Bab 9

1248 Words
“Hey, kamu! Tolong kerja samanya, ya! Tolong buat wajah aku secantik bidadari.” Aku menepuk benda mati itu, seolah dia bisa mendengar apa yang kuucapkan. Lantas aku mengambil sabun mukanya dan gegas membersihkan wajah. Kuabaikan hiruk pikuk dan hingar bingar para tetangga yang sedang rewang dan para kerabat yang juga ikut membantu-bantu. “Eh, Diva, kok baru kelihatan, sih?” Pertanyaan dari Bi Asih terlontar ketika aku kembali ke kamar mandi untuk wudhu dan sekaligus cuci muka. Kalau dulu, aku cuci muka hanya dengan facial wash yang harganya lima belas ribuan. Kali ini, beda. Aku cuci muka dengan facial wash bagus, tapi gratisan. Ah, andai bisa gratis tiap hari. “Iya, Bi! Habis kerja, hari pertama masa mau izin.” Aku tersenyum. “Oh kamu pindah kerja. Iya, kalau ada kerjaan, mending kerja, lagian di sini sudah banyak yang bantu juga.” “Iya, Bi.” Ah, malas berlama-lama. Gegas wudhu dan mencuci muka. Lalu aku kembali masuk ke kamar dan mengunci pintu dari dalam. Kuapplikasikan skin care ini sebelum tidur. Kutepuk-tepuk dan kupijat lembut pipiku. “Semoga besok bangun sudah cantik, ya!” Lalu aku tarik selimut dan pejamkan mata. Selebihnya aku lantunkan zikir sambil menunggu kantuk datang. Susah pastinya, soalnya di luar suara berisik dari organ tunggal sangat mengganggu pendengaran. Namun perlahan, rasa kantuk hinggap. Aku mulai menguap dan tampak bayangan wajah seseorang melambai memberikan semangat. Suasana sudah hening sunyi. Seperti biasa, sekitar pukul dua malam aku terbangun. Jadwalku bermunajat melantunkan permintaan mengetuk pintu langit. Lekas bangun dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Suasana sudah sepi, dengkuran-dengkuran terdengar dari para kerabat yang memilih menginap. Tak banyak, hanya sekitar lima orang yang tergeletak memenuhi ruang tengah. Mereka sepertinya kelelahan. Aku melangkah, hendak kututup pintu depan yang bahkan tak ada yang menutupnya. Namun, langkahku terhenti, rasanya dejavu menyerangku kembali. Di dekat kamar Putri, kudengar suara desah*an dan er*ngan. Kutelan saliva, lalu kugelengkan kepala. Sebisa mungkin kutepis bayangan menyakitkan beberapa waktu silam. Mereka memang sedang panas-panasnya, bahkan di saat semua orang kelelahan, rupanya kedua pasang pengantin baru itu memilih menghabiskan malam panasnya sekarang. Kututup pintu perlahan, tetapi tetap saja menimbulkan deritan. Suara-suara dari dalam kamar itu memelan. Mungkin baru sadar, kalau ada orang yang belum tidur di rumah ini. Lekas aku berjalan cepat menuju dapur dan mengambil air wudhu. Setelahnya gegas masuk kamar dan bermunajat seperti biasa. Hanya pada-Nya kumengadu dan hanya Dia yang dapat kupercaya. *** Hari-hari berat yang kulalui perlahan berkurang. Putri sudah pindah ke rumah Mas Imam. Hanya saja, kamar tidurnya masih tak boleh di aling fungsikan. Katanya nanti dia mau menginap di sini sesekali. Seperginya Putri, hidupku terasa lebih ringan. Mengingat gajiku di tempat kerja sekarang cukup besar. Aku mulai berselancar mencari perkuliahan sabtu-minggu. Selain untuk mengisi waktu, aku juga harus belajar lagi terkait hal-hal baru yang benar-benar menguras tenaga di tempat kerja sekarang. Aku harus melakukan hal yang bertentangan dan membuatku tak nyaman. Satu bulan sudah aku bekerja di tempat baru. Banyak kemajuan yang sudah kudapatkan. Bahkan, kini, aku sudah mulai percaya diri tampil di depan kamera. Beberapa kali Bu Anne memintaku memberikan testimoni pada live IG maupun t****k sekalian mempromosikan produk ke konsumen. Satu bulan, perjuangan berat ini kulawan sekuat tenaga hingga akhirnya perlahan aku keluar dari rasa minder yang biasanya menggelayuti. Aku pun perlahan sudah mulai terbiasa dan menguasai sosial media. Aku pun sudah memiliki akun sendiri. Kuberi nama Cinderella. Ya, aku menamainya Cinderella agar suatu saat bisa bertemu pangeran yang tulus dan mengangkat derajat kehidupanku menjadi lebih baik lagi. Tak ada satu pun fotoku di sana. Aku hanya mengupload ke sosial media akun resmi saja. Itu pun hanya untuk testimoni dan promosi. Anehnya, tiba-tiba saja nasib seolah menarikku ke sana. Tanpa kusadar dari sekian banyak daftar pertemanan ada seseakun dengan nama Pangeran. Dia sama, tanpa foto profil. Hanya saja setiap aku update status, dia tak pernah absen. Bahkan beberapa kali, kami menghabiskan waktu chat hingga malam. Tak ada yang banyak kutahu tentang dia, melainkan dia itu seorang lelaki dan single. Dia pun hanya tahu jika aku seorang perempuan dan lajang. Akhir-akhir ini, Bu Anne bilang, penjualan cukup meningkat dengan signifikan. Dia bilang, itu berkat hasil testimoniku yang meyakinkan. Bahkan dia kerap memuji penampilan dan kulit wajahku yang semakin glowing dan cantik meski tanpa make up, katanya. Bahkan bulan kedua ini, aku kembali mendapatkan paket skincare gratis. Bu Anne bilang sebagai apresiasi dari perusahaan. Siang itu, aku baru selesai mengupload satu jenis produk baru. Beruntung, aku memiliki kemampuan menulis. Jadi hal itu bisa kupadu padankan dengan skill terbaruku yaitu membuat konten-konten iklan. Bell istirahat berdering. Kukeluarkan kotak bekal yang seperti biasa kubawa. Aku masih Diva yang dulu, yang tak suka menghamburkan uang dan kupakai hanya untuk kebutuhan. “Makan ke luar, Mbak?” Aku menatap Intan yang sudah siap-siap dengan kunci mobilnya. “Iya, mau makan sate kambing sama Bu Anne. Ikut gak?” Intan bertanya. “Enggak, ah. Aku makan di sini saja.” “Oh ya sudah, kalau mau nitip, bilang, ya!” tukasnya. “Oke!” tukasku. “Eh, nanti kalau ada Pak Ken, kasihin ini, ya! Buat Mamanya!” Intan menunjuk satu paket skin care yang sudah dia packing dan disimpannya di atas meja. “Oh, ok. Tapi aku belum pernah ketemu sama Pak Ken, kayak gimana orangnya?” tanyaku. Agak bingung juga. “Pokoknya orangnya tampan, hidungnya mancung, kulitnya putih bersih, matanya duhh, kalau mandang bikin gak pengen pulang!” Intan senyum-senyum sendiri dengan tatapan mata yang kosong ke depan. “Hush, mulai! Ayo, cepetan, tar jam istirahatnya keburu habis!” Bu Anne yang baru turun dari lantai atas menepuk bahu Intan. “Kami pergi, ya! Pokoknya kalau ada yang datang, tanya saja namanya siapa, oke?” Intan melirik ke arahku. Aku hanya mengangkat jempol, lantas duduk di balik meja kasir yang biasanya diduduki Intan dan langsung membuka bekal makan siang. Setidaknya ada perubahan suasana dari pada di atas terus ‘kan bosan. Aku tengah makan ketika terdengar suara pintu di dorong. Aku mengangkat wajah, mungkin ini yang tadi Intan bilang, pemilik tempat ini yang mau ambil paket skincare buat ibunya. Beberapa detik pandangan kami bertemu. Sontak mood baikku menguap begitu saja. Lelaki dengan kaos warna hitam dan celana jeans belel sudah berdiri di depan meja kasir. “Gak bisa baca, ya? Tulisannya tutup!” Aku memasang wajah jutek. Rupanya Kenzo si lelaki menyebalkan juga langganan di klinik sini. “Kamu siapa? Pegawai baru, ya?” Sepasang matanya menatapku tajam. Aku menautkan alis, masa iya dia gak mengenali aku. “Mau baru atau lama, bukan urusan kamu, kok! Kalau mau beli, tunggu saja disitu dulu. Kasirnya lagi istirahat makan dulu di luar!” ketusku. Aku kembali duduk dan melanjutkan makan. Wajah Kenzo tampak memerah karena kesal. Aku tersenyum senang. Biar sajalah kehilangan pelanggan satu seperti dia. Biar ngurangin dosa. Malas banget kalau tiap bulan harus bertemu dengan Kenzo. Dia tampak duduk dan memainkan gawai. Aku hanya meliriknya sesekali lantas asik makan dan menyuap dengan semangat hingga sebuah chat masuk dari akun bernama pangeran. [Lagi apa?] tulisnya. [Makan. Kamu?] balasku. [Lagi bete. Punya pegawai songong kelewatan.] tulisnya lagi. [Dih, kok, bisa? Yang sabar, ya?] Aku menghiburnya. [Mentang-mentang jam istirahat, gak mau diganggu. Padahal paling mereka juga sempat-sempatnya nyuri waktu kalau lagi kerja. Si*lan memang.] [Sabar, ya. Lagian datangnya jam istirahat.] Aku menanggapinya. [Biasa pesanan nyokap, gak bisa di entar-entar. Tuh, ‘kan bener sudah nelpon. Dah dulu, ya!] Kolom pesan tertutup. “Hallo, Ma! Iya sudah di sini. Lagi pada istirahat! Gak ada orang!” Itulah penggalan kalimat yang kudengar dari Kenzo sebelum dia pergi keluar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD