Part 3

1127 Words
Sore hari setelah kerja seluruh karyawan tidak diperbolehkan pulang terlebih dahulu. Karena akan ada pesta makan malam bersama di kantor itu. Tentu saja yang memgadakan adalah Wyno sang pemilik perusahaan untuk menyambut adik kesayangannya. Setelah sambutan kembali yang CEO itu lakukan barulah makan malam dilanksanakan. Sejak tadi kedua bayi kembar itu sudah rewel. Mungkin karena sudah gerah dan belum mandi sore. Zora ingin izin pulang terlebih dahulu. Tapi dia takut itu tidak sopan. Alhasil dia tidak makan, kotak makannya akan dia bawa pulang dan dimakan di rumah saja. Setidaknya itu lebih baik daripada tidak hadir. Itu akan sangat tidak sopan. “Kenapa Ra, kembar rewel ya?” tanya Arin yang tadi duduk disampinnya. “Biasa mbak, jatahnya mandi belum,” jawab Zora. “Sini mbak bantu.” “Nggak usah mbak. Please, mbak makan aja ya,” Zora memberi tatapan meminta. Dia tidak ingin jika karyawan lain melihatnya karena kasihan. Dia bisa mengurus dirinya sendiri. Lagipula jika Arin membantunya, dia takut jika ada orang yang tambah tidak suka kepadanya. Dengan menuduhnya menjilat atasan. Arin mengangguk saja. Zora keras kepala dan dia tahu itu, memaksa pun dia tidak akan menang. Zora mengganti baju milik Iyya dan Iyyo. Sebelumnya dia mengelapnya dengan tisu basah supaya keringatbya hilang dan tidak gerah lagi. Cuaca hari ini memang sangat panas. “Ra ayo pulang!” Zora mengangguk. Dia meletakkan Iyyo di stroller seperti biasa. Dan dia menggendong Iyya. Sudah tahukan kalau Iyya memang sangat manja dibandingkan adik kembarnya. Arin sudah siap mendorong stroller Iyyo sebelum namanya dipanggil. “Iya pak?” tanya Arin sopan kepada Wyno. Ya yang memanggilnya adalah CEO mereka. Zora menatap mereka berdua dengan bingung. Dia heran mengapa bisa atasannya bisa mengenal Arin yang hanya sekadar supervisor. Itu seperti tidak masuk akalkan? Tapi melihat tatapan itu, Zora seperti bisa menyimpulkan jika mereka berdua sudah kenal lama. “Kamu tidak mematuhi kata-kata saya ya. Saya susah bilang ke kamu supaya ke apartemen! Tapi kenapa malah tetap di rumah sialanmu itu!” gertak Wyno membuat Iyya yang digendongan Zora tersentak kaget sebelum akhirnya menangis. “Stt, jangan nangis sayang,” bisik Zora kepada anaknya. Wyno menatap tajam Zora membuat Zora ketakutan seketika. Ditambah Iyya yang belum bisa diam. Membuat Zora tambah khawatir. Dia memilih menatap Iyya dan menepuk-nepuk bayi itu supaya berhenti menangis. Di dalam hati Zora bertanya-tanya kapan suasana seperti ini akan berakhir. “Saya bukan siapa-siapa bapak. Jadi berhenti mengatur hidup saya,” ucap Arin tegas. “Ayo Ra pulang.” Zora mengekor sambil berjalan dengan cepat. Dia merasa jika Wyno menatap mereka dengan mata tajamnya. Dia menjadi sangat ketakutan. Dia takut jika Wyno berpikir jika dia terlibat dengan keputusan yang Arin ucapkan tadi. Apalagi sejak pertama bertemu tidak ada tatapan sopan yang Wyno perlihatkan. *** “Mbak ada hubungan apa sih dengan pak Wyno?” tanya Zora setelah sampai di rumah Arin. Zora tahu ini tidak sopan karena menanyai masalah pribadi segamblang ini. Tapi dia tetap nekat, dia takut jika dirinya akan terlibat dan berujung dia akan kehilangan pekerjaan. Bukan bermaksud tidak setiap kepada Arin yang sudah berbaik hati menolongnya. Dia sangat membutuhkan uang. Jika dia menghidupi dirinya sendiri, dia tidak akan sekhawatir ini. Dia menghidupi dua bayi sekaligus, jika dipecat. Tentu saja ujungnya dia juga akan merepotkan Arin. Melihat Arin diam saja membuat Zora merasa tidak enak,”Maaf ya mbak kalau nggak sopan.” “Nggak apa-apa Ra. Mbak tau perasaanmu. Ntar mbak ceritakan, sekarang lebih baik mbak antar kamu ke kamar supaya bisa mandiin si kembar,” balas Arin, Zora hanya mengangguk. Setelah diantar Arin ke kamar tamu yang sebelumnya debat terlebih dahulu. Karena Arin ingin mereka ada di satu kamar supaya lebih mudah nanti kalau menangani si kembar. Tapi tentu saja Zora menolaknya mentah-mentah. Dia tidak enak, bagaimana jika privasi Arin bocor dia ketahui? Zora memandikan Iyyo dulu karena bayi laki-laki itu sangat nurut dan tidak rewel. Biasanya Iyyo akan tidur setelah mandi sebelum nanti dibangunkan untuk makan. Sedangkan Iyya adalah kebalikannya, bayi perempuan itu begitu manja dan sangat atraktif. “Iyyo jangan diem terus gitu dong, ayo senyum,” goda Zora kepada anaknya. Nyatanya Iyyo hanya menoleh sebentar kemudian fokus dengan air yang digunakan untuk memandikannya. Zora menarik nafas berat. Iyyo benar-benar anaknya. Bayi itu menuruni sifat dan wajahnya. “Oke selesai mandi, sekarang gilirannya kak Iyya,” ucap Zora ceria. Dia pernah mendapat wejangan dari dokter yang mengimunisasi kedua bayi itu. Bahwa Zora harus sering-sering mengajak bayi berbicara supaya nanti mudah juga saat berbicara. Setelah memakaikan baju hangat ke Iyyo kemudian membedongnya. Iyyo ditidurkan di tengah kasur dan di sampingnya diberi guling pada kanan dan kirinya supaya tidak terjatuh. Barulah Zora memandikan si manja Iyya. Setelah selesai memandikan Iyya, Arin datang memberitahu supaya dia mandi, sedangkan Iyya akan dia pakaikan baju. Zora setuju saja, karena waktu sudah menunjukkan pukul enam sore. Zora jarang mandi se sore itu karena katanya itu tidak baik untuk kesehatan. Dan Zora pun tidak tahan dingin. “Ra, habis ini makan malam. Tenang aja aku udah pesen makanan. Dan si kembar udah tidur, kamu bisa tenang makan!” “Iya mbak, mending ayo cepetan. Aku takutnya entar mereka bangun lagi,” ucap Zora. Mereka menikmati makan malam dengan lahap diselingi cerita-cerita ringan yang beredar di kantor tempat mereka bekerja. Tentu saja banyak gosip yang mereka tahu karena pekerjaan mereka. Bukan bermaksud untuk menguping supaya up to date terhadap gosip yang ada, mereka hanya tidak sengaja mendengar. “Jadi gimana ceritanya mbak bisa kenal pak Wyno?” tanya Zora setelah mereka selesai makan malam. Mereka segera pindah ke kamar tamu. Kamar yang ditempati Zora untuk beberapa hari selama dia tinggal disini. Mereka disitu untuk bercerita dan juga menjaga Iyya dan Iyyo, takutnya mereka terbangun lalu rewel. “Huft, sebenernya dia itu mantan pacar mbak waktu SMA.” Zora membulatkan matanya. Wah dia tidak menyangka jika bosnya itu sekolah di Indonesia. Padahal jika dilihat dari wajah dam postur tubuhnya Wyno adalah orang luar. Ah memang asli orang luar. “Kok bisa satu sekolah?” Zora bingung. “Dia itu dulu murid pindahan. Entah gimana ceritanya, kita bisa dekat kemudian pacaran. Dia senior mbak setahun. Setelah dia lulus, tiba-tiba saja lost kontak. Mbak udah coba hubungin nggak bisa. Yaudah mbak pasrah aja. Setelah beberapa tahun, barulah mbak ketemu dan dia udah jadi CEO.” Mendengar cerita itu, dia bisa menyimpulkan kalau bos di kantornya itu masih mencintai Arin. Tapi Arin sendiri entahlah, bisa saja masih bisa saja tidak. Zora membayangkan jika dia akan seberuntung itu. Walaupun sudah berpisah lama, tapi masih tetap dicari karena hati masih menginginkan. Tapi itu hanya di angan-angan Zora saja. “Terus kalau cerita kamu? Kamu tahu siapa ayah mereka?” tanya balik Arin. Arin tau kalau dia nekat menanyakan itu. Tapi dia juga ingin tahu dan jika dia bisa dia akan membantu Zora mencari pria itu. Sungguh tidak bermoral sekali, sudah mabuk, lalu memperkosa anak orang. Tapi tidak mencarinya. “Aku nggak tahu mbak. Aku nggak kenal. Udahlah mbak, aku mau tidur.” Zora tahu dia tidak sopan dan nada bicaranya terlalu sinis kepada Arin. Tapi dia hanya tidak ingin jika masalah itu diungkit-ungkit. Zora seperti kembali ke masa itu. Saat dimana dia tidak dipercaya oleh keluarganya sendiri. Dan harus menjadi gelandangan tanpa ada yang berbelas kasihan sedikitpun. Zora hanya ingin tidur lalu semua pemikirannya tadi terlupakan. Arin hanya bisa mengangguk lalu keluar dari kamar itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD