terangan mengemis cinta dari Lina, walau setampan atau sekaya apapun pria itu, kalau ia sudah memiliki pasangan, sahabatnya ini tidak akan menyukainya secuil pun. Lina tipe perempuan yang setia terhadap satu pasangan dan yang ia tahu, kekasih Lina saat ini hanya Alex. Walaupun Alex tipe cowok b******k yang hanya menganggap Lina hanya sebagai tempat bersenang-senang, Lina tetap menyukainya dan setia padanya. Akan tetapi, pengakuannya kali ini benar-benar menjadikan Lina seperti orang lain saja, baginya. Ia tidak percaya. “Kau jagan gila, Lina. Ini hanya bohongan kan? kau tidak mungkin akan menyukai pria milik orang lain hanya karena kau putus dengan Alex, kan?” ucap Cindy, ia sangat berharap kalau yang Lina ungkapkan itu hanya candaan. Lina menggeleng. “Tapi sayangnya ini kenyataan, Cindy. Aku sendiri tidak menyangka akan menyukainya. Awalnya aku tidak tahu kalau dia sudah punya kekasih, perasaanku sudah terlanjur tumbuh tak terkendali. Lantas apa yang harus aku lakukan?” “Lupakan dia, hilangkan perasaanmu itu dengan bersikap professional lah dengannya. Karena aku sangat yakin, dia melakukan kebaikan untukmu itu hanya sebatas sikap profesionalisme semata. Dia tidak tahu tentang perasaanmu dan juga tidak memiliki perasaan apapun terhadapmu. Jadi buat apa kau menyiksa perasaanmu sendiri. ujung-ujungnya kau akan sakit dan menderita sendiri,” Cindy menjelaskan. Lina hanya mendegarkan ucapan dari Cindy, ia terdiam. Memang benar, jika ia memupuk sendiri perasaan yang sudah terlanjur bersemi di dalam hatinya itu, pada akhirnya dirinya sendirilah yang akan menderita. Ia tahu kalau Rizal sama sekali tidak memiliki perasaan padanya, tapi bodohnya dia malah membiarkan perasan itu tumbuh semakin subur hingga bersemi. “Aku akan mencobanya, aku akan melupakannya,” ucapnya berjanji. “Bagus, aku bisa membantumu. Akan aku atur kencan buta untukmu. Kau bisa menemui dan berkenalan dengan pria yang akan menemuimu nanti. Jika soal kebaikan, jangan ragu untuk meminta bantuanku. Aku tidak ingin kau di cap sebagai pelakor dan menderita karena patah hati sendiri, Lina. Kau itu cantik, bahkan sangat cantik. Tidak susah mendapatkan pria. Jangan sia-saiakan perasaanmu untuk harapan yang sudah kau ketahui dengan pasti akhirnya seperti apa. Dan juga, seseorang yang menjadi perebut pasangan orang lain, tidak akan mendapatkan ketenangan hidup,” ucap Cindy dengan tulus. “Iya, terima kasih telah mengingatkanku, aku pasti akan berusaha melupakannya,” ucap Lina dengan penuh keyakinan. Cindy tersenyum simpul dan mengangguk memberi dukungan. Setelah beberapa saat berbincang, mereka pun melanjutkan kegiatan work out mereka yang menyegarkan. Lina melaju bersama mobilnya, setelah pulang dari Gym, ia kembali ke rumah untuk mandi dan kembali melakukan kesibukannya sendiri. Hari ini ia berencana berjalan-jalan sendiri untuk menghilangkan bayangan Rizal yang masih selalu mengusiknya. Ia juga sekalian menunggu jadwal konselingnya. Masih tersisa 3 jam sehingga ia masih bisa dengan bebasnya menghibur diri dulu. Begitu sampai di mall, ia pun lansung berkeliling. Masuk ke dalam satu toko ke toko yang lain. Ia juga tidak sengaja bertemu dengan teman-temannya. Mereka pun berbincang hingga tidak terasa waktu konselingnya sudah hampir tiba. “Oh ya, teman-teman, aku balik duluan, ya. Ada urusan. Kalian nikmati saja, aku yang traktir…” setelah mengucapkan itu, Lina bergegas meninggalkan tempat dan pulang. Di tengah perjalanan ia pun berusaha menormalkan perasaannya yang mulai berdebar. Entah ia keras kepala atau apa, setiap kali akan menjalankan proses terapi hatinya begitu sangat senang. “Berhentilah berdebar, Lina. Dia bukan orang yang bisa kau miliki…” Lina berusaha menguasai diri sembari terus melaju menuju klinik dokter Rizal. “Ckiiiik…!” tiba-tiba ia mengerem paksa mobilnya kareyan seseorang yang tiba-tiba menyeberang jalan saat mobilnya hendak berbelok. “Hah, hampir saja! siapa orang bodoh itu? dasar…” dengan emosi Lina keluar dari mobil dan menghampirinya. “Hei…!kalau mau nyebrang lihat kanan kiri dulu! jangan main terobos saja. Kau mau mati setidaknya jangan libatkan orang lain!” hardiknya murka. Tapi orang itu masih duduk di tanah sambil menunduk. Lina yang merasa membuang-buang waktunya mengurusi orang bodoh itu langsung pergi meninggalkan tempat. “Liana…” tiba-tiba orag itu memanggil sebuah nama. Langkah Lina terhenti, nama itu lagi. Ia menoleh ke arah orang itu dan melihat seorang wanita berumur 40-an tersenyum getir ke arahnya. Rambutnya yang di cat berwarna cokelat gelap dengan kulit pulih yang terawat, memaksa Lina mengakui kalau wanita yang ada di hadapannya ini cantik meskipun terlihat sudah berumur, namun kecantikan wanita itu masih terlihat. Dan entah kenapa, semua ia lihat pada diri wanita itu mirip dengannya. Tangan wanita itu ia rentangkan seolah ingin Lina berlari ke arahnya dan memeluknya dengan hangat. “Kau siapa?!” tanya Lina dengan sinis. Ia curiga, jangan-jangan wanita inilah yang pernah menelponnya dan mengaku-ngaku sebagai ibu kandungnya. “Liana, lihatlah sayang, kau mirip sekali degan Mama. Kau tumbuh begitu cantik sempurna. Kau mewarisi kelebihan mama, sayang. Dan bahkan jauh lebih cantik. Mama sangat senang melihatmu seperti sekarang.” Wanita itu terus mengatakan hal tidak masuk akal membuatnya semakin geram. “Hei kau! Jika kau ingin terus berceloteh tidak penting denganku, lebih baik kau pergi saja dari sini atau kau akan aku tabrak sampai tewas!” “Liana. tolong dengarkan Mama, sayang. Mama hanya ing….” “Berhenti memanggilku dengan mana itu, dan kau bukan mamaku. Aku bukan ankamu, jika kau ingin memeras keluaragku dengan cerita tidak masuk akalmu itu, aku tidak akan memaafkanmu!” Lina dengan penuh kekesalan melangkah meninggalkan tempat itu. “Tapi lagi-lagi wanita itu berhasil menahan langkahnya bahkan ia sudah tepat berada di sampingnya. “Apa yang kau lakukan, pergi dariku…!” karena terkejut, Lina dengan refleks mendorong wanita itu hingga jatuh tesungkur dengan lutut yang berdarah. “Maaf, aku tidak sengaja,” ucap Lina karena merasa bersalah telah membuat wanita itu terluka. “Liana, sayang. Tolong dengarkan aku dulu. Percayalah, aku ini adalah orang yang telah melahirkanmu. Aku tidak ingin meminta pengakuanmu, aku hanya ingin kau mengetahui kebenarannya. Aku tidak mengatakan ini hanya sekedar omong kosong. Coba lihatlah ini…” Wanita itu menyerahkan sebuah kertas kepada Lina. Gadis itu kemudian membacanya. Setelah melihat isi kertas itu, tangan Lina mengepal. Emosinya semakin membuncah. Moodnya seketika kacau. Dadanya sesak dan nafasnya mulai tersengal. Wanita yang melihatnya jadi khawatir melihat Lia seperti itu. “Liana, kau kenapa sayang…!” Wanita itu ingin menyentuh pundak Lina tapi dengan kasar Lina menepisnya. “Menjauh dariku…!” bentaknya. Dadanya terasa sangat sesak, tapi ia kemudian berhasil menguasai dirinya. Ia pun menatap tajam ke arah wanita itu. “Apa yang kau buktikan dengan memperlihatkan kertas tidak berarti ini padaku? jika pun kertas ini benar, apakah kau berpikir aku akan menganggapmu sebagai ibuku? Kau jangan bermimpi. Sekarang kau pergi dari hadapanmu dan jangan pernah mencoba ingin menemuiku lagi. atau aku akan langsung menabrakmu tanpa ragu sedikitpun.” Lina masuk ke dalam mobil dan melaju meninggalkan tempat itu. Air matanya seketika menetes. Ia jelas sudah membaca kertas hasil tes DNA itu. Setelah mengetahui segalanya, hatinya sungguh merasa hancur. Dadanya kembali merasa sangat sesak, ia jadi kesulitan bernafas. Ia pun menepikan mobilnya di sisi jalan dan berusaha menormalkan kondisinya. Ia tidak boleh lemah seperti ini, tidak ada orang lain yang bisa menolongnya. Tiba-tiba ponselnya berdering. “Halo…” sapanya “Kau ada di mana, jadwalmu sudah lewat setengah jam. Apa kau mau menundanya?” suara Rizal terdengar khawatir. Anehnya, setelah mendengar suara Rizal, hatinya berangsur sedikit tenang. “Dokter, sepertinya aku tidak bisa terapi hari ini,” ucapnya sambil menahan air mata yang terus menerobos keluar dari pelupuk matanya. Lina hanya menggigit bibir untuk menahannya. “Suaramu seperti menangis, ada apa, Lina? aku jemput kamu di rumah, ya? jika kondisinya seperti itu, terapi perlu dilakukan,” Rizal terdengar khawatira. “Tapi aku tidak ada di rumah. dokter. Aku diluar. Aku akan datang ke klinik besok sore saja atau kalau dokter tidak punya waktu hari ini, tolong beritahu kapan dokter punya waktu. Baiklah aku tutup teleponnya, ya..” “Lina tunggu, sekarang juga katakan padaku kau ada di mana…!” Rizal ternyata tidak setuju dengan ide Lina yang akan membatalkan konselingnya. Hal itulah yang selalu membuat hati Lina goyah, perhatian lebih seperti inilah yang membuat jantungnya seakan ingin meledak saat ia berada dekat dengan Rizal. Bagaimana bisa melupakan pia itu? “Aku tidak apa-apa, tolong dokter hari ini saja.” “Tidak… aku sudah melacak ponsel mu, aku akan datang sekarang. Tunggulah di sana.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD