Eyeless

1459 Words
“Naura kembali mengamuk.” Beritahu Nata sembari terduduk lemas. Saujana yang sudah berderai air mata menarik Nata ke pelukannya. Ia baru saja menidurkan putrinya. “Ini salahku.. aku tak berguna sebagai seorang Kakak.” “Jangan salahkan dirimu!” Saujana tahu bila ini akan jadi bagian terberat untuk keluarga mereka, apalagi Naura sendiri. Tidak Nata, atau pun Saujana sendiri, tidak ada yang tahu musibah akan datang. Musibah besar yang membuat hidup Naura menjadi kelam. Tragedi kecelakaan yang hebat baru saja hampir merengut nyawa Naura, beberapa operasi dilakukan, mata Naura dinyatakan tak lagi bisa melihat seperti dulu. Kecelakaan tersebut menimbulkan cedera pada kepalanya menimbulkan komplikasi salah satunya adalah kehilangan penglihatan. Saraf yang berperan dalam proses penglihatan ikut mengalami cedera yang sangat berat. Sudah berbagai upaya diusahakan. Bahkan akan memeriksa Naura hingga ke Luar Negeri, hasilnya malah membuat Naura kian putus asa. Naura pun sempat koma beberapa hari, sampai akhirnya tersadar dan setelah waktu berlalu, ia tetap tak mudah menerima kondisinya. Psikis Naura terganggu, sampai mendatangkan psikolog. Seperti sore ini, Naura melempar makanannya, menolak makan apa pun. Itu belum seberapa, beberapa kali Naura mencoba mengakhiri hidupnya sendiri saat ia sadar kebutaan permanen akan diderita seumur hidupnya. Nata menyeka air mata, menarik diri dan menatap sang istri. “Leo membalas emailku. Dia menanyakan kondisi Naura.” Saujana baru sempat mengatakan pada suaminya yang baru kembali setelah pergi ke luar kota. Urusan pekerjaan. Belum lama Leo mengabari jika kontrak pekerjaannya akan selesai, kecuali bila ia perpanjang setahun ke depan ia akan berada di Brasil. Besar sekali harapan Saujana, Leo mempertimbangkan tawaran darinya dan Nata. Tidak perpanjang kontrak. “Kuharap dia setuju. Aku akan percayakan studio itu padanya, dia bisa mengelola seperti yang dirinya mau, menganggap studio itu seperti miliknya. Hanya Leo harapanku sekarang.” “Aku tahu.” Angguk Saujana. Keadaan Naura membuat Nata mengambil keputusan besar termasuk melepas studio foto kesayangan miliknya, tidak ada orang lain yang ia percaya selain Leo. Nata akan bisa lega bila Leo yang menjalankannya. Sebab itu, Saujana mengirim email dan berharap Leo segera membalasnya. “Leo tidak menjawab lagi setelah aku mengatakan keadaan Naura. Dia menghilang, belum ada balasan lagi darinya.” Sudah hampir dua minggu, jawaban dari Leo tak kunjung ada. “Bagaimana bila Leo tetap tidak setuju?” “Aku bisa mengawasi berjalannya studio foto kita.” Kemungkinan Leo tidak setuju pasti bisa saja, mengingat pekerjaan sekarang yang ia jalani adalah impian besarnya. Nata menggeleng, “putri kita membutuhkanmu.” Sejak melahirkan, Saujana memang mengurus putrinya sendiri. Pengalamannya dulu menjadi personal asisten Nata bisa membantu Nata menjalankan bisnis studio foto dari balik layar. Akan tetapi, tidak lantas semudah itu selesai. Nata butuh seseorang yang memang seperti dirinya, paham dunia fotografer. Membuatnya terus berjalan, dengan berbagai proyek ke depan yang sudah jauh-jauh hari deal. “Lalu bagaimana?” Nata menggeleng kecil sembari memijat pangkal hidungnya. Rasa pening mendera, di tambah pikiran yang berat hingga membuat Nata kesulitan tidur. Kantung matanya yang menghitam sudah pertanda kekacauan hidupnya. Tak berbeda jauh, Papah dan Mamah Nata pun. Sudah mengusahakan yang terbaik untuk pengobatan mata Naura, agar bisa kembali melihat. “Papah tidak akan sanggup lagi mengelola perusahaan sendiri. Setelah terbiasa ada Naura.” “Kamu benar.” Angguk Nata, “Naura pun benar..” “Kamu masih memikirkan ucapan Naura sebelum kejadian kecelakaannya?” “Aku tidak akan bisa lupa, Saujana. Naura benar, aku ini egois. Aku melepas tanggung jawabku sebagai anak pertama, anak laki-laki rumah ini demi mencapai mimpiku. Membebankan semua itu pada Naura. Mimpi Naura tidak di bisnis ini, tetapi karena diriku, dia tak punya pilihan selain mengikuti mau orang tuaku.” “Kamu egois, Nata! Kamu mengejar kesenanganmu sendiri, lalu mengorbankan diriku! Sebagai anak sulung, apa peranmu untuk menjaga bisnis keluarga kita? Tidak ada! Papah dan Mamah hanya sayang padamu, tidak pernah sekali pun memikirkanku. Kamu bebas memilih jalan hidupmu, memilih pasanganmu. Sementara aku, dari dulu bahkan sampai masa depanku, sudah di atur! Andai aku tidak terlahir sebagai adikmu, kurasa hidupku lebih mudah!” Kalimat tersebut selalu saja terdengar di telinga Nata, menyayat hatinya. Walau tahu adiknya mengatakan dalam keadaan marah ditambah masalah di kantor. Buat dia bertengkar dengan Papah, lalu Mamah menuntut untuk Naura setuju di kenalkan dengan anak temannya. Sebuah perjodohan yang buat Naura marah dan bahkan malam sebelum kecelakaan, tidak pulang. Menginap di apartemen Nata. “Kita berdua tahu bila Naura mengatakannya terdorong emosional.” “Ya. Saat marah itulah seseorang akan bicara jujur tentang yang ada dihatinya. Aku tidak marah pada Naura, jujur saja, akhirnya Naura mengeluarkan isi hatinya padaku. Membuatku tertampar kenyataan bila sejauh ini aku memang tidak bisa menjadi seorang Kakak yang baik untuknya.” Nata kembali memejamkan mata seiring air mata yang jatuh. Saujana turut sesak melihat kondisi Nata dengan rasa bersalah, lalu melihat iparnya dengan rasa putus asa. Mengakhiri hidupnya seolah pilihan satu-satunya yang ingin Naura ambil saat itu. Saujana meraih tangan Nata, menggenggamnya erat. “Kupercaya semesta akan memberikan jalan keluar untuk kamu, keluarga ini terutama Naura.” “Amin.. aku berharap yang sama.” Angguk Nata. Mereka kembali berpelukan, tak menyadari jika Mamah dari Nata mendengarkan. Ia menyeka air mata. Memiliki doa yang sama, terutama untuk putrinya. “Jika Naura tak lagi bisa melihat, kuharap Tuhan membuat dirinya tak merasa sendiri. Tetap memiliki cahaya yang membuat hidupnya tak segelap sekarang” Ia tahu seberapa takut putrinya dengan gelap. Cahaya yang seorang Ibu itu harapkan, lebih luas dari arti bisa melihat lagi. *** Tiga bulan berlalu.. Memejamkan mata maupun membukanya bagi Naura sama saja. Ia perlu beradaptasi, benar-benar gelap, hanya sedikit seperti merasakan terang saat siang hari. ia terduduk di atas tempat duduk, merasakan kehadiran ibunya dari parfumnya yang khas. Suara tirai terbuka. “Kamu sudah bangun-“ “Apa keputusan kalian?” “Naura, kita bahas nanti ya. Sekarang, Mamah bantu kamu mandi dan kita jalan-jalan ke taman-“ “Aku hanya butuh keputusan kalian.” Ibunya menarik napas dalam, “tidak ada tempat yang baik selain rumah ini dan tinggal bersama kami!” Naura menggeleng, tangannya mengerat di ujung selimut. “Aku merasakan sesak di sini, Mah. Aku ingin tinggal di Villa.” “Sendirian? Mamah tidak bisa.” “Bisa. Aku harus terbiasa, tidak selamanya aku akan bergantung pada Mamah atau siapa pun.” “Naura—” “Please, Mah. Aku tidak pernah meminta apa pun pada kalian, memaksa kehendakku. Aku selalu menuruti apa pun yang kalian inginkan untuk hidupku. Kali ini saja, di saat kondisiku sudah seperti ini. Kumohon.” Naura menangkupkan tangan, ia memang tak lagi bisa melihat tetapi matanya masih mampu mengeluarkan air mata. Bahkan lebih sering dari sebelumnya. Mamah turut terisak, ia mendekat dan memeluk Naura erat. “Maafkan kami, Naura… terkhusus Mamah.” Seandainya bisa, sebagai seorang Ibu, ia bisa memberikan matanya agar putrinya bisa melihat lagi. Naura kian terisak, air matanya kian berderai membelai pipinya yang kian kurus. “Biarkan aku tinggal di Villa, Mah.” Mamah menarik napas dalam-dalam, “Mamah akan bicara dengan Papah dan Nata. Dengan satu syarat, kamu tidak akan benar-benar tinggal sendiri. Akan ada yang menemanimu. Mengurus Villa, makanmu dan membantumu sampai kamu bisa mengurus dirimu sendiri. Mamah akan usahakan selalu datang ke Villa, menginap di sana. Andai Mamah tidak terikat, Mamah akan tinggal denganmu di Villa keluarga kita.” Naura tidak mengatakan apa pun lagi selain kian mendekap ibunya, dengan tangis yang begitu menyayat hati. “Thank Mamah..” bisik Naura. Ia mengasingkan dirinya sendiri, dengan menginginkan tinggal di Villa nanti. Dia berharap di sana bisa jauh lebih tenang. Mulai bisa menerima dirinya dengan kondisi saat ini. Satu ciuman tersemat di keningnya. “Duniamu tidak benar-benar menjadi gelap dengan kondisi matamu yang tak lagi bisa melihat, Naura.. Kami akan selalu ada untukmu.” “Mamah salah, kalian tidak akan selalu ada untukku. Tidak ada yang abadi di dunia ini, Mah. sebelum waktunya tiba, di mana aku tak bersama kalian, aku harus bisa hidup menyesuaikan dengan kegelapan ini. Sekali pun aku membenci diriku, membenci gelap ini.” Tok! Tok! Tok! Sebuah ketukan pintu menghentikan pelukan keduanya, seorang pekerja rumah meminta ijin masuk sebelum Mamah berjalan dan membuka pintu. “Ada apa?” “Saya diperintahkan Den Nata. Memberitahu jika ada tamu.” “Tamu, siapa?” “Leo. Kakak dari Nona Saujana.” Mendengar sebuah nama tidak asing, membuat Naura menoleh pada sumber suara. Leo, dia mengingatnya dengan amat baik. Pria yang pernah menyelamatkannya tersebut, jadi kini sudah kembali? “Leo? Oh iya kami akan turun sebentar lagi.” Ujar ibunya. Lalu pekerja rumahnya terdengar pamit, suara pintu tertutup. “Sekarang kamu mandi, kita temui Leo-“ “Tidak!” Naura menolak tegas, “aku tidak mau bertemu dengan siapa pun!” Naura memang sangat menutup diri. Tak ingin bertemu orang luar selain keluarga dalam rumah. Naura tidak mau bertemu dengan seseorang lalu dikasihani atas kondisinya termasuk pria itu, Leo.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD