Bab 5 | Awal yang Menyatukan Kita

1728 Words
Walau semua ini berawal dari kesalahan. Harapan untuk akhir yang bahagia selalu ada kan? Itu janji Tuhan untuk kita yang mau berusaha meraih kebahagiaan. Seperti aku yang berusaha meraih hatimu. -Ayyyara-   *** Ayya bersorak senang dalam hati begitu kelas berakhir hari ini, ia melirik arloji di tangan kirinya yang sudah menunjukkan pukul tiga sore. Tujuh SKS yang cukup menyiksa baginya setiap Senin.   Dengan cekatan ia merapikan semua buku-buku ke dalam tasnya, melirik ke pojok kiri belakang di mana Fares duduk.   Sudah tiga hari Ayya tidak melihat pria itu, memang mereka berada di kelas yang sama hanya untuk beberapa mata kuliah saja, sehingga tidak setiap hari Ayya bisa melihat Fares.   Sudah sejak tiga hari yang lalu sebenarnya Ayya mencari Fares, namun kesibukannya dengan tugas besar menjelang ujian yang harus di ACC oleh dosen pembimbingnya membuat ia tidak bisa berbuat banyak. Dia harus menyelesaikan tugas besar yang dibebankan padanya dan partnernya segera agar tidak lagi mengulang mata kuliah itu di semester berikutnya.   Baru saja Ayya akan beranjak untuk menghampiri Fares, berniat mengajak pria itu untuk membahas lebih lanjut bagaimana cara membatalkan pernikahan konyol yang mungkin akan terjadi jika mereka tidak bertindak, tubuh jangkung Fares sudah ada di depan bangkunya, menatapnya tajam dengan ekspresi datar, membuat Ayya meringis dan menatap Fares dengan sungkan.   "Something goes wrong?" cicit Ayya pelan membuat Fares mendecih.   "Ya. Everything goes wrong because of you. Cepet ikut gue!" Fares langsung beranjak dari sana, diikuti Ayya yang terburu-buru mengikuti langkah lebar pria itu.   Ayya menahan lengan Fares begitu tiba di parkiran dan pria itu akan naik ke motornya.   "Fares, kupikir, kita harus lebih keras lagi meyakinkan orang tuamu." ucapan Ayya membuat Fares membalikkan badannya dan tersenyum kecut pada gadis itu.   "Lo tuli ya? Gue udah bilang kan, bokap gue sekalinya bilang A ya bakal tetep jadi A, ngga bakal berubah sekali pun Presiden yang minta, ngga bakal nerima alasan apapun, karena bagi dia, keputusan yang dia ambil adalah yang paling bener. Mau lo ngomong sampe mulut lo berbusa. Ngga bakal ngerubah apapun."   "Tapi, kita masih bisa berusaha, Fares. Aku yang bakal jelasin semuanya." Fares menyeringai, maju selangkah dan menatap Ayya lekat.   "Jelasin apa, hah?! Jelasin kalo emang gue sengaja nidurin lo?! Itu kan yang mau lo bilang ke bokap nyokap gue? Biar rencana lo makin berhasil. Iya kan, Ayya?"   "Bukan itu, aku juga ngga suka dengan situasi kaya gini, Fares. Aku juga ngga mau nikah sama orang yang ngga cinta sama aku."   "Bukannya yang paling penting buat lo itu bisa dapetin gue, ya?! Lo kan licik! Sengaja pake wajah polos lo itu buat ngelakuin hal paling rendah, serendah harga diri lo yang udah ngga ada harganya." Fares hendak menyentuh wajah Ayya, namun Ayya langsung menepisnya, gadis itu menatap Fares dengan kilat kemarahan di matanya, walau raut sendu juga tidak bisa disembunyikan di wajah cantiknya.   "Berhenti ngehina aku kalo kamu ngga tau apa-apa, Fares. Aku berusaha buat nyelesein semua ini baik-baik. Aku juga butuh bantuan kamu buat ngomong ke Ayah kamu. Bukan gini caranya, Fares. Kamu lupa apa yang dibilang Bunda kamu kemarin? Hargai perempuan, Fares. Jangan pernah menyakitinya dengan mulut kamu, itu sama saja kamu menyakiti Bundamu, kalo Bunda kamu tau gimana kamu dengan kata-katamu yang menyakitkan itu."   Ayya mengembuskan napasnya panjang dengan raut lelah, sudah cukup ia menahan diri sejak Fares merendahkannya kemarin, dia tidak bisa lagi menahannya lebih jauh. Pria itu dan mulutnya harus dihentikan.   Sedang Fares terdiam, mencerna semua ucapan Ayya, melihat gadis itu yang terlihat terluka. Untuk pertama kalinya, Fares melihat bagaimana Ayya yang sangat terluka dengan kata-katanya.   "Aku tau aku salah. Saat bangun di kamar kamu, aku juga ngga tau apa yang terjadi, semuanya terlalu tiba-tiba dan mengejutkan. Lalu saat aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi dan bagaimana aku bisa ada di kamarmu. Aku tau satu hal, aku tau penyebabnya. Itu semua karena kebiasaan bodohku. Aku memiliki sleep walking dan aku juga selalu," Ayya menghentikan ucapannya, terlalu malu untuk mengatakan hal itu pada Fares, sedang Fares masih menunggu ucapan Ayya selanjutnya.   Ayya memejamkan matanya, sudah kepalang tanggung, ia harus mengatakan semuanya pada Fares. "Aku juga memiliki kebiasaan melepas baju saat tidur, tanpa sadar. Itulah kenapa aku bisa di kamarmu dan hampir telanjang. Itu semua di luar kuasaku. Waktunya pun sangat tidak tepat saat Ayah dan Ibumu datang. Aku tidak serendah itu, hanya karena menyukaimu sampai melakukan hal bodoh seperti itu. Jadi tolong, berhenti menghinaku, kita bisa mengatakan yang sebenarnya pada orang tuamu sekarang." Ayya lalu mendongak, menatap Fares yang kini justru tak berkedip menatapnya.   "Damn! Kenapa lo baru ngomong sekarang?!" Fares berteriak kesal, mengacak rambutnya dengan kasar, membuat Ayya kembali meringis.   "Belum terlambat kita menceritakan yang sebenarnya, Fares!"   "Sayangnya, semua udah terlambat, Ayya. Lo sama gue bakal nikah, entah cerita yang lo ceritain barusan bener atau cuma akal-akalan lo doang. Tapi selamat, lo berhasil, Ayya. Berhasil dapetin gue persis kaya keinginan lo di surat-surat sampah lo itu " Fares mendecih lagi, membuat Ayya sekali lagi memejamkan matanya, kenapa pria itu hobi sekali menyakiti melalui mulutnya?   "Apanya yang terlambat? Kita masih bisa mencegah semuanya." Ayya masih keukeuh dengan ucapannya.   Ponsel Fares yang berdering membuat pria itu menarik napas panjang.   "Iya Pah, ini Fares mau otw, iya sama Ayya. Dua puluh menit lagi Fares nyampe."   Fares lalu menatap Ayya begitu selesai dengan panggilannya. Ia mengembuskan napas panjang lalu naik ke motornya.   "Cepet naik!" Ujar Fares membuat Ayya mengernyit heran.   "Ke mana?" tanya Ayya sedikit berteriak karena suaranya harus beradu dengan mesin motor Fares yang lumayan kencang.   "Ke rumah, Papah mau ketemu. Cepet, Ayya!" Fares sekali lagi mendecak, karena Ayya yang masih terus bertanya.   "Ngapain? Mau jelasin kan?"   "Udah gue bilang. Ngga ada yang bisa dijelasin lagi. Udah terlambat semuanya. Cepet naik!!" Fares menaikkan nada suaranya, membuat Ayya meringis lagi dan mengerucutkan bibirnya kesal.   "Ini, aku naiknya gimana, susah. Tinggi banget, ngga nyampe." Ayya mendecak, melihat motor besar Fares dengan tatapan bingung, berpikir bagaimana cara menaikinya tanpa harus menyentuh pria itu, karena ia tau, Fares pasti akan protes.   "Pegangan pundak gue, cepet. Lelet banget si lo."   "Gapapa?"   "Lo udah pernah meluk gue kalo lupa, ngga usah sok polos gitu." Fares mendelik tajam, membuat Ayya langsung memukul kuat pundak pria itu, dan menaiki motor Fares tanpa bertanya lagi.   "Itu ngga sengaja Fares, aku kan ngga sadar meluknya." Ayya berteriak protes dengan wajah bersungut-sungut, membuat Fares mendecak di balik helmnya. Lalu pria itu menoleh, menatap Ayya yang sudah duduk di belakangnya, yang ragu-ragu untuk berpegangan padanya, hingga gadis itu hanya menyentuh sedikit saja ujung jaketnya.   "Tetep aja itu namanya meluk, sengaja atau pun ngga." Fares berteriak, lalu pria itu melajukan motornya tanpa memberi aba-aba apapun pada Ayya, membuat gadis itu langsung berteriak kuat dan mencengkram erat ujung jaket Fares.   "Jangan kencang-kencang, Fares!" Ayya protes dengan mencubit pinggang pria itu, membuat Fares menggeram kesal.   ***   "Kemarin kami ke Semarang." Ucapan Bagas membuat Ayya menegang, gadis itu menatap ke arah Fares yang ikut menatap ke arahnya dengan raut datar.   "Untuk apa, Om?"   "Tentu saja untuk melamarmu, saya dan Fares sudah berbicara langsung pada orang tuamu untuk menikahimu, dan mereka menyetujuinya. Kamu belum tau hal ini?"   Ayya menggelengkan kepalanya dengan berita mengejutkan itu.   "Seharusnya ibumu menghubungimu kemarin. Dia terlihat begitu senang kemarin," ucapan Sekar membuat Ayya langsung mengeluh, ingat jika ponselnya kemarin malam jatuh di kamar mandi dan kini masih ada di tempat service.   "Kami juga sudah menentukan tanggal pernikahan kalian, akhir bulan ini."   Ayya membatu dengan penjelasan Sekar, sekali lagi ia melirik Fares yang kini menyunggingkan senyum sinis.   "Tante, saya dan Fares .... Ini semua ... Ya Tuhan." Ayya menyugar rambutnya ke belakang, menatap frustasi pada Fares, berharap pria itu mengatakan sesuatu untuk menghentikan semua ini.   "Biar Fares bicara dulu dengan Ayya, Mah, Pah. Nanti Fares akan menyusul ke butik, Mama bisa ke butik terlebih dahulu."   Setelah mengatakan itu, Fares menarik Ayya yang masih terlihat bingung dengan hal yang terjadi.   "Fares, apa-apaan ini, kenapa semuanya semakin kacau? Dan tentang kalian yang ke Semarang menemui orang tuaku. Itu bohong kan?"   "Gue udah bilang kan? Bokap gue ngga pernah main-main sama ucapannya. Dia orang yang teguh pendirian, ngga bisa diganggu gugat. Gue yang ngga punya alasan kuat ngga bisa banyak ngelak waktu itu, dan lo ngasih tau alasan yang sebenarnya saat semua ini udah terjadi. Atau lo sengaja? Emang bener kan ini rencana lo?! Lo cinta sama gue, semua orang tau itu, lo sengaja gunain kesempatan ini buat dapetin gue?! Iya kan, Ayya?!"   "Ayo kita temuin ayah kamu lagi, aku yang bakal jelasin semuanya. Ngga pernah sekali pun aku punya pikiran buat dapetin kamu dengan cara licik kaya gini. Masalah cinta, itu urusan hati aku, dan aku ngga mungkin gunain alasan cinta buat ngehancurin masa depan aku, nikah sama orang yang ngga cinta sama aku. Ayo kita ngomong sama orang tua kamu. " Ayya langsung menarik lengan Fares, namun Fares menahannya dan menatap Ayya lekat.   "Lo kira, gue bakal biarin lo bikin gue jadi pengecut yang kedua kalinya di depan orang tua gue?! Ngga akan Ayya, cukup sekali lo hancurin harga diri gue di depan orang tua gue. Ngga lebih dari ini. Lo kira gimana perasan orang tua lo, di saat gue udah lamar lo dan tiba-tiba gue batalin gitu aja?! Pikir Ayya! Ini semua terjadi karena lo, dan jangan buat semuanya makin kacau!"   Fares menatap tajam Ayya, membuat Ayya terdiam, membenarkan ucapan pria itu. Bagaimana dengan bundanya yang kata Sekar terlihat begitu bahagia menerima pinangan Fares? Harga diri pria itu juga dipertaruhkan di depan keluarganya jika tiba-tiba saja Fares membatalkan lamarannya.   "Maaf," cicit Ayya dengan raut frustasinya, menyadari jika ia tidak bisa lagi menghindar, juga tidak bisa mencegah, pernikahannya dengan Fares memang akan terjadi.   "Maaf ngga akan ngubah semuanya, Ayya. Yang perlu lo tau, ini semua salah lo, dan pernikahan ini bukan keinginan gue. Sejak awal lo cuma orang asing yang tiba-tiba bikin kacau hidup gue. Lo ngga ada dalam pilihan hidup gue sama sekali, dan yang perlu lo inget, gue ngga cinta sama lo, jadi jangan ngarepin apapun dari pernikahan ini. Surat-surat sampah lo itu ngga akan terbalaskan. Karena sampai kapan pun, gue ngga bakal bisa cinta sama cewe kaya lo."   Fares lalu meninggalkan Ayya yang terdiam menahan sakit hatinya dengan ucapan Fares, sekali lagi pria itu berhasil menyakiti melalui bibirnya.   Ayya menarik napasnya dalam, menekan dadanya yang terasa sesak.   "Ya Tuhan, jika memang seperti ini rencanamu, lunakkanlah hatinya seiring berjalannya waktu, Tuhan. Bagaimana pun, Ayya hanya menginginkan pernikahan sekali seumur hidup," Ayya berdoa dalam hati, mengembuskan napasnya panjang dan beranjak dari sana. Ia harus menghubungi bundanya secepatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD