Hati yang Gamang

1104 Words
Winda tampak murung sepanjang perjalanan menuju bandara. Betapa tidak, ia harus berpisah dengan kekasih hatinya sampai waktu satu tahun lamanya. Mejalani hubungan jarak jauh memang sudah menjadi bagian dari kebiasaan hidup yang harus ia jalani. Walaupan tampak sudah terbiasa dengan hal itu, tapi tetap saja, hatinya sangat tidak rela berpisah. Apalagi mereka sedang semakin sayang-sayangnya. Saat berpamitan dengan ayah dan ibu tirinya di rumah, hatinya tidak sesedih ini. Saat ini bahkan, semakin dekat bandara, hatinya pun semakin berat. Ia menggengam erat tangan Rizal dengan erat sedang tangan kanannya memegang setir. Ia memeluk kekasihnya itu seolah tak rela berpisah. Mobil berhenti di parkiran bandara, berkali-kali Winda menghela nafas panjang. Rizal membuka pintu mobil untuknya lalu mengulurkan tangan untuk meraih tangan Winda membantunya keluar dari mobil. Dengan menarik koper menuju bagian check in pesawat, ia menaggandeng lengan kekasihnya itu. “Aku tidak mau ke Kanada…”rengek Winda saat mereka berada di boarding room. Rizal sebenarnya juga merasakan hal yang sama, tapi ia terlihat jauh lebih tegar. Ia lalu mencium kening kekasihnya dengan lembut untuk menenangkan hatinya begitu juga dengan Winda. “Bertahanlah setahun lagi, setelah itu tidak ada yag akan menghalangi kita lagi, sayang,” ucapnya dengan penuh kesungguhan. “Rizal, aku takut berpisah denganmu. Aku takut kehilanganmu.” Air mata Winda menetes. Entah mengapa ia merasa perpisahan mereka terasa sangat berat. Seolah mereka tidak akan bertemu lagi. “Hei, jangan menangis. Kok jadi cengeng begini, tuh orang-orang pada melihat ke arah kita. Nanti mereka salah paham menganggap aku yang mencubitmu sampai menangis begini,” ucap Rizal. “Dasar, kau masih bisa bercanda di saat seperti ini,” singgah Winda sambil menghapus air matanya. Saat penumpang harus masuk ke dalam pesawat, air mata Winda semakin menetes. Ia tidak mengerti kenapa ia menajdi mellow begini. Ia terus memeluk Rizal karena sangat berat sekali berpisah dengannya. “Sayang, orang-orang sudah menunggu di pesawat. Kau juga harus segera masuk,” ucap Rizal mengingatkan. Winda melepas pelukannya dan menatap Rizal dengan dalam. “Aku pergi dulu, dah…” ucapnya lalu melangkah meninggalkan Rizal yang menatap kepergiannya dengan tatapan sendu penuh kesedihan. Rizal masih berdiri di tempatnya saat pesawat Winda sudah mengudara. Ia hanya berdiri mematung, hatinga kosong hilang bersama kepergian Winda. lama ia terdiam di sana. Setelah berapa lama, ia baru meninggalkan tempat itu dengan perasaan gamang. Setelah mengurung diri di kamar semalaman, keesokan paginya Rizal sudah bersiap untuk bekerja. Segelas s**u dan roti lapis sebagai sarapannya sebelum ia berangkat. Rizal masuk ke dalam mobil porche berwana putih miliknya dan melaju menuju klinik. Sesampainya di klinik, ia langsung menjalani rutinitas hariannya seperti biasa. Tapi yang berbeda adalah, dokter itu tidak banyak bicara. Ia tentunya bekerja seprofesional mungkin saat menangani pasien, tapi saat pada sedang tidak bekarja, ia hanya berdiam diri di ruangannya, ia juga jarang bicara. Kedua perawatnya hanya bisa menatap iba, mereka sangat memaklumi perasaan dokter tampan mereka itu, ia baru saja berpisah dengan kekasihnya untuk menempuh pendidikan di Negara orang, mereka kembali harus menjalani hubungan jarak jauh yang menyiksa. Pasti rasanya tidak akan mudah. “Apa kita batasi pasien hari ini, dokter?” tanya suster Yuli penuh perhatian. “Tidak perlu, suster. Tetap seperti biasa. “ Dokter Rizal lalu menganygakt kepanya, “Apa kau mengkhawatirkanku?” tebak dokter Rizal. Senyumnya sedikit tersungging membuat suster itu bernafas lega. Setidaknya pria ramah ini masih bisa tersenyum. “Tentu saja, dokter. Dokter terlihat sering melamun, jadi kalau masih butuh waktu untuk sendiri, Dokter tidak perlu memaksakan diri,” ucap suster itu lagi. Rizal tersenyum lagi. “Terima kasih, tapi aku tidak apa-apa, suster. Kita lanjutkan, pekerjaan seperti biasa,” ucap Rizal. “Baiklah, kalau begitu.” Suster itu mengangguk lalu memanggil pasien lain. *** “Huffft… akhirnya selesai juga,” ucap dokter Rizal setelah berkutat dengan pasien-pasiennya. Ia meneguk kopinya hingga habis kemudian beranjak dari kursi. Ia melihat jam yang melingkar di tangannya, waktu sudah menunjukka pukul 9 malam. Berarti Winda masih dalam perjalanan, ia kembali menghela nafas lalu beranjak meninggalkan ruangan. “Suster, aku pulang duluan, ya?” ucap dokter Rizal pamit kepada kedua susternya. “Iya, dokter, hati-hati di jalan.” Jawab mereka hampir bersamaan. Kedua suster itu hanya menatap Rizal yang sudah melaju dengan mobilnya. Suster Sisil lalu menatap Suster Yuli yang kembali membereskan ruangan. Setelah ini, mereka juga akan pulang ke rumah masing-masing. “Eh Sil, aku kok merasa kasihan, dengan dokter, ya?” ucap suster di kepada rekannya, Rekannya itu menoleh. “Kasihan kenapa maksudmu? Dokter Rizal ganteng, kaya raya dan punya kekasih yang juga dokter, pula. Apanya yang kasihan, coba?” saggah rekannya. “Maksudku bukan itu, kamu gak lihat apa, sejak kekasihnya kembali ke Kanada, dokter terlihat murung sepanjang hari. Kan kasihan…” jelasnya. “Ya wajarlah, ditinggal pacar jauh ke negeri orang. Siapa yang tidak sedih coba? Coba kamu bayangkan saja jika suami atau anakmu pergi jauh, apa kamu akan baik-baik saja?” suster Yuli itu bertanya balik. “Ya pasti sedih banget lah, makanya, harusnya mereka itu jangan berpisah, apalagi dokter Rizal sangat mencintai nona Winda. Aku selalau perpikir, kanapa nona Winda gak kuliah di sini saja agar mereka bsia bersama-sama, kalau pisah begini, kan kasihan.” Jelasnya lagi. “Aduh, kamu ini. Pendidikan itu lebih penting bahkan dari perasaan mereka sendiri. Denger-denger, orang tua nona Winda yang memaksanya untuk kuliah ke luar negeri. Walau Nona Winda tidak ingin, itu juga menjadi salah satu syarat hubungan mereka direstui. Jadi mereka terpaksa. Lagian juga setahun lagi kuliah pacar dokter selesai, katanya mereka baru akan menikah setelah itu. Lagian itu kan urusan mereka, kita ini hanya bekerja, dan selama dokter Rizal masih sehat, berarti kita juga masih baik-baik saja. “Iya, benar juga. Makanya aku selalu mengkhawatirkan dokter Rizal,” timpal suster Sisil. “Uda ah, pekerjaanku beres. Kita pulang, yuk,” ucap suster Yuli sambil.meriah tasnya dan berjalan menuju pintu. “Baiklah, tunggu aku” Mereka pun beranjak dari ruangan itu lalu mengunci pintu klinik dan pulang ke rumah. *** Dokter Rizal memakirkan kerdaraannya di depan halaman sebuah pusat kebugaran. Sepulanganya dari klinik, ia tidak langsung pulang ke rumah, melainkan singgah ke tempat ini. Pria tampan itu membuka turun dari mobil masih menggunakan kemeja yang ia pakai bekerja tadi. Dengan tas di tangannya, ia pun masuk ke dalam. Menyapa teman-temannya dan berjalan menuju ruang ganti, sesaat kemudian ia keluar dengan mengenakan pakaian olah raga. Seketika tubuh tinggi yang tadinya tertutup oleh kemeja jadi terlihat. Otot lengan Rizal yang kekar terlihat indah, dengan tinggi proporsionalnya membuatnya semakin memikat. Ia berjalan ke ruangan fitness. Akan tetapi langkahnya tiba-tiba terhenti, matanya memandang lurus ke depan tidak berkedip. Ia berdiri mamatung tak bergerak dan terus menatap di mana ia melihat sosok itu berjalan menuju arahnya berada.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD