Naura keluar dari kamar mandi mengenakan bathrobe. Ia mengambil body lotion. Duduk di sofa yang ada tepat di depan ranjangnya. Ia menaikkan kedua kaki, membuat ujung bathrobe tersingkap memperlihatkan kakinya yang indah. Naura menuangkan isinya dari dalam botol berwarna biru, kemudian tangannya bergerak mengusap dari ujung kaki hingga pahanya.
Sedang asyik saat telepon masuk, ia berdiri dan melihat nama sahabatnya, Sindy.
Naura mengaktifkan mode suara kencang, meletakan ponsel di atas sofa sementara dia berpakaian.
“Kenapa Sindy?”
“Datangkan nanti malam?” tanya Sindy.
“Hm, ya.. aku sendiri.”
“Yah, kok sendiri? Ke mana pacarmu?”
“Pacarku lagi ada acara keluarga, tidak bisa ikut.” Irwan tidak bisa menemaninya ke acara Sindy yang malam ini berulang tahun, merayakan di sebuah fine dining resto.
“Sayang sekali, tidak jadi lagi kenali pacarmu padaku.”
“Lain kali,” Naura sudah memakai satu set underwear berwarna merah muda. Ia mengambil kaus hitam kebesaran, juga memakai hotpants jeans berwarna biru yang bahkan tertutup oleh pakaiannya.
Ia masih mendengarkan Sindy mengoceh, Naura tidak diam. Sudah berdiri di depan cermin meja hias, duduk dan mulai memakai toner dan krim siang. Dia mengeringkan rambut, dan menyisirnya.
“Sampai bertemu nanti ya, jangan telat!” Sindy memberi ultimatum, kemudian mengakhiri panggilan.
Kemarin pulang dari kantor, Naura menyempatkan diri untuk membeli kado untuk Sindy. Dia menatap wajahnya, mata Naura besar dan terlihat indah terbingkai bulu mata panjang dan lentik.
Sabtu dan Minggu adalah waktunya lebih santai, setelah selama lima hari berkutat dengan jadwal dan pekerjaan yang menggunung. Semua karena Nata, kakak laki-lakinya yang lebih memilih karier sebagai fotografer. Sementara Naura, ia mengikuti jejak keluarganya, selesai belajar bisnis, Naura kembali untuk membantu Ayah di perusahaan keluarga.
Sebuah ketukan pintu membuyarkan lamunan Naura, ia berjalan membukanya. Salah satu asisten rumah tangga memanggilnya untuk breakfast. Semua orang sudah menunggu.
“Aku tidak ikut makan, Mbak. Bilang ke Mamah, aku belum lapar.” Tolak Naura.
Setelah asisten rumah tangganya pergi, Naura kembali menutup pintu. Ia lebih pilih tetap di kamar, berbaring lagi sambil memainkan ponsel.
Menjelang sore, berenang selalu jadi hobi Naura sejak kecil. Ia memakai bikini one piece dengan model melintang di bagian perut. Memperlihatkan pusarnya. Orang tua dan kakak serta iparnya sedang pergi memenuhi undangan pesta pernikahan. Jadilah hanya Naura di rumah.
Salah seorang asisten rumah tangga membawakan Naura jus jeruk serta handuk. Naura masih asyik berenang. Dari ujung ke ujung, ia muncul ke permukaan, mengusap wajah hingga belakang kepalanya. Mengatur napas, kemudian Naura berjalan ke dekat tangga, ia naik tepat dari pembatas kaca yang langsung memperlihatkan bagian ruang dalam terlihat seseorang berjalan. Hingga sadar di perhatikan ia berhenti melangkah. Tatapan mata mereka beradu, tampak terkejut melihatnya kemudian segera menjaga pandangan. Tetapi, tenang Naura berjalan dan duduk di kursi santai. Ia meraih handuk untuk melingkar di pinggangnya, kemudian tersenyum kecil saat orang yang di dalam tadi akhirnya baru mau mendekat setelah melihat ia memakai handuk.
Naura duduk menyilangkan kaki, meraih gelas berisi jus jeruk yang dinginnya sudah berkurang. Dia berjalan sembari memasukkan tangan ke saku, hingga akhirnya berhenti di dekat Naura.
“Kamu ingin menemui Saujana dan Nata?”
Seseorang itu Leo Chandra. Pria yang Naura kenal sebagai kakak satu panti dengan Saujana.
“Ya.”
“Mereka belum kembali, mungkin sebentar lagi.” Mata Naura menatap penampilan Leo, kaus berwarna hijau tua dan celana dengan banyak kantung di sisinya sebatas lutut. Sepatu kets putih sebagai alas kakinya.
“Aku akan tunggu.”
“Apa kamu tidak kabari mereka dulu?”
“Sudah tadi pagi, Nata bilang aku bisa datang.”
Naura mengangguk, kemudian ia menawari minum. “Mau?”
“Tidak.”
Sudut bibir Naura tertarik, manis. “Bukan aku menawarimu minum dari gelasku, maksudku jika kamu mau minuman yang sama.. aku akan minta seseorang membuatkannya untukmu.”
“Aku belum haus.”
“Belum berarti kemungkinannya akan. Jadi biar di ambilkan.”
Menjadi ciri khas Naura, buat apa bertanya bila pada akhirnya ia memutuskan sesuka hatinya. Tidak lama seorang ART kembali dengan membawakan minuman yang sama sepeti Naura untuk Leo.
“Kamu datang untuk pamit?” tebak Naura. Sudah dengar dari Nata dan Saujana jika Leo akan kembali berangkat.
Leo yang pada dasarnya tak banyak bicara kecuali saat dengan Saujana, hanya menjawab dengan anggukan kaku.
“Afrika Selatan?”
“Ya, dan beberapa tempat di Afrika lainnya.” Angguk Leo.
“Apa yang paling menantang selama kamu bergabung dengan national geographic?” Naura ternyata memang gadis yang mudah mencairkan suasana, senyum ceria dan selalu punya bahan untuk jadi obrolan.
“Banyak.”
“Kamu orangnya memang begitu ya, suka menjawab singkat-singkat?” selidik Naura, sejak kenal Leo, mendapatinya tak banyak bicara.
Leo hanya tersenyum kecil.
“Ya udah, aku ganti pertanyaannya.. yang paling berkesan deh?”
“Memotret Singa dan kawanannya dari dekat.” Akhirnya Leo menjawab.
Naura jadi semangat untuk mendengarkan, “Waw, terdengar menantang! Pasti tegang!”
Leo mengangguk, sangat menantang sebab ia harus pintar-pintar bersembunyi dan mengambil tempat yang pas. Lalu gerakannya sebisa mungkin tidak mengganggu hewan-hewan yang sedang jadi bahan bidikan kameranya. Gambar natural hasil yang paling disukai.
“Leo..” panggilnya sambil mendekat, Leo membalas tatapan Naura sama lekatnya sembari ia mengambil gelas dan mulai menyesap isinya “katakan, aku penasaran kalau singa, berisik seperti kucing juga tidak saat sedang berahi—“
“Uhuk!” pertanyaan Naura membuat Leo yang sedang minum jus jeruk sampai tersendak. Naura seketika mendekat, menepuk bahu Leo.
“Pelan-pelan.. pertanyaanku membuatmu terkejut begini.” Bisiknya. Membuat Leo tegang, karena posisinya membuat mata Leo jatuh pada bagian perut terbuka Naura, apalagi saat handuk tak di lilitkan dengan kencang dan jatuh di bawah kakinya.
Leo mematung, meski Naura santai, segera meraih handuk dan kembali melingkarkannya. Leo langsung mengalihkan tatapan matanya, wajahnya memanas padahal dulu Leo pernah ambil pekerjaan memotret para model untuk produk bikini.
“Hm!” Leo berdehem. Serak.
“Kamu butuh air putih? Biar aku pinta seseorang.”
“Naura..” panggil Leo membuat Naura berhenti melangkah, “jika boleh, air putih dingin.”
“Ya, memang hari sedang panas sekali. Sudah sore begini matahari masih terik. Sebentar ya.”
Setelah Naura pergi, Leo mengumpat. Selain hari yang memang sedang panas, suasana barusan juga buatnya gerah.
Leo sampai memegang ujung kaus yang digunakan, mengibaskannya. Naura memang gadis yang selain cantik, manis juga seksi. Banyak yang mengakui itu.
***
Pesta dan makan malam ulang tahun Sindy diadakan pukul tujuh, Naura sudah di perjalanan menuju lokasi. Ia menyetir mobilnya sendiri.
Naura sedang dalam suasana perasaan tidak baik, Irwan tidak ada kabar seharian ini. Kekasih Naura yang baru bersamanya beberapa bulan. Padahal ia sudah janji akan mengajak kekasihnya dan memperkenalkan pada Sindy.
Parkiran di resto terbilang penuh. Beruntungnya, Naura dapat tempat yang kosong. Ia lantas turun, segera menuju ruangan yang sudah di sewa oleh Sindy.
Tangannya memegang kado istimewa untuk sahabatnya yang dikenalnya sejak masa sekolah menengah atas. Ujung heels yang Naura kenakan mengetuk lantai. Membuat penampilan Naura kian menjadi pusat perhatian.
“Sindy!” panggil Naura ketika akhirnya sampai di sana dan menemukan si pemilik acara malam itu di tengah keramaian tamu yang datang.
Sindy, yang mengenali suara Naura pun seketika menoleh dan mencari keberadaannya. Dia tersenyum, menghampiri dan menyambut.
“Akhirnya datang juga!” Sindy memeluk Naura.
“Happy birthday ya.. wish you all the best!” ucap Naura. “Kado buat kamu, semoga suka!”
“Ah, thank you.. beib!” Sindy menerima ucapan serta kado dari Naura. Seorang datang untuk menyimpan kado tersebut. “Datang sendirian?”
“Iya, tadi aku sudah bilang di teleponkan.”
Sindy mengangguk, “yuk cari bangku untukmu!”
Naura setuju, berdiri lama-lama pegal juga. “Acaranya besar ya, Sindy.”
“Iya, sekalian..” ucapnya sembari tersenyum penuh maksud.
“Sekalian apa?” tanya Naura.
“Tunangan.” Beritahunya.
Naura seketika tersenyum, “sungguh? Kok cepat sih!” Setahu Naura, Sindy memiliki kekasih tak lama dari Naura jadian dengan Irwan, “belum juga sempat kenalan sama pacarmu, tahu-tahu mau tunangan malam ini!”
“Rencananya sudah seminggu lalu, setelah dia datang ke orang tuaku.” Lalu mata Sindy mencari-cari seseorang, “aku kenalkan sekarang saja, yuk!”
Naura mengangguk, menurut ikut pada Sindy yang mengajaknya mencari kekasih sekaligus calon tunangannya berada.
Hingga tatapan mata Naura tertuju pada sosok punggung yang sedang berdiri bersama Ibu dari Sindy, Naura mengenalnya.
“Sayang..” panggil Sindy menyentuh bahu pria dengan jas abu-abu, “ada yang mau aku kenalkan.. Naura, sahabatku!”
Seketika pria itu berbalik, detik itu juga mata Naura terbelalak. Begitu juga pria yang Sindy sebut kekasihnya. Tampak suasana tegang yang jadi kejutan untuk Naura belum Sindy sadari.
“Ini, Regie. Kami akan bertunangan dengan resmi malam ini.”
Tangan Naura mengepal, menatap marah pada pria itu. Dia siap meledak tetapi akal sehat Naura menahannya terutama melihat Sindy yang sangat menyayangi pria itu.
Bagaimana bisa Regie dan Irwan—kekasih Naura—orang yang sama?! Siapa yang telah tertipu oleh pria itu?
Naura ingin menamparnya detik itu, kekasih yang Sindy sering ceritakan adalah kekasihnya sendiri. Mereka selalu tidak punya kesempatan untuk mengenalkan satu sama lain, hingga ternyata kenyataan ini menampar Naura.
Naura dilema, haruskah ia beritahu Sindy yang sebenarnya. Rasa sakit di hati Naura tidak sebanding dengan luka Sindy yang bahkan sudah diberi janji manis berupa cincin yang akan pria itu sematkan dijari manis.
Pria seperti Irwan tidak hanya satu, Naura memang cantik tetapi kerap tak beruntung dalam kisah asmaranya. Seringnya ia bertemu laki-laki tak baik seperti Irwan atau harus memanggil Regie, ia kerap dikhianati seperti di hadapannya.