Serangan Panik

1119 Words
Rizal melihat Lina berdiri di depan gerbang kliniknya, ia pun menghampirinya lalu membuka pintu mobil untuk gadis itu. Lina masuk dan duduk di jok samping Rizal. Mobil kemudian melaju ke jalan yang ramai. Rizal melirik Lina yang hanya terdiam sambil memandang ke arah jendela. “Kenapa kau tiba-tiba meminta untuk diantar pulang? Bukannya mau pulang sendiri tadi?” tanya Rizal memulai pembicaraan. “Aku tidak tahu, tapi tadi saat taksi sudah datang, tiba-tiba saja aku ingin diantar oleh dokter,” ucap Lina. Ia melirik ke arah pria itu lalu buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Rizal terdiam, ia berpikir reaksi Hypnoterpainya masih tersisa sehingga alam bawa sadar Lina kembali mengusai pikirannya. “Sebenarnya ini akan lebih baik. Aku bisa lebih yakin. Lagi pula ayahmu juga memintaku untuk mengantaramu pulang degan selamat,” ucap Rizal. “Dokter tidak percaya padaku?” tanya Lina tidak terima. “Terus terang tidak,” jawab Rizal. “Ck…” sungut Lina. Mobil terus melaju membelah jalan, sepajang perjalanan mereka hanya terdiam. Lina fokus dengan pikirannya sendiri sedangkan Rizal fokus menyetir. Mobil memasuki pekarangan luas rumah milik tuan Kizara dan berhenti. Lina membuka pintu mobil dan turun, begitu pula dengan Rizal. Tanpa berkata sepatah kata, Lina langsung melangkah menuju pintu dan membukanya. Sementara Rizal hanya berdiri menatapnya. Tapi sebelum masuk, Lina menoleh ka arah Rizal lalu tersenyum. “Terima kasih sudah mengantar, dokter,” ucapnya. Rizal tersenyum dan mengangguk sebagai responnya. Lina lalu masuk ke dalam dan menutup pintu. Rizal menatap rumah megah itu beberapa saat lalu masuk ke dalam mobil dan melaju meninggalkan tempat itu. Di dalam kamar, Lina langung merebahkan tubuhnya. Entah kenapa sejak tadi ia merasakan hal aneh yang membuatnya lebih tenang. Perasaannya seperti lega dan plong. “Mungin terapi itu tidak buruk juga,” gumannya sambil meraih ponselnya yang ada di atas meja. “Ah, coba alu lihat Alex lagi ngapain sekarang.” Lina terlihat mengambil ponselnya , tapi ia terdiam. “Aku kan hanya ingin meneleponnya, bukan ketemu,” Lina menjadi ragu sendiri untuk menghubungi kekasihnya itu, karena ia tiba-tiba saja teringat janjinya untuk tidak berhubungan dengan Alex. Gadis itu seakan merasa bersalah jika mengingkari ucapannya. “Halo Alex?” sapanya saat paggilan teleponnya tersambung. Tubuhnya berguling mencari tempat semanyaman mungkin di atas kasur yang empuk itu. “Hmm…” respon Alex. “Loh. Kok jawabnya gitu aja sih? Kamu marah?” tebak Lina, ia merasa kekasihnya itu terkesan dingin menanggapinya. Ingin sekali ia datang ke sana dan meluapkan kerinduannya tapi entah kenapa ada yang menghalangi keinginannya itu. “Itu kau sudah tahu,” jawab Alex masih terdengar dingin. “Lex, jangan begitu dong. Kau kan tahu aku terpaksa pergi. Tahu sendiri tahu apa yang akan terjadi kalau aku gak pergi dari sana? maafkan aku , ya?” ucap Lina meminta maaf pada kekasihnya itu. Hubungannya dengan Alex bisa dibilang sudah lama, mereka menjalin kasih tanpa batasan dan tak terkontrol. Kebebasan yang diberikan oleh kedua orang tua angkatnya ia salah gunakan. Tidak jarang, Lina tinggal selama beberapa hari di rumah Alex dan itu sudah merupakan hal lumrah baginya. Salahnya, kedua orang tuanya hanya membiarkannya saja tanpa kontrol sedikitpun. “Aku akan memaafkanmu dengan syarat kita harus bertemu besok,” ucap Alex. “Be-bertemu besok?” Lina tampak terkejut. Sebelum Rizal mengintervensi kehidupannya, ajakan seperti itu adalah hal yang akan membuat Lina kegirangan. Dan tentu saja ia akan datang memenuhi panggilan itu dengan senang hati. Tapi kini, entah kenapa mendengarkan itu saja sudah membuatnya merasa tidak enak karena ia kemungkinan akan menolak dan hal itu untuk pertama kali ia lakukan. “Iya, ketemu. Kenapa? kedengarannya kau tidak senang? bukannya selama ini kau bahkan yang akan meminta untuk datang ke apartemenku? Apa sekarang kau sudah terpengaruh dengan pria itu?” Alex menuduh, suaranya terdengar kesal. “Bu-bukan begitu, kok kamu tiba-tiba berpikiran buruk sih? Aku mau bilang kalau besok itu sepertinya aku tidak bisa karena Papaku memintaku tinggal di rumah. Bagiamana kalau lain kali saja?” Lina memberikan alasan. “Sejak kapan kau mau mendengarkan ayahmu? Selama ini kau bahkan tidak pernah mau peduli. Kau pasti selalu memilihku dari pada mereka. Kenapa sekarang kau berubah? Lina, jika kau tidak datang besok, kau akan tahu akibatnya,” ucap Alex mulai mengancam. “Kenapa kau mengancamku seperti itu, Alex. Aku bilang tidak bisa ya itu berarti aku tidak bisa.” Lina tidak terima dengan ancaman pria yang selama ini ia kencani itu, Alex tidak pernah berkata kasar padanya, karena memang pada dasarnya Lina tidak pernah berdebat ataupun menolak apa pun yang pria itu inginkan, Lina selalu memenuhi keiginginnya. “Sekarang kau sudah mulai menolak dan membantahku, Lina. Ini bukan dirimu. Sebenarnya apa yang pria itu lakukan sehingga kau tiba-tiba berubah seperti ini, hah!” suara Alex meninggi. “Alex, aku hanya ingin kau juga menghargai kemaunanku, bukankah selama ini aku selalu melakukan apa yang kau mau? Kali ini, aku ingin kau melakukan hal yang sama padaku. Tapi bukannya setuju kau malah mengancamku, apa selama ini hanya sebatas itu rasa sayangmu?” tuntut Lina. “Apa yang kau katakan itu, rasa sayang apa yang kau maksud? Bukankah selama ini kita hanya menjalani hubungan saling menguntungkan? Kau enak aku enak, itu saja. Kenapa sekarang kau melibatkan masalah parasaan? Kau aneh, Lina. Sudahlah, hentikan omong kosongmu, ingat jika kau tidak datang, aku akan melakukan sesuatu yang akan menbutamu menyesal!” Alex kembali mengancam. Setelah itu telepon terputus. Lina terhenyak, ia tidak pernah menyangka jika orang yang selama ini ia sukai dan bahkan mulai menaruh harapan padanya, ternyata hanya menganggap hubungan mereka selama ini hanya hubungan saling menguntungkan. Pria itu ternyata sama sekali tidak merasakan hal yang sama dengannnya. Hatinya terasa perih, air matanya mengalir begitu saja, untuk pertama kalinya ia merasa sangat tidak dihargai sebagai wanita. Selama ini ia merasa dihargai dan disayangi, tapi ternyata hanya dirinya saja yang merasa seperti itu. Alex sama sekali tidak menganggapnya. Hatinya sakit, dadanya terasa sesak, nafasnya tersengal. “Hah…hah… sa-sakit…ah…!” dengan susah payah ia menggapai gelas yang berisi air putih. Dengan susah payah ia menggeser tubuhnya tapi tangannya hanya menyenggol gelas itu sehingga jatuh dan hancur berantakan. Suara terdengar sampai ke luar. Seorang pelayan masuk untuk memastikan apa yang terajdi. “Nona… apa yang terjadi?!” pekiknya panik. “Pelayan itu dengan cepat berlari ke arah Lina memastikan keadaannya. Ia terkejut kae karenaan Lina tidak baik-baik saja. “Tuan… tolong…” pelayan itu berteriak meminta bantuan. Dua orang pelayan lain masuk dan menghampii mereka. Keduanya juga sama terkejutnya melihat kondisi Lina. “Cepat panggilkan tuan!” ucap salah satu pelayan. Dengan cepat satu pelayan keluar dan mencari tuan Kizara. “Non, tolong bertahanlah…” ucap pelayan itu sambil mengelus kepala Lina untuk menenangkannya. Tidak lama Kizara dan istrinya masuk. “Lina…!” teriak ibu angkat Lina penuh rasa khawatir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD