Bab 6

1070 Words
Aku sudah mengajukan izin pada Bu Ratna---selaku pimpinan LPC Al Huda atau Lembaga Professional Course Al-Huda di mana aku bekerja, pastinya setelah berbincang dengan Mbak Ana. Dia yang biasanya menggantikan tugas pentingku ketika akan ada keperluan seperti sekarang. Pakaian hitam putih sudah rapi kukenakan. Kupoles wajah dengan bedak, tetapi sayangnya malah aneh. Kulitku yang gelap ketimpa bedak yang putih malah terkesan dipaksakan. Akhirnya kucuci lagi muka dan hanya memakai foundation seharga sepuluh ribuan. Tak memunculkan efek apa-apa, hanya saja setidaknya tak terasa terlalu kering. Kupoles lip balm warna natural agar bibirku tampak segar. Kerudung warna hitam menjadi pilihan. Kulipat kerudung segi empat itu dan kupertemukan dua sisinya. Lekas kupakai dengan simetris. Setelah tersemat jarum pentul, lekas aku mengambil tas yang sebetulnya hanya berisikan ballpoint, dompet kecil, ponsel, kotak makan segi empat dan air mineral. “Bu, Diva berangkat dulu!” Aku menghampiri Ibu yang tengah menyuapi Bapak. “Sarapan dulu, Va!” tukas Ibu. Aku melirik jam tangan yang kukenakan. Sudah pukul setengah tujuh, rasanya malu kalau datang terlambat. “Diva bawa kok nasi gorengnya ke kotak makan. Nanti di sana kalau masih lama, Diva cari tempat buat sarapan.” “Hathi-hathi!” tukas Bapak dengan suara tak jelas. “Iya, Pak, Bu! Doain Diva, ya! Assalamu’alaikum!” Aku menguap salam. Lantas lekas meninggalkan role model yang kujadikan panutan. Dari Ibu aku belajar, bagaimana mencintai seseorang dengan tulus. Dia tak pernah mengeluh dan merawat Bapak dengan telaten. Ah, sungguh jika dalam film Habibie Ainun aku terharu pada pengorbanan dan kesetiaan Rudy yang memilih sendiri sampai maut menjemput. Di sini aku terhanyut dalam ketangguhan dan kesetiaan Ibu, di mana tetap tegar berpijak pada dua kaki menghadapi badai yang tak mudah ini. Bismillah, Bu! Doakan anakmu ini. Jika bisa kuraih bintang gemintang, maka yang pertama kuberikan untuk menggenggamnya adalah kalian. Aku mengendarai honda beat keluaran lama ini hingga di depan sebuah bangunan yang tak terlalu luas. Bangunan ini termasuk dari bagian ruko-ruko yang berderet di depan pasar. Jaraknya bisa ditempuh dengan menghabiskan sekitar enam puluh menit dari rumah beserta macet-macetnya. Sedikit lebih jauh dari tempat kerjaku sebelumnya. Waktu interview masih jam delapan. Aku punya waktu untuk rehat sebentar dan menyantap sarapan. Jam delapan kurang lima belas menit, aku sudah berada di area lobi. Rupanya distributor dan skin care center ini merupakan ruko tiga lantai. Lantai bawah tampak Dipenuhi deretan sampel produk pada etalase, beragam dan didominasi oleh satu produk ternama. Sebuahcustomer service bertenggar di sana, seorang perempuan dengan rambut warna kepirangan duduk di belakangnya. Dia menyapaku dan mempersilakanku duduk. Aku duduk sendirian sambil menunggu panggilan. Tak berapa lama, seorang perempuan yang tampak glowing muncul dari lantai atas. Aku berulang kali menghela napas. Di sini aku terasa paling buluk sendiri. “Selamat pagi, Mbak Diva! Saya Anne---Branch Manager di sini. Yuk ikut ke ruangan saya!” tukasnya ramah. Dia mengangguk seraya berjalan meniti anak tangga. “Pagi, Bu Anne! Baik, Bu!” Aku mengayun langkah dan mengikutinya. “Silakan duduk, Mbak!” tukasnya mempersilakanku untuk duduk. Ruangan ini tak terlalu besar hanya berukuran tiga kali tiga meter. Setelah ruangan ini tampak berderet tempat spa dan perawatan kecantikan. Sepertinya Distribution Skin Care Center ini menyatu dengan klinik kecantikan. “Mbak Diva, tahu lowongan di sini dari mana?” tukasnya ramah. “Saya lihat dari internet, Bu!” Aku menjawab sejujurnya. Jemari lentik Bu Anne yang kutaksir usianya mungkin hanya terpaut dua atau tiga tahun di atasku itu menari di atas CV yang sudah dia print. “Silakan perkenalkan dirinya dulu, Mbak! Di sini ada riwayat pekerjaan, boleh ceritakan juga, ya, Mbak!” tukasnya seraya menatapku dengan tatapan yang ramah. Ah, sepertinya akan menyenangkan kerja di sini. Calon atasannya tampak lembut dan baik. Aku pun mulai menjelaskan satu per satu seperti yang dia minta. Tanya jawab terjadi pada beberapa hal yang masih dia ingin pertanyakan. “Wah, menarik sekali, Mbak Diva ini! Satu pertanyaan terakhir, Mbak. Hanya saja ini agak menyangkut pribadi. Ada rencana menikah dalam waktu dekat?” Bu Anne menatapku. Senyum pada bibirku tertarik miring. Ya, rencana hanya tinggal rencana. Apa mau dikata, takdir berkata beda. “Mbak Diva?” Suara Bu Anne menyadarkanku. Sepertinya aku malah melamun. “T--tidak ada, Bu! Calonnya saja belum ada, kok!” tukasku seraya tersenyum. “Oh, baik! Sesi interviewnya sudah habis. Saya akan kirimkan CV dan summary hasil interview ini pada owner. Kebetulan hari ini dia sedang tak bisa hadir, biasanya join bareng saya kalau mau rekrut baru. Hasilnya akan segera saya kabarkan, ya!” tukasnya seraya tersenyum. “Baik, makasih, Bu! Berapa lama kira-kira hasilnya akan keluar? Soalnya saya harus ajukan dulu pengunduran diri dari tempat lama.” “Dalam dua atau tiga hari, bisa jadi hari ini! Kamu butuh urgent soalnya! Nanti tergantung owner, soalnya ada beberapa candidate juga yang sudah shortlisted. Berdoa saja, semoga Mbak Diva terpilih, ya!” “Baik, makasih, Bu!” Lekas pulang, kukendarai sepeda motor dengan hati riang. Rasanya sudah tak sabar menunggu kabar hasil interviewnya. Apalagi melihat nominal gaji yang jauh lebih besar, aku bisa membeli kebutuhanku dengan lebih leluasa, bisa beli pakaian-pakaian yang bagus, tas, sepatu, hal-hal sederhana yang selama ini tak bisa pernah kudapatkan karena uangku habis buat biaya kuliah putri dan buat makan. Satu lagi yang membuatku bersemangat, katanya tiap bulan selalu ada bonus skincare untuk karyawan terpilih. Semoga aku bisa beruntung dan icip-icip perawatan kulit gratis. Lihat wajah Bu Anne sama Customer Service di sana, aku merasa menjadi manusia dari planet lain rasanya. Di tengah indahnya lamunan, tiba-tiba laju sepeda motorku melambat, kutarik gasnya, tetapi tak juga mau maju. Huh, sepertinya penyakitnya kambuh lagi. Lekas aku dorong mencari bengkel terdekat. Untung sudah dekat rumah. Kutitip sepeda motor di bengkel, lantas jalan kaki. Aku menunduk ketika melewati rumah Kenzo. Semoga orangnya tak ada, malas bahkan hanya untuk bertegur sapa. Tiba di depan rumah, sepeda motor Mas Imam sudah di sana. Huh, menyebalkan sekali lelaki itu, kenapa juga datang ke rumah? Apa gak kerja? Aku melepas sepatu di teras sambil melepas lelah. Sesekali tawa Putri dan Mas Imam bergantian. “Oh, jadi kamu suka aku karena aku lebih cantik dari Mbak Diva? Iyalah, aku ini terawat, kalau Mbak Diva itu apa tadi kamu bilang, semrawut? Dih tega banget ya bilang gitu sama mantan sendiri?” Kudengar suara Putri di tengah tawanya. Lalu lagi-lagi disambung tawa. Nyesss! Sakitnya tuh sampai ke sendi-sendi. Jadi begitu saja kelakuan mereka kalau sedang berdua. Olok-olok saja terus sampai puas. Aku janji, akan menjadi lebih cantik dari pada Putri. Lihat saja nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD