“Maaf, Bu. Bapak sedang ada briefing dan belum bisa diganggu.” Peringatan dari asisten Elvano, suaminya, membuat Azkia tertegun.
Azkia melirik arloji di tangan kirinya. Waktu istirahat dan makan siang sudah tiba, tetapi suaminya masih betah memberi pengarahan pada karyawan. Akhirnya Azkia memutuskan untuk menunggu di ruang tunggu khusus tamu. Jarum jam terus berputar sampai tiga puluh menit berlalu. Tidak sabar, Azkia kembali mendatangi meja si asisten.
“Belum selesai juga? Berapa karyawan yang mengikuti briefing?”
Si asisten menatap Azkia selama sesaat, lalu menunduk, dan kembali menatap Azkia lagi. Wanita yang mengenakan setelan blazer abu-abu itu tampak gugup sampai akhirnya menjawab dengan tergegap-gegap, “Mm-a-ada, ada—”
“Ada berapa orang, Bu Fenty?” potong Azkia.
Asisten bernama Fenty itu tidak lagi menjawab dan malah menunduk. Kesabaran Azkia yang kian menipis berujung habis. Tidak lagi memedulikan peringatan si asisten, Azkia nekat menerobos masuk ke dalam ruang kerja sang CEO. Sayangnya, Azkia dikejutkan oleh pemandangan yang luar biasa mengerikan setelah tiba di sana. Niatnya untuk berdamai dengan Elvano setelah pertengkaran mereka semalam, justru membuat wanita berusia 25 tahun itu ingin bertengkar lagi dengannya. Seandainya tidak ada hukum di negeri ini, Azkia ingin sekali mencekik Elvano sampai mati.
Azkia mendapati Elvano tengah mengumbar hasrat liarnya bersama seorang wanita. Tidak tanggung-tanggung, mereka melakukannya di atas meja kerja Elvano. Gerakan si wanita tampak begitu agresif sementara si pria curang menyerangnya secara masif. Hanya ketika Azkia tidak tahan untuk menjerit, desahan dan geraman yang memenuhi ruang kerja itu berhenti secara otomatis.
“Jadi seperti ini briefing-nya?” sindir Azkia dengan suara nyaris bergetar. Azkia kemudian menatap wajah si wanita yang masih duduk di atas meja kerja dengan rok tersingkap. Rasa sakit seketika menghujam dadanya. “Saya pikir kamu teman saya, Zoy. Ternyata kamu musuh dalam selimut.”
“Jangan menyalahkan Zoya!” bentak Elvano.
Azkia tersentak mendengar pembelaan Elvano terhadap Zoya. Selama beberapa detik Azkia merasakan harga dirinya jatuh dan remuk di hadapan sang pelakor. Alih-alih meminta maaf, suaminya justru terang-terangan merendahkan martabatnya sebagai seorang istri. Meskipun berusaha kuat untuk tidak menangis, tetapi air matanya lolos mengalir begitu saja.
Setelah merapikan celana dan pakaiannya, Elvano menghampiri Azkia. Tatapan tajamnya seolah-olah sedang memperingatkan wanita itu untuk tidak berbicara sembarangan lagi. Dia kemudian mencengkeram lengan Azkia erat-erat hingga Azkia merasa kesakitan.
“Mau apa kamu ke sini?” tanyanya.
“Van, lepaskan tangan kamu.” Azkia memilih berusaha melepaskan cengkeram Elvano dari lengannya daripada menjawab. Namun, hal itu malah membuat Elvano murka.
“Mau apa kamu ke sini?!” tanya Elvano sekali lagi dengan nada tinggi.
“Saya mau bertemu dan bicara sama kamu,” jawab Azkia disertai isak tangis. “Apa saya tidak boleh melakukan hal ini?” lanjutnya.
“Tidak.”
Penegasan Elvano menyayat hati Azkia dan sekaligus membekukan seluruh saraf di mulutnya. Begitu banyak sumpah serapah yang ingin dilontarkan Azkia kepada Elvano, tetapi semua tertahan oleh sengatan rasa sakit.
“Saya sudah bilang sama kamu untuk tidak pernah datang ke kantor saya. Masih ingat?” imbuh Elvano dengan nada menekan dan penuh intimidasi.
“Supaya kamu bisa bebas berselingkuh dengan teman saya sendiri? Begitu kan mau kamu?”
Elvano tersenyum sinis. “Apa bedanya dengan kamu? Kamu juga merayu laki-laki dengan konten-kontenmu itu? Mungkin di belakang saya, kamu juga berselingkuh.”
“Saya seorang beauty vlogger. Saya hanya berbagi pengetahuan tentang make up kepada pengikut-pengikut saya. Saya tidak berniat sedikit pun untuk merayu laki-laki dengan konten-konten yang saya buat, apalagi menjadikan hal itu sebagai jalan untuk berselingkuh,” tandas Azkia.
“Awalnya membuat konten kecantikan.” Tiba-tiba saja Zoya ikut menyumbang tuduhan. Wanita berambut cokelat hasil kreasi hairdo itu berjalan dengan angkuh ke samping Elvano dan memandang Azkia dengan pandangan merendahkan. “Lama-lama, open BO. Jangan-jangan, selama ini kamu sudah melakukannya? Who knows, suamimu kan sibuk kerja,” tambahnya.
“Tutup mulut kamu, Zoya!” bentak Azkia, “perempuan macam WC Umum kayak kamu tidak pantas untuk mengomentari hidup saya. Kamu juga tidak perlu menjelaskan kesibukan suami saya karena saya sudah tahu. Suami saya bukan sibuk kerja, tapi sibuk kebelet buang air kecil di WC Umum.”
Plaaak! Tamparan Elvano mendarat di pipi seputih pualam Azkia. Selama sedetik Azkia merasa apa yang dilakukan Elvano kepadanya hanyalah sebuah ilusi. Namun, rasa terbakar di pipinya menyadarkan Azkia bahwa reaksi impulsif suaminya adalah benar dan nyata.
“Sialan kamu, Van!” umpatan terlontar deras dari mulut Azkia. Berusaha untuk tidak bersikap barbar dan menjaga etika, kenyataannya Elvano dan Zoya tidak pantas untuk diperlakukan lebih baik. Mereka berdua seperti sepasang ular kobra yang siap menyemburkan bisa kapan saja. “Kamu tega memukul saya demi pel*c*r licik ini!” sergah Azkia sambil menunjuk wajah Zoya.
“Diam kamu!” hardik Elvano, “kalau kamu tidak bisa diam, saya akan meminta satpam untuk menyeret kamu keluar dari sini!”
“Panggil saja. Saya tidak keberatan dikeluarkan dari sini oleh satpam.” Alih-alih merasa takut, Azkia justru menantang balik.
Elvano mengeraskan rahang. Dia menatap Azkia dengan tatapan berapi-api. Elvano kemudian menarik tangan Azkia dan membawanya ke luar dari sana. Tidak memedulikan banyak pasang mata memandang, Elvano terus menarik tangan Azkia dengan kasar. Azkia bahkan nyaris terjatuh beberapa kali sebelum mereka mencapai pelataran parkir. Entah apa yang ada di kepala Elvano, siang itu Elvano berhasil mempermalukan Azkia di depan Zoya dan seluruh staf perusahaan yang dikelolanya.
Sampai tiba di rumah keluarga Ghaus, baik Azkia maupun Elvano masih mengunci mulut mereka masing-masing. Namun, ekspresi diam dan bermusuhan keduanya tertangkap oleh Shumay, ibunya Elvano. Wanita baya yang sehari-hari selalu berpenampilan glamor itu menahan langkah keduanya ketika mereka melintas di ruang keluarga.
“Kalian kenapa?” tanyanya.
Azkia menggeleng berusaha menyembunyikan duka di hatinya. Dia pikir percuma saja menceritakan kecurangan Elvano kalau ujung-ujungnya Elvano yang selalu benar. Shumay memang tidak pernah menyetujui pernikahan Azkia dan Elvano. Wanita itu mau menerima Azkia sebagai menantu hanya karena desakan suaminya dan tekanan publik. Seandainya saat itu Elvano terbukti tidak bersalah, mungkin pernikahan Azkia dan Elvano tidak akan pernah terjadi. Karena demi apa pun, Shumay paling anti berhubungan dengan “rakyat jelata” seperti Azkia dan keluarganya.
“Van, ada apa?” Tidak berhasil membuat Azkia buka mulut, Shumay menginterogasi putranya.
“Mama tanyakan saja kepadanya.” Elvano menjawab sambil melirik Azkia.
Shumay menggeleng-gelengkan kepala sambil menatap merendahkan pada Azkia. “Mama sudah bilang sejak awal pernikahan kalian, kalian itu tidak cocok. Istrimu ini hanya ingin memanfaatkan kamu. Terbukti, ‘kan? Sekarang dia gemar mencari masalah.” Sarkasme Shumay meluncur bebas tanpa saringan.
“Saya tidak mencari masalah, Ma,” bantah Azkia membela diri. “Vano yang bermasalah. Dia berselingkuh dengan teman saya dan saya memergokinya sendiri.”
Shumay mengalihkan pandangan pada Elvano. “Benar itu, Van?”
Tanpa beban dan tanpa rasa bersalah, Elvano mengangguk mengiakan.
Dasar pria tidak punya hati! Azkia menahan rasa kesal dan kecewa dengan diam.
“Bagus kalau dia selingkuh. Kamu bisa minta cerai dari anak saya,” cetus Shumay sambil memperlihatkan raut wajah semringahnya pada Azkia.
Azkia mengembus napas lega. Memang seperti itulah rencananya. Hampir dua tahun menjalani masa pernikahan dengan Elvano, hari-hari Azkia terasa bagai di neraka.