Perasaan dan Pembuktian

1638 Words
“Kamu tahu kondisi Naura, Leo! Lalu apa ini, yang baru saja aku dengar tadi?” desak Saujana. Mencari tempat yang bisa bicara berdua, Saujana berharap tidak di dengar yang lainnya. Bagus semua orang sedang berkumpul di teras belakang rumah. Saujana benar-benar syok mendengar semua yang Leo ungkapkan pada adik iparnya, Naura yang sedang dalam keadaan emosional tidak stabil setelah kejadian yang menimpanya. “Saujana, dengarkan aku dulu—” “Kamu jelas lihat respons Naura! Kondisinya saat ini dalam keadaan bisa dibilang belum bisa menerima dirinya sendiri. Jangan main-main, Leo! Apalagi jika kau sampai menyakitinya, meski kau adalah kakakku, aku tidak akan biarkan kamu menyakitinya.” Leo langsung berjalan dan berhenti tepat di depan Saujana, “kau menilaiku mengungkapkan perasaan tadi hanya untuk menyakiti Naura?” “Ya!” Leo berdecak tak percaya, “kukira kau lebih mengenalku, Saujana! Harusnya kamu bisa lihat, bisa membedakan di mana aku sedang berbohong dan jujur!” Saat mengatakannya Leo memaku tatapan Saujana. Detik yang sama pun Saujana langsung terdiam, ia menemukannya yang Leo maksud. “Aku tidak berbohong sama sekali. Aku menyukai Naura.” Ungkapnya jujur dan tegas. Saujana menghela napas dalam, “bagaimana bisa tiba-tiba kau menyukainya?” “Tidak ada yang tiba-tiba.” “Jadi jika bukan tiba-tiba—” “Ya. Sebelum kembali ke tugasku, kami sempat bertemu dan tanpa kamu atau Nata tahu. Perasaan itu tumbuh begitu saja.” “Kamu yakin jika yang ada di hatimu, yang kamu rasakan sungguh-sungguh perasaan suka bukan kasihan karena kondisinya?” selidik Saujana lagi. Leo masih memaku tatapan Saujana kemudian mengangguk mantap. Sementara Saujana terdiam, kepalanya menyambungkan segalanya. “Selain karena dirimu dan Nata, alasanku sampai pilih resign dan setuju membantu Nata adalah Naura.” Satu kejujuran yang Leo sampaikan. Ia bisa menyembunyikan segalanya dari siapa pun, tetapi pada Saujana, sepertinya Leo tak bisa lebih lama menyembunyikan sesuatu. Apalagi belakangan Naura dan keputusannya yang memilih mengasingkan diri di Villa keluarga, menyita pikiran Leo. Butuh untuk mengungkapkannya, ia sudah katakan pada Naura dan reaksinya sungguh membuat Leo putus asa. Kini, Saujana sudah tahu jauh lebih baik dan Leo berharap ada yang percaya akan perasannya dan bisa membantunya. “Saujana, kenapa kamu hanya diam?” tanya Leo mendapati adiknya terdiam dan terlihat dilema. Satu tarikan napas dalam Saujana ambil sebelum kembali menatap Leo, “ungkapanmu mengejutkan sekali, Leo.” Saujana kembali menarik napas lebih dalam sembari matanya beredar memastikan situasi tidak ada orang lain yang mendengar pembicaraan mereka, “entah apa yang terjadi pada kalian sebelum ini sampai kamu menyukai Naura.” “Selama aku menjauh dari Naura, aku sempat menampik perasaan ini, Saujana. Tapi, setelah tahu kondisinya, rasa khawatirku jelas menunjukkan apa yang sebenarnya aku rasakan dan tidak benar bila aku terus-terus menganggapnya tidak nyata.” “Aku paham.” Angguk Saujana, “tapi, kondisi Naura sungguh saat ini bukan waktu yang tepat untuk mendapati ungkapan perasaanmu. Dia bahkan tidak bisa mencintai diri sendiri, dia kehilangan rasa percaya diri jika layak dicintai. Dia mengutuk jalan hidupnya, dan untuk bisa menerima cinta yang datangnya dari orang lain… dia butuh waktu.” “Aku akan menunggu sampai dia siap menerimaku.” Saujana terdiam mendengar kalimat dengan nada serius Leo. “Leo, semua tidak akan mudah.” “Ya. Aku tahu jika ini tidak akan mudah.” Leo pernah memperjuangkan cinta pada seseorang di masa lalunya, yaitu wanita yang berdiri di depannya sekarang. Semua sudah berlalu, Leo menerima kekalahannya saat itu sebab memang tidak pernah ada kesempatan yang layak terlebih hubungannya dan Saujana sudah digariskan sebagai saudara yang kebetulan tumbuh di panti yang sama. Naura, berbeda. Perasaan yang Leo rasakan jelas memiliki makna berbeda. Bukan ia menutup mata atas kondisi Naura, justru Leo ingin ia ada dalam proses Naura menerima dirinya sendiri ini. “Kamu akan mendukungku, bukan?” tanya Leo setelah cukup lama keduanya terdiam. Saujana menatap pria yang sudah ia anggap seperti saudaranya, “aku akan mendukung jika memang ini pilihanmu, kamu akan bahagia dan Naura tidak tersakiti.” “Thank Saujana, itu saja sudah cukup untukku.” Saujana mengangguk, “lalu apa yang sekarang akan kamu lakukan terhadap Naura?” “Membuatnya bisa merasakan bila yang aku ungkapkan bukanlah kebohongan apalagi bentuk rasa kasihan semata.” “Naura tetap bertekad untuk tinggal di Villa.” Itu pun akan jadi satu ujian untuk Leo di tengah ia sendiri pun sibuk mengurus pekerjaannya. “Aku tidak akan menyerah, aku bisa datang menemuinya dan mengusahakan waktu luang.” “Kamu akan sibuk dengan banyak proyek di studio.” Leo tersenyum kecil, “ya. Waktu yang sibuk bukan masalah bila kita menempatkan sesuatu sebagai prioritas.” Saujana menghela napas dalam, turut bisa merasakan perjuangan Leo tidak akan mudah. “Bagaimana dengan Nata? Bisakah aku mengatakan padanya?” Saujana pasti tidak bisa menyembunyikan sesuatu dari suaminya. “Beri aku kesempatan untuk mengatakannya langsung dan sendiri pada Nata.” “Apa?” “Ya. Nata adalah kakak Naura. Aku harus dapat ijin darinya saat mendekati Naura. Mungkin dengan begitu, Naura dan keluarga ini bisa melihat kesungguhanku.” Seyakin itu Leo membuat sisa keraguan di hati Saujana sebelumnya seketika mulai pudar. Saujana tersenyum, kemudian melangkah dan memeluk Leo. “Aku akan berdoa untuk kalian.” *** Acara malam itu yang dilakukan untuk Naura, justru wanita itu tidak mau turun dan mengurung diri. Hanya Leo dan Saujana yang tahu alasannya. Leo merasa bersalah telah membuat Naura sampai mengurung diri. Dia juga tak punya kesempatan untuk menemuinya lagi. Saujana setuju untuk tetap diam dan tidak membahas dengan nata seperti permintaan Leo yang nantinya akan bicara langsung pada Nata. Waktu berjalan, Leo tahu keberangkatan Naura ke Villa sempat tertunda karena kondisinya yang drop. Ketika Leo datang ke kediaman Habrizi, menemui Nata untuk membicarakan progres dan pekerjaan studio mereka, selalu saja Leo tak punya kesempatan lagi untuk bertemu Naura. Gadis itu menolak siapa pun menemuinya terlebih jika buka keluarga intinya. Hari ini, Leo datang menemui klien bersama Nikita—asisten pribadinya. Mencatat setiap permintaan dan tema yang diinginkan kliennya. Memberi masukan dan contoh-contoh dari koleksi potret yang dimiliki. “Kita bertemu dua minggu lagi untuk tema matangnya.” Kata Leo menutup pertemuan, secara profesional menjabat tangan klien di depannya. Menunggu mereka pamit hingga menyisakannya berdua dengan Nikita. “Mas Leo, kita kembali ke studio?” tanya Nikita sembari merapikan tablet dan buku catatannya. Matanya memerhatikan bosnya yang bergerak gelisah. “Kamu naik taksi kembali ke studio sendiri, hari ini saya kemungkinan tidak kembali ke studio.” Angguk Leo. Bersiap, tanpa perlu menjelaskan tujuannya pergi ke rumah Habrizi karena Saujana semalam mengabari, jam dua siang ini, Naura siap di antar ke Villa. “Mas Leo-” “Hubungi saya bila memang ada yang terlalu genting, hingga perlu kehadiran saya.” Potong Leo cepat. “Ya.. baik Mas!” Dia meraih kunci mobilnya kemudian meninggalkan Nikita di sana. Leo berusaha untuk cepat sampai, tetapi jalanan siang begitu padat. Dia yang terbilang sabar menghadapi kemacetan jadi tidak sabar untuk cepat sampai. Tidak beruntungnya saat Leo sampai kediaman Habrizi telat, di gerbang memasuki perumahannya, dia melihat mobil tidak asing yang biasa digunakan keluarga Naura. Leo segera berputar arah dan secepat mungkin menyusul mobil itu. Dadanya berdebar kencang, ia tahu jika bukan pertemuan terakhir, seperti yang dibilang pada Saujana, selama di tengah kesibukannya, menemui Naura adalah prioritasnya ke depan nanti. Namun, tetap saja mengejarnya seperti sekarang mendebarkan sekali. Ia terus menginjak gas, beruntung jalanan di depannya tidak padat. Melihat satu kesempatan, Leo menekan klakson bersamaan menyusul dan berhasil berada di depan mobil yang membawa Naura. Lalu ia membuka jendela, tangannya terulur memberi kode bersamaan menghentikan mobil. Leo bergegas keluar dan berjalan menuju sisi tempat duduk yang ditempati Nyonya Habrizi alias Ibu dari Naura. “Leo?” Wanita paruh baya itu sangat terkejut. Membuka pintu sedangkan Naura di tempatnya mengeratkan genggaman tangan dan tegang. Leo di sini? Batinnya. “Selamat siang, kalian sudah mau berangkat ke Villa?” tanya Leo sopan setelah menyalaminya. “Ya.” “Hanya berdua?” dalam mobil, dikursi belakang hanya ada Naura dan ibunya, di kursi depan sopir dan salah satu pekerja yang akan menemani Naura dan mengurusnya saat ibunya harus kembali ke Jakarta. “Saujana tidak bisa ikut meski ingin, Farah sedang agak rewel. Nata dan Papah Naura sedang ada pekerjaan yang tak bisa diwakili, kehadiran mereka sangat dibutuhkan. Jadi, hanya kami berdua.” Leo melirik Naura yang hanya diam dan sebisa mungkin mengalihkan wajah kea rah lainnya. “Saya bisa—” “Kita pergi sekarang, Mah. Hanya dengan Mamah saja tidak apa!” tegas Naura menolak setelah tahu tujuan Leo. Ibunya terkejut atas nada ketus Naura, “Naura, kenapa bicaranya kasar sekali.” Naura bergerak kecil, Leo bisa melihat tangan Naura mengepal. Tampak tak nyaman. “Saya mengerti, tidak apa Tante.” Kata Leo, “sebaiknya memang kalian lanjutkan perjalanan sebelum sore dan jam pulang kantor, jalan lebih padat. Hati-hati..” Leo berusaha mengerti, tidak menekan Naura. “Naura, kita pasti bertemu lagi.” Pesan Leo ditunjukkan pada gadis itu kemudian mundur. Mamah Naura memberi anggukan kecil dan senyum sebelum menutup pintu dan mobil melaju. Leo setia menunggu hingga mobil tersebut berlalu dari hadapannya. Sementara Naura menunduk, dalam kegelapan matanya satu genangan air yang ditahan dari kekerasan hatinya perlahan jatuh di pelupuk matanya. Mengasingkan diri adalah pilihan paling tepat yang dia ambil. “Naura..” bisik ibunya terdengar khawatir, “Mamah dan yang lain berharap, setelah kami menyetujui keinginanmu ini meski berat, kamu bisa menemukan kedamaian hati dan berhenti menyakiti diri sendiri.” Naura inginnya pun begitu, tetapi kegelapan dan rasa sunyi dihatinya membuat pikirannya pintas untuk pergi selama-lamanya dari dunia ini. Suara Leo dan kalimatnya yang mengatakan dengan yakin akan menemuinya terus terngiang. Apa mungkin pria itu akan menemuinya nanti? Di tambah ungkapan perasaan Leo yang terakhir kali, membuat Naura gelisah. Dia benci dikasihani, itulah pikirannya saat ungkapan Leo di dapatinya. Leo hanya kasihan padaku, dia tidak menyukaiku seperti yang diungkapkannya. Batin Naura bersamaan air mata membelai pipinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD