Perubahan besar

1418 Words
Lina tidak menjawab, ia tidak mungkin mengatakan jika dokter Rizallah satu-satunya alasan kenapa ia tidak ingin terapi. Jika pun ia memiliki keberanian untuk mengatakannya, apakah ia sanggup menghadapi reaksi Rizal nantinya. Bagaimana nanti jika Rizal tahu dan langsung meninggalkannya? “Ah, maaf aku bohong, Dokter. Sebenarnya alasan saya tidak bisa hadir karena aku sakit kepala. Kau tidak lihat, bahkan pakaianku untuk ke klinik tidak sempat aku ganti, karena tiba-tiba kepalaku sakit sekali. mungkin lain kali saja, dokter. Hati ini aku benar-benar ingin istirahat saja,” ucap Lina. “Begitu rupanya, apa kau butuh sesuatu. oh ya, kau sudah minum obat?” Rizal pun membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa tablet obat. “Ah, ini. minumlah,” Rizal memerikan obat itu kepada Lina. “Ti-tidak perlu, dokter. Aku hanya butuh istirahat saja , mungkin besok sembuh,” ucap Lina menolak. Duh, kenapa pria ini perhatian sekali, sih? Apa dia enggak peka sama sekali, kalau aku butuh waktu sendiri? bagaimana aku bisa tenang kalau dia terus berada di sini? gerutunya dalam hati. “Loh, kenapa tidak usah. Kau kan belum minum obat . ayo cepat di minum obatnya, nanti juga akan sembuh, Rizal malah memaksanya untuk meminum obat yang ia berikan tadi. “Ya sudah deh, aku minum.” Lina terpaksa menuruti kemauan Rizal. Pria itu tersenyum puas melihat Lina menuruti kata-katanya. “Lina, meskipun kau tahu, harta yang paling mahal di dunia ini adalah kesehatan. Jadi kita harus selalu menjaga anugerah itu. contoh kecilnya saja, jika kau sakit kepala seperti ini, jangan disepelekan. Segera sembuhkan dengan meminum obat,” jelas Dokter Rizal. “Iya-iya deh, dokter. Mentang-mentang kau itu seorang dokter, apa-apa aja selalu obat. Bosan tahu, aku minum obat terus,” protes Lina. “Aku mengerti, tapi setidaknya hal itulah yang bisa membautmu bertahan dan sembuh. Jika kau sakit, kau harus berobat, itu saja.” ucap Dokter itu lagi. “Iya, aku mengerti, dokter,” ucap Lina. “Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu. aku harap besok kau sudah siap untuk terapi, jangan sampai jadwal terapimu minggu ini tabrakan dengan jadwal minggu depannya.” Rizal mengingatkan. “Iya dokter terima kasih, sudah mengingatkan” jawab L:ina. Rizal tersenyum lalau berjalan keluar dari kamar. Lina hanya bisa menatap kepergian Dokter Rizal dengan perasaan hampa dan kosong. “Hah… sebenarnya apa yang salah di sini? semuanya terlihat baik-baik saja. dokter Rizal menjalankan tugasnya dengan tulus dan jujur , dan semuanya baik-baik saja. Yang membuat semuanya bermasalah adalah dirinya sendiri. Ia yang memunculkan perasanannya sendiri, merasakan kebahagiaan sendiri dari khayalan dan harapan semuanya kemudian berakhir dengan sakit hati yang menusuk. “Aku tidak tahu harus melakukan apa untuk menghilangkan perasaan ini, apa aku jujur saja agar dokter Rizal juga berusaha menjaga jarak denganku? Tapi, apakah aku tidak akan terlihat seperti wanita tidak tahu malu? ah.. susah sekali!” gamannya gusar Ia pun kembali merebahkan tubuhnya, ia jadi tidak mengantuk lagi karena ia barus saja bangun. Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, sebentar lagi kedua orang tuanya pulang. Ia pun bangkit dari ranjang dan berjalan menuju dapur. Orang tua Lina pasti selalu makan malam bersama, sehingga di dapur, para pelayan sibuk menyiapkan makanan untuk majikannya. “Lagi masak apa, Bi? apa aku juga bisa membantu?” tanya Lina sambil ikut bergabung dengan beberapa pelayan wanita yang sibuk di meja dapur. ‘Oh, tidak perlu nona. Kami yang akan mengerjakan semuanya. Nona duduk di meja saja,” cegah para pelayan itu. “Tidak, Bi. Aku juga ingin menyediakan makan malam untuk kedua orang tuaku jadi biarkan aku membatu kalian,” ucap Lina bersikeras. “Oh, begitu ya, Non. Baiklah. Sini, non kami bantu,” sambut pelayan itu. Lina pun ikut dalam kesibukan mereka menyiapkan makan malam. Lina tampak sangat menikmati kegiatannya itu. Ia jadi lebih banyak tahu tentang ilmu masak-memasak. “Nona suka berada di dapur, ternyata…” ucap salah satu pelayan yang paling berumur di antara pelayan lain. Pelayan itu juga adalah seseorang yang sudah mengabdikan hidupnya pada keluarga Kizara. “Iya, Bi Retno. Sebenarnya aku suka sekali berada di dapur dan selaku ingin masak. Tapi Bibi tahu sendiri, kan sikap mama, Mama tidak pernah mengizinkan aku untuk menyentuh dapur,” keluh Lina. “Kalau Nona memang suka dan ingin belajar memasak, kami siap mengajari Nona,” ucap sang pelayan. “Iya, Bi. Aku mau!” Lina menjadi bersemangat. Para pelayan itu tersenyum melihat betapa antusiasnya putri dari majikannya ini. Mereka tidak menyangka putri yang dulunya sangat tidak bisa diatur, keras kepala dan sombong, kini berubah menjadi gadis yang penyabar dan baik. Mereka bersyukur Lina telah ditangani oleh dokter yang tepat. Andai saja mereka bisa berjodoh. Setelah semua makan terjadi, Lina ke kamarnya untuk mandi. Setelah itu keluar lagi untuk u tuk menunggu kedua orang tuanya. dan setelah beberapa saat, tuan Kizara dan istrinya pun datang. “Mama… Papas…!” seru Lina sambil memeluk kedua orang tusnya menyambut kedatangan mereka. “Sayang, ada apa ini, sekangen itu ya ke mama…?” ucap sang ibu. “Loh sayang, bukan Cuma kangen ke kamu saja dong, pastinya ke Papa juga, iya kan sayang?” protes Kizara terhadap istrinya. “Hm… ada yang iri, nih?” goda sang istri. “Tidak, Papa gak iri…” sanggah sang suami “Ngaku aja deh, Pa kalau iri…” “Loh, kok kalian malan berantem sih? sekarang masuk ke kamar dan mandi. Setelah itu ke meja makan. Karena aku sudah memasak sesuatu yang spesial untuk kalian berdua. Dan tenang saja, kalian adalah Papa dan Mamaku yang terbaik di dunia dan aku pastinya sayang kalian berdua. Nah, sudah puas kan?” Lina menengahi karena orang tuanya jadi seperti anak kecil jika sudah menyangkut perdebatan. “Oh, Puteri Mama semakin hari semakin menggemaskan saja. Iya, sayang, kami masuk dulu, ya,” sahut sang ibu. “Sampai ketemu di meja makan, Ma… Pa…” Kedua orang tuanya pun masuk ke dalam kamar sedangkan Lina hanya menatapnya dengan menghela nafas dalam, apakah sudah saatnya ia mengungkapkan keputusannya kepada kedua orang tuanya? Kedua orang tuanya keluar dari kamar dan berjalan ke meja makan, di sana sang putri sudah menunggu. Lina tersenyum melihat orang tuanya . “Ayo, Ma…Pa… “ panggilnya. “Sayang, apa benar kau yang memasak ini semua?” tanya sang ibu menatap makanan yang melimpah di atas meja makan. “E... bukan semuanya sih, Ma. Sebenarnya aku hanya bantu-bantu di dapur. Tentu saja bibi yang memasaknya, kan aku belum bisa memasak. Oh, hasil masakanku ini dan ini…” Lina menunjuk telur dadar yang tertata cantik di atas piring. “Wah, yang benar sayang. Kalau begitu aku mau habiskan ini saja deh. Baru kali ini Mama akan mencicipi masakan putri kesayanganku,” ucap sang ibu terlihat bersemangat. akan tetapi baru saja ia hendak mengambil telur itu, sang suami sudah merebutnya lebih dahulu. “Papa..! kenapa diambil? Aku makan yang itu!” ucap sang istri kesal. “Sayang, apa kau sudah lupa? Kulitmu akan bersisik dan gatal kalau makan telur, kan?” ucap sang suami mengingatkan. “Tapi itu kan masakan Lina, aku mau memaknanya…” raut wajah Yuanita terlihat sedih karena gagal mencicipi masakan anaknya. “Kalau kau mau tersiksa lagi karena alergi? makan yang lain saja. Ini biar Papa yang makan, ya. Wah, kalau rejeki memang tidak ke mana, he..heh..” ucap sang suami penuh kemenangan. Yuanita menjadi murung. “Loh, Mama alergi telur? Aduh, maaf ya, Ma. Lina gak tahu. Tapi, jangan khawatir, besok malam aku akan menyiapkan makanan yang mama mau saja. Oke? Hari ini biarkan Papa menang, Ma. Besok giliran Mama yang jadi ratunya, bagaimana?” Lina berusaha membujuk sang ibu agar kembali tersenyum. “ Apa kau janji?” “Iya, Mama. Aku akan masak makanan buat Mama…” ucap Lina meyakinkan. “Tapi nanti kau akan terluka, sayang...” “Aku bisa berhati-hati, kok Ma. Jangan khawatir, sekarang makan yang lain saja dulu, telur dadar itu biarkan saja buat ayah semuanya. Sebagai gantinya, aku yang akan melayani ratuku ini dengan baik…” Lina pun menyajikan makanan di piring sang ibu, jika dulu Yuanita yang selalu melakukan itu kepada putrinya ini, kini ia juga bisa merasakan betapa bahagianya perasaannya saat melihat sang putri melayani dirinya. Air mata haru luruh seketika. “Lina sayang. Kau sudah banyak berubah, Nak. Aku merasa sangat senang sekali,” ucapnya sambil memeluk sang putri dengan penuh kasih sayang. Kizara pun sangat bersyukur melihat perubahan sikap putrinya itu. Sungguh ia tidak salah memilih dokter Rizal sebagai dokter terapi putrinya ini. Tanpa sadar harapan itu muncul kembali, keinginan di mana Rizal dan putri ya ini bisa bersama. Tapi detik kemudian, ia menggeleng dan menghilangkan pikiran itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD