Bab 2. Malam Membara

1287 Words
Olivia yang baru tersadar jika Panji telah mencuri ciuman pertamanya hendak mengajukan protes. Akan tetapi saat melihat Yuda dan Belinda yang terkejut membuat Olivia membatalkan niatnya. Hatinya sedikit terhibur saat melihat keduanya yang menampilkan wajah bodoh. "Sepertinya sudah cukup bagi kamu untuk menerima hinaan dari mereka. Ayo kita pergi sekarang, Sayang." Suara berat Panji seketika membius Olivia sehingga wanita itu menurut saja ketika pria itu membawanya keluar dari tempat resepsi berlangsung. "Antar gua ke night club." Titah Olivia saat keduanya berada di parkiran. Patah hati yang Olivia rasakan membuatnya nekat untuk mengunjungi tempat yang sebelumnya belum pernah dia datangi sebelumnya. Dia merasa penat sekaligus ingin melampiaskan semua kekesalannya dengan meneguk minuman yang memiliki kadar alkohol yang tinggi "Memangnya nggak takut saya bakal macam-macam sama Mbak?" tanya Panji dengan nada bingung. "Seperti yang tadi pasangan sampah itu bilang, mana ada cowok yang tertarik sama gua. Lo 'kan juga cuma gua bayar. Hubungan kita ini pure bisnis." Panji hanya terdiam saat Olivia mengatakan hal itu dan berjalan menuju mobilnya. "Gila! Mobilnya bangsa yang 2M, memang kliennya udah banyak kali ya," kagum Olivia di dalam hatinya saat Panji menekan remote mobil berwarna hitam itu. "Cepat antar gua ke night club dan gua nggak akan komplain mengenai lo yang udah cium gua tanpa izin tadi," tukas Olivia dengan nada tajam. Panji lagi-lagi hanya menghela napas kasar. Bingung bagaimana harus menjelaskan yang sebenarnya. Sepertinya bukan ide yang buruk meminum beberapa gelas wine atau Vodka, siapa tahu akan terjalin pembicaraan yang santai nantinya. *** Olivia pun berakhir mabuk dengan ditemani oleh pria yang disewanya. Wanita itu menghabiskan sebotol wine, sementara Panji baru menghabiskan gelas kedua. Berbagai racauan dan makian pun keluar dari bibir Olivia yang dipoles dengan lipstik berwarna pink itu. Teriakan histeris pun keluar dari bibir Olivia bahkan tubuhnya bergetar karena menangis. "Mbak, ngapain marah-marah sama cowok seperti itu. Yang ada ngabisin energi aja," ucap Panji yang mulai merasa pusing karena mabuk. "Terus gua mesti gimana? Sakit banget rasanya!" bentak Olivia yang semakin kehilangan kesadarannya. "Ayo kita pergi sekarang," ajak Panji yang masih dapat mempertahankan kesadarannya. *** Entah bagaimana caranya Panji berhasil membawa Olivia ke sebuah hotel yang memang memiliki jarak yang dekat dengan club malam tersebut. Pria itu segera membaringkan tubuh Olivia ke ranjang dan membuka sepatu Olivia agar wanita itu merasa nyaman dalam tidurnya. Panji terkesiap saat Olivia tiba-tiba menindihnya. Pria itu menggeram saat menyadari kedua benda kenyal milik Olivia mengenai dadanya. Pengaruh alkohol semakin membuat suhu tubuhnya meningkat saat menerima sentuhan dari Olivia. Sentuhan yang membuat Panji seperti tersengat listrik. Napasnya bahkan memburu menahan hasrat yang terpancing akibat perbuatan Olivia. "Mbak, hentikan. Jangan diterusin lagi atau Mbak akan menyesalinya seumur hidup." Dengan menggeram Panji meminta Olivia menghentikan aksi tangannya yang mulai menuju ke bawah tubuhnya. "Harusnya gua sadar kalau cewek gendut kayak gua nggak mungkin menarik perhatian pria!'' jerit Olivia dengan histeris. Tapi itu tak berlangsung lama karena Olivia sudah menautkan kedua bibir mereka. Wanita itu benar-benar sudah bersikap seperti wanita binal di hadapan Panji. Mendapatkan perlakuan seperti itu tentu saja membuat pertahanan Panji runtuh dan akhirnya membalikkan posisi keduanya. "Jangan menyesalinya, dan aku tidak akan melepaskannya meski nanti kamu merengek padaku," ucap Panji di sela ciuman keduanya. "Apa maksudnya ..." Tanpa menunggu kelanjutan perkataan Olivia, Panji kembali mendaratkan ciuman panas yang akhirnya membuat gadis itu mengerang. "Arghhhh, sakit sekali!" Teriakan Olivia disertai dengan air mata yang menetes menandai jika gadis itu sudah menyerahkan tubuhnya kepada Panji. *** Aduh!" Olivia merasakan kepalanya sakit luar biasa saat membuka matanya. Bukan itu saja, sekujur tubuhnya serasa remuk dan sulit digerakkan. Tapi yang paling membuatnya terkejut adalah inti tubuhnya terasa perih. "Tidak mungkin ..." Tak melanjutkan perkataannya, Olivia segera melirik ke sampingnya dan tersentak saat melihat seorang pria yang masih tertidur dengan bagian atas tubuh yang terbuka. Untuk sesaat Olivia merasa terpukau akan bentuk badan pria yang semalam telah merenggut kesuciannya itu. "Aku harus segera pergi dari sini," gumam Olivia yang berusaha untuk bangun dari tempat tidurnya. Akan tetapi rasa sakit yang menyengat membuatnya kembali terpental di kasur. Getaran yang timbul itu akhirnya membuat tidur pria itu terganggu dan segera membuka matanya. Silau membuat sang pria reflek menutup mata dengan telapak tangan kanannya. Semua gerakan itu tak luput dari pengamatan Olivia yang semakin tersihir akan pesona pria sewaannya. "Akhirnya Mbak bangun juga." Suara berat yang membelai indra pendengarannya membuat Olivia tersadar akan lamunannya. "I-iya, gua udah bangun dari tadi," ucap Olivia dengan tergagap. "Hey Olivia, lo ini kenapa sih bisa-bisanya salah tingkah sama cowok sewaan ini." Makinya dalam hati. "Apa semalam kita benar-benar melakukannya?'' tanya Olivia yang berharap jika semua ini adalah lelucon semata. Mata hitam Panji yang menatapnya tajam membuat Olivia semakin merasa canggung. Akhirnya gadis itu memilih untuk mengalihkan pandangannya. "Apa semua tanda yang saya berikan pada tubuh Mbak tidak bisa menyakinkan kalau kita sudah melewati malam panas yang membara?'' Bukannya menjawab Panji malah mengajukan pertanyaan balik pada Olivia. "Kenapa lo melakukannya? Kita sudah sepakat kalau lo hanya gua sewa untuk menemani ke pesta pasangan sampah itu. Tapi lo malah mengambil keuntungan dari gua?'' Semburan amarah tiba-tiba meluap dalam diri Olivia. Bisa-bisanya dia menyerahkan tubuhnya pada pria yang tidak dia kenal. Rasa kesal, kecewa dan menyesal melebur menjadi satu dalam diri Olivia. Dia merasa sudah tidak berharga sebagai seorang wanita. Namun Panji hanya tertawa setelahnya, membuat Olivia semakin tersulut amarahnya. Tanpa ragu dia memaki Panji dengan kata-kata kasar yang tidak lulus sensor. "Lucu sekali ucapanmu, Nona. Apa kamu tidak ingat jika semalam sudah melemparkan tubuhmu seperti jalang padaku? Bahkan aku sudah menolak mati-matian, tapi kamu tetap saja memaksaku." Olivia merasa tersinggung saat Panji menguliti keburukannya. "Jadi jangan salahkan aku atas semua terjadi diantara kita. Aku ini masih pria normal yang akan terangsang jika ada seorang wanita menggodaku dengan brutal. Meskipun wanita itu menganggap dirinya tidak sempurna." Lanjut Panji dengan melemparkan tatapan mengintimidasi. Tanpa dapat dicegah ingatan tentang kejadian semalam membanjiri ingatan Olivia. Matanya melebar dan kedua tangannya menutup wajah, Olivia terlalu malu karena telah sembarangan menuduh pria itu. Benar kata Panji jika dia seperti wanita penjaja cinta yang murahan. "Sepertinya kamu sudah mengingat kejadian semalam," ucap Panji dengan nada menyindir. Sebenarnya pria itu merasa bersalah karena tidak dapat mengontrol hasratnya karena efek alkohol yang diminumnya. Tapi saat melihat arogansi Olivia membuat Panji terus melontarkan kalimat yang menyakitkan kepada Olivia. "Baiklah, gua ngaku salah. Puas lo!" bentak Olivia yang tak suka dengan tatapan mengejek yang Panji tujukan pada dirinya. Dadanya bahkan mengembang kempis karena emosi yang memuncak. Tak ingin terlalu lama terlarut akan emosi memaksa Olivia beranjak dari tempat tidur dan mengabaikan rasa sakit yang menjalari sekujur tubuhnya. *** "Lebih baik kita lupakan kejadian malam tadi karena itu hanya sebuah kesalahan. Jadi lo nggak perlu bertanggung jawab atas gua, dan ini upah atas jasa lo kemarin yang sudah menemani gua ke pesta semalam," ucap Olivia saat keduanya sudah berpakaian lengkap. "Apa maksud dari perkataanmu itu?'' tanya Panji dengan nada tinggi dan membuat Olivia terkejut. "Masa harus gua jelasin baru lo ngerti? Gua mau kita melupakan kejadian semalam, kurang baik apa gua yang nggak menuntut pertanggungjawaban dari lo," ucap Olivia yang mencoba menekan egonya sebagai wanita. "Baiklah kalau itu mau kamu, saya berharap kamu nggak akan menyesali keputusanmu ini." Olivia mengernyit saat mendengar Panji yang kembali memanggilnya dengan formal. Tapi dia mengabaikan rasa penasarannya, dan segera mengambil tas Gucci putihnya. Setelah mencari-cari selama beberapa detik, Olivia mengeluarkan sebuah amplop coklat dan meletakkannya di tangan Panji "Ini bayaran atas jasa yang telah lo berikan kemarin malam. Terima kasih karena sudah menyakinkan pasangan sampah itu kalau gua udah move on," ucap Olivia dengan lantang. "Padahal kenyataannya belum, gua masih merasa sakit melihat kebahagiaan mereka." Lanjut Olivia di dalam hatinya, mana mungkin dia mengatakannya secara gamblang pada Panji yang saat ini menampakkan raut wajah dingin. "Selamat tinggal," ucap Olivia saat merasa jika Panji hanya terdiam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD