Bab 8. Belinda yang Meradang

1160 Words
"Bapak cari-cari kesempatan ternyata," ucap Olivia saat Panji selesai menyelesaikan urusannya di kamar mandi. "Karena siapa saya jadi menerkam kamu," sahut Panji dengan wajah datar. "Tapi nggak gitu juga caranya, Pak. Kita ini masih belum resmi menikah loh, masa mau nambahin dosa?'' protes Olivia dengan geram. "Ngomongin dosa nggak ada habisnya. Ayo kita keluar saya mau makan," ajak Panji yang tidak memperdulikan kekesalan Olivia. "Mau makan ke mana, Pak? Saya ogah jalan kaki lagi, perut saya sakit. Mending makan mie instan aja." pekik Olivia yang bertambah kesal dengan Panji. Tadi dari minimarket ke kost-an ini, Panji mengajaknya jalan dengan jarak 600 meter. Yang mengherankan Panji masih terlihat biasa saja, tidak ada keringat yang mengucur secara berlebihan atau napas yang tersengal. Padahal Olivia sudah merasa kakinya akan patah dan ditambah dengan kram perut yang menyiksanya. Sungguh sebuah neraka j*****m bagi Olivia. Tak terhitung berapa kali Olivia melontarkan sumpah serapah pada Panji. "Mie instan bukan pilihan yang bagus, Olivia. Itu kalorinya tinggi sekali, apalagi kalau kamu tambahin pakai frozen food. Lebih baik kita makan di restoran saja,'' teguran Panji akhirnya membuat mood Olivia semakin terjun bebas. "Mau makan apa nggak, Pak? Kalau nggak mau mendingan Bapak pulang aja karena saya mau istirahat," sahut Olivia dengan wajah garang. "Tapi saya belum lihat kamu makan, Olivia," ucap Panji yang berupaya membujuk Olivia. "Terserah!!!" Olivia yang sudah terlalu murka akhirnya membentak Panji dan berbaring di ranjang. "Kalau begitu saya tinggal dulu," ujar Panji yang kini keluar dari kamar kost Olivia. Mendengar suara dentuman pintu membuat Olivia membuka matanya, dia bersyukur jika Panji sudah pulang. Artinya Olivia dapat dengan bebas melakukan apapun, termasuk memasak mie instan yang tadi dia usulkan kepada Panji. Menggunakan panci listrik yang sangat praktis untuk anak kost, Olivia mulai bereksperimen dengan mie yang akan dimakannya. Dua rasa berbeda dia campur menjadi satu dalam panci itu. Baru saja Olivia akan menyantap makan malamnya suara ketukan pintu terdengar, Olivia segera bangkit dan membukakan pintu. "Pak ... Pak Panji, kenapa Bapak ada di sini?" tanya Olivia dengan tergagap, tak menyangka jika Panji akan kembali ke kost-an ini. "Tadi saya lihat ada rumah makan yang masih buka dan lauknya banyak, jadi saya belikan untuk kamu," ucap Panji sembari mengulurkan sebuah kantung plastik bening pada Olivia. "Nggak perlu repot-repot, Pak. Saya sudah masak mie instan," sahut Olivia. "Olivia, mie instan bukan pilihan yang bagus buat kamu saat ini." Olivia hanya berdecak kesal saat Panji kembali menceramahinya. Dengan emosi, gadis itu berkata jika mie instan yang sudah dimasaknya akan terbuang jika Olivia memakan nasi. "Kalau begitu biar saya yang makan mie instannya," ucapan Panji membuat Olivia terkejut. "Nggak usah sok ngide makan mie instan kalau nggak pernah makan, Pak," sahut Olivia dengan sengit. "Kamu kira saya nggak pernah makan mie instan." Sembur Panji yang merasa jika Olivia menganggapnya hanya makan di restoran mahal. Sembari makan Panji mengatakan agar Olivia mempersiapkan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk pendaftaran pernikahan. Pria itu juga telah mengatur jadwal untuk melakukan poto gandeng dan prewedding pada Sabtu besok jam 2 siang. "Ini sudah malam, Bapak pulang naik apa?'' tanya Olivia saat melihat jam di ponselnya menunjukkan angka 22:10. "Taxi online," ucap Panji yang kali ini benar-benar meninggalkan Olivia. "Dasar atasan gila. Kenapa tadi dia nggak pesan taxi online aja, seneng banget lihat orang susah. Kampret banget itu cowok!" Panji yang masih mendengar umpatan Olivia hanya menyunggingkan senyum tipis. Melihat wajah Olivia yang lucu saat merajuk itu membuat Panji semakin bersemangat untuk mengerjai gadis itu. "Ternyata dia lucu juga, ekh apa yang barusan aku pikirkan? Gadis ceroboh itu lucu,'' gumam Panji yang baru menyadari adanya secuil rasa pada hatinya untuk Olivia. *** "Kamu yakin nggak mau pakai resepsi?'' tanya Panji saat dirinya dan Olivia sudah selesai melakukan sesi poto gandeng dan foto prewedding di sebuah studio poto langganan para artis. "Saya masih mau hidup damai, Pak. Fans Bapak itu barbar banget, dan kalau mereka tahu saya istrinya Bapak bakal habis saya dibully," jawab Olivia dengan lantang. "Kalau gitu kamu cukup jadi IRT saja kayak Oma. Tinggal tunggu saya di rumah dan uang mengalir ke rekening kamu." Olivia hanya dapat menghela napas berkali-kali saat mendengar perkataan Panji barusan. "Sudah cukup ya kita bahas ginian, Pak. Lagian dijelasin juga Bapak nggak bakal ngerti, saya capek dan haus, mau minum yang dingin," tukas Olivia yang tak ingin tenaganya semakin terkuras karena harus menanggapi Panji. "Memangnya kamu sudah 'selesai'? Kalau belum saya nggak akan mengizinkannya," tegur Panji. "Please deh, Pak. Nggak usah mulai lagi debatnya. Memangnya Bapak nggak cape apa ribut terus? Saya aja lelah hayati banget," sahut Olivia yang merasa jika batas ambang kesabarannya sudah habis saat berhadapan dengan Panji. "Kak Oliv, aku nggak nyangka kalau kita akan ketemu di sini." Baru saja Olivia merasa ikhlas karena terusir dari rumah sang ibu, dia malah bertemu dengan Belinda dan Yuda di tempat ini. Bohong jika Olivia tidak merasakan apa-apa saat Yuda merangkul mesra Belinda. Sakit itu masih terasa di d**a dan membuatnya terasa sesak. "Memangnya ada yang salah kalau gua juga foto-foto di sini. Nggak 'kan? Main lo kurang jauh," desis Olivia. "Pak, kita sudah bisa pergi dari sini atau nggak? Saya malas lihat kelakuan pasangan sampah ini," bisik Olivia yang terpaksa harus berjinjit dan memeluk leher Panji. "Kamu sekarang yang cari-cari kesempatan sama saya," sindir Panji yang sebenarnya merasa berdebar saat dipeluk tiba-tiba oleh Olivia ditambah dengan aroma manis yang menguar dari tubuh calon istrinya itu. "Ckckck, kalian ini rupanya nggak tahu malu. Bener kata Papa kalau pria yang menjadi pilihan Kakak itu kere. Aku yakin kalian berdua ke sini cuma buat jadi babu," sambar Belinda sebenarnya merasa kepanasan saat ini. Entah mengapa saat ini aura ketampanan Panji jauh lebih menguar daripada saat dia bertemu dengan pria itu tempo hari. Bahkan Yuda pun tak dapat menyembunyikan kekesalannya saat melihat pemandangan sang mantan kekasih yang sudah berlabuh ke pelukan pria lain. "Memangnya kenapa kalau Paaaa ... Mas Panji kere, dia dan gua sama-sama bekerja. Sudah pasti gua nggak akan kelaparan," balas Olivia yang dengan sengaja mencium pipi Panji. Akibatnya Panji seperti tersengat listrik dan mulai merasa gelisah ditempatnya berdiri. Panji juga merutuki ketidakpekaan Olivia yang tanpa sadar memancing gairahnya. "Aku cuman kasihan sama nasibnya Kakak yang mesti bekerja lebih keras daripada suaminya." Olivia sebenarnya ingin menyemburkan tawa karena perkataan Belinda barusan, tapi tidak seru rasanya jika keluarganya mengetahui identitas Panji secepatnya. "Memangnya kenapa? Rezeki orang 'kan nggak ada yang tahu. Bisa jadi roda kehidupan itu berputar dan nantinya gua hanya tinggal duduk santai di rumah sambil menunggu transferan dari suami." Demi Tuhan! Olivia sebenarnya malu mengatakan hal itu, tapi tidak ada cara lain untuk membungkam mulut Belinda. "Miskin aja belagu, makanya lo nggak jadi orang kaya karena kelakuan lo kayak gini." Olivia mengerejabkan matanya berkali-kali, tak mengerti dengan ucapan Belinda yang mulai di luar nalar. "Kita pergi sekarang, nanti saya akan kasih tahu ownernya untuk mengantarkan foto kita," bisik Panji saat melihat keadaan sudah mulai tidak kondusif. "Pasangan sok romantis!" cela Belinda yang membuat Panji dan Olivia terperangah. Sebenarnya ada masalah apa Belinda hingga tak puas jika melihat Olivia bahagia?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD