Behind The Scene With Arrogant Chef | 3

2207 Words
*** Pak Viktor berhenti tepat di ruangan yang bertuliskan room owner. Ia menarik napasnya dalam sebelum mengeluarkannya secara perlahan. Pun, Manda melakukan hal yang sama. Ia paham permasalahannya tidak main-main mengingat yang mereka hadapi sekarang adalah pemilik hotel. Pak Viktor mengetuk pintu kemudian membukanya setelah mendengar seruan dari dalam ruangan. Manda mengepalkan telapak tangannya saat melihat Chef Arfa duduk tenang di sofa. Gara-gara laki-laki itu ia dan atasannya ada di sini. "Selamat sore Pak Bram," Pak Viktor menyapa Pak Bram dengan penuh hormat. Manda mengikuti dengan menunduk hormat. "Selamat sore Chef Arfa," kali ini Manda tidak mengikuti jejak Pak Viktor. Ia enggan menyapa biang kerok yang menurutnya sangat lebay karena membawa masalah sederhana ini ke owner langsung. Entah apa yang dikatakan Chef Arfa sehingga ia dan Pak Viktor dipanggil ke ruangan ini. Owner hotel terlihat kesal. Wajah datarnya semakin dingin ketika mata itu menatap Manda. "Langsung saja. Pak Viktor saya sangat kecewa dengan team anda kali ini. Saya sudah mendengar kronologi secara lengkap dari Chef Arfa. Saya menilai kalau karyawan anda sudah keterlaluan." Ucapan owner hotel semakin membuat Manda membenci Arfa. Manda sangat penasaran apa yang telah Arfa katakan pada owner hotel. "Saya mohon maaf sebelumnya Pak Bram. Tapi boleh saya minta waktu sedikit agar Manda bisa menjelaskan secara rinci menurut pandangannya," wajah Pak Bram berubah seketika. Melihat itu Pak Viktor buru-buru menambahkan, "bukan maksud saya tidak mempercayai Chef Arfa tetapi saya yakin Pak Bram pasti setuju untuk mendengarkan Manda juga." Manda terharu mendengar atasannya itu membelanya. Pak Bram menatap Manda. Kemudian ia menatap Arfa. "Apa yang dikatakan Pak Viktor itu benar kek, tapi di sini saya adalah korban. Mungkin saja sebelumnya Manda suka berprilaku kurang sopan kepada orang lain ketika saya belum ada di sini. Kebetulan saja kek kemarin Manda bertemu dengan saya." Penjelasan Arfa membuat kening Pak Bram berkerut. Setelah itu ia menganggukan kepalanya. "Tapi saya sudah minta maaf Pak Bram. Chef Arfa yang keterlaluan dan lebay!" Celetukan Manda membuat Pak Viktor melotot. Dia mengintrupsi Manda untuk tetap diam. Chef Arfa tersenyum miring. "Lihat Kek! Di depan kakek saja dia berani bicara begitu. Saya mohon kakek berikan keadilan untuk Arfa." Manda menganga mendengar itu. "Tapi saya nggak salah!" Manda kesal dan suaranya meninggi. Semua yang ada di ruangan itu terkesiap. Manda tahu ia sudah keterlaluan. Tapi dirinya ingin membela diri. "Saya.. " "Cukup!" itu suara Pak Bram. "Mulai hari ini kamu dipecat!" Manda merasa dunianya hancur. Ia memang berniat mengundurkan diri hari ini tapi bukan pergi karena dipecat. "Saya Benar-benar kecewa Pak Viktor. Anda tidak bisa mendisiplinkan karyawannya. Selain karena kinerja kalian beberapa bulan terakhir ini minus sekali, saya rasa team ini lebih baik dibubarkan saja." Pak Viktor terkejut mendengar itu. Pun, Manda merasakan hal yang sama. Manda ingin menangis. Ia tidak menyangka kejadian tadi siang berujung seperti ini. "Kakek tunggu dulu, ini bisa dibicarakan. Arfa setuju kalau Manda dipecat tapi untuk membubarkan teamnya Pak Viktor rasanya tidak adil terhadap karyawan yang lain kek." Ucap Arfa mencegah keputusan Pak Bram. Tapi Pak Bram menggeleng. "Silakan keluar!" perintah Pak Bram. Manda dan Pak Viktor tidak bisa melakukan apa-apa. Mereka melangkah menuju pintu setelah mendengar perintah itu. "Kakek.." kaki Manda melangkah pelan saat mendengar Arfa memanggil Pak Bram. "Kamu juga keluar Arfa!" Manda menghela napasnya dengan lesu. Semua ini gara-gara Chef arogan itu. Manda membenci Chef Arfa selamanya. Manda mengejar Pak Viktor. "Maafin saya Pak," ucap Manda sambil menyeka air matanya. Ia terluka. Ini semua karenanya. "Bukan salah kamu sepenuhnya Manda. Kinerja kita akhir-akhir ini memang di bawah target bahkan sangat minus. Mungkin yang lain juga sudah mulai lelah." Balas Pak Viktor sambil tersenyum. "Kamu tidak perlu mengatakan apapun kepada team. Biar Bapak yang urus ini. Kamu pulang saja." Tangis Manda benar-benar pecah ketika matanya tidak lagi melihat punggung Pak Viktor yang menjauh. Manda menyesal. Kenapa tadi siang dirinya harus bertemu Chef Arfa. Kenapa dari sekian banyaknya orang yang ada di sini, dirinya yang harus berurusan dengan Chef arogan itu. Rencana Manda berantakan hanya karena sikap kekanakan Chef Arfa yang melaporkan bahkan memfitnah Manda kepada owner. Manda menghapus jejak air matanya. Ia tidak boleh menyerah. Ia harus bertemu dengan owner lagi. Dia akan menjelaskan semuanya meskipun owner tidak ingin mendengarnya. Manda melangkahkan kakinya ke arah parkir khusus. Ia menunggu dan menunggu hingga owner hotel muncul dari lift. Manda ingin berlari tapi seseorang menariknya dari belekang. Manda terkesiap. Ia menolehkan kepalanya dan melihat Arfa di sana. Emosi Manda meningkat. Ia benici Arfa. Kenapa orang ini muncul dihadapannya lagi? "Lepasin tangan gue!" suara Manda terdengar mengerikan. Arfa berdecak, "lo pikir lo mau apa huh? Mau ketemu owner? Jangan gila! Lo bisa nambahin masalah untuk team lo dan teman-teman lo!" Manda terdiam. Matanya menyipit. Manda tidak suka melihat Arfa seakan peduli terhadap teamnya. "Lepasin gue atau lo akan tau akibatnya!" Manda mengancam. Arfa tersenyum meremehkan. "Lo pikir gue takut?" "Lo jangan begok deh! Kalau lo nekad nemuin Kakek, gue bisa jamin team lo bakalan bubar." Ucap Arfa. Manda kesal setengah mati. Arfa tidak merasa bersalah padahal semua ini karena ulahnya. Manda menghempaskan tangannya sampai terlepas dari cengkraman Arfa. "Ini semua gara-gara lo!" ujarnya. Mata Manda memanas. Ia benar-benar merasa rapuh. Air matanya sudah lama sekali tidak keluar. Tapi kali ini Manda merasa bersalah. Kalau saja ia tidak berselisih dengan Arfa maka mungkin temanya tidak akan terancam bubar. Manda kebingungan. Satu demi satu tetes air matanya berjatuhan. Arfa berdecak kesal. "Drama!" katanya. Manda menatap Arfa tajam. Bagaimana mungkin Arfa menuduhnya drama padahal masalah ini sangat serius. Ini menyangkut teman-temannya. "Lo pikir ini main-main? Lo udah mempertaruhkan hidup teman-teman gue! Kami di sini bertahan demi sesuap nasi. Tapi lo malah dengan mudahnya mau ancurin harapan teman-teman gue." Manda mengambil amplop putih yang ada di dalam tasnya. Ia merobek amplop itu. "Ini!" tunjuknya. "Ini surat resign yang udah gue siapin dan mau gue kasih ke atasan gue hari ini. Tadinya gue mau pergi baik-baik. Gue mau perpisahan yang manis tapi semuanya kacau hanya karena kecerobohan gue yang nggak sengaja nabrak lo!" "Lo itu manusia yang paling kekanakan yang pernah gue temuin! Gue benci sama lo!" Manda berbalik. Tapi dengan kurang ajarnya Arfa kembali menarik Manda. Sesuatu terjadi. Manda terdiam. Jantungnya berdetak dua kali lipat lebih cepat saat ada benda kenyal yang menempel di atas bibirnya. Saat itu juga semua seakan berhenti. Manda tidak lagi merasakan kakinya berpijak pada bumi. Ia seperti melayang bersama keterkejutan yang semakin jauh. Keterdiaman Manda dimanfaatkan Arfa untuk melumat bibir gadis itu. Ia cecap bibir itu semakin dalam. Rasanya sungguh berbeda. Arfa merasa seperti tertarik untuk terus mencoba. Tapi saat Arfa ingin memperdalam ciumannya, Manda mendorong Arfa sekuat tenaga hingga Arfa terjungkal ke belakang. "I Hate You!" kecam Manda sambil mengusap bibirnya kuat-kuat seakan semua itu mampu merubah apa yang telah terjadi. Arfa terkekeh. "Manis juga," komentarnya. Manda berdecih. Ia benar-benar membenci Arfa. "Lo jangan pernah muncul dihadapan gue lagi." Ucap Manda tegas. "Gue yakin lo yang bakal nyari gue Kamanda karena hanya gue yang bisa bantu lo untuk mempertahankan BTS." Manda tidak tertarik. Ia tidak peduli dengan apapun yang Arfa katakan. Manda melangkah mundur sebelum berlari meninggalkan Arfa. Sia-sia Manda datang ke parkiran ini karena deru mobil Pak Bram sudah lama meninggalkan area ini. Manda pulang dengan perasaan lesu. Meskipun pak Viktor memintanya untuk segera pulang ke rumah namun Manda tidak melakukan itu. Manda memilih mampir ke kedai ice cream paforitnya yaitu kedai ice cream Bunda Lita yang kini dikelola oleh anaknya bernama Dilla. Dilla ini adalah sahabat Manda sejak ia merantau ke ibu kota. Manda memang memiliki sifat tertutun dan jarang memiliki sahabat dekat tetapi dengan Dilla ia bisa berbagi semuanya. Dilla adalah sosok yang selalu dapat Manda andalkan saat dirinya pelik. Dilla adalah tempatnya berkeluh kesah. Begitu pula bagi Dilla. Kamanda adalah sahabatnya. Perkenalan mereka dua tahun yang lalu memupuk rasa percaya satu dengan yang lain. Perlahan keduanya saling mengenal sifat dan sikap masing-masing. "Kenapa lagi kali ini?" tanya Dilla sambil membawa semangkuk ice cream untuk Manda. Dilla terlalu mengenal Manda. Jika sahabatnya itu sudah menekuk wajah dengan tampang yang tidak enak dilihat maka pasti telah terjadi sesuatu. "Seseorang sangat mengganggu!" jawab Manda dengan kesal. Ia menerima ice cream rasa vanila kesukaannya itu dari Dilla. Manda menyendok ice creamnya dengan kesal. Ia mengingat semua perlakuan Arfa padanya. Astaga!!!! Bagaimana mungkin ada manusia selicik Arfa?? Kenapa pula Manda yang harus bertemu dengannya?? Padahal mengingat banyak sekali fans si Chef arogan itu, pasti banyak yang bersedia ditabrak atau dilabrak olehnya. Apa lagi dicium segala. Manda menepuk bibirnya dengan kesal karena mengingat kelakuan kurang ajar Arfa tadi sore. "Kenapa sama bibir lo?" selidik Dilla sambil mengangkat alisnya. Kedua tangannya ia lipat di depan d**a. Persis gestur tubuh seseorang yang sedang merasa curiga. Apa lagi yang Manda lakukan selanjutnya adalah bersikap pura-pura tidak mendengar. Hal itu membuat Dilla semakin curiga. "Abis dicium siapa lo?" tanyanya to the point. Manda salah tingkah. Kekehan Dilla membuatnya kesal. Sungguh demi apapun Manda tidak menyukai bagian Arfa menciumnya. Kalau bisa diulang Manda lebih memilih menendang Arfa tepat oada selangkangannya saja agar chef sombong itu merasakan kesakitan yang tiada tara. Biar tau rasa! "Kamanda??" karena tidak ada reaksi lagi dari sahabatnya itu, Dilla melambaikan tangannya di depan Manda. Manda mengerjapkan matanya. Senyum jahil muncul pada bibir gadis berambut sebahu itu setelah melihat reaksi Manda yang sedang melamun. "Siapa pelakunya?" Dilla menggoda Manda yang masih saja bengong. "Ganteng nggak???" tanyanya lagi. Karena kesal dengan pertanyaan Dilla, Manda mendengkus dan membuang wajahnya ke samping. Jangankan ganteng, etitude aja Arfa tidak punya. Pikir Manda. Tapi, kalau diingat-ingat lagi, chef Arfa memang ganteng. "Kayaknya sih ganteng. Lo aja kesengsem gitu," ucapan Dilla menyadarkan Manda dari pikiran melanturnya. Memangnya kenapa kalau Arfa ganteng?? Tidak mempengaruhi penilaian Manda sama sekali. Bagi Manda, Arfa adalah setan yang tersesat, dan sialnya ia yang menjadi korban si setan itu. Awas saja kalau dia juga menjadi penggoda bagi iman Manda yang lemah ini. Manda tidak ingin membayangkan semua itu. Bagaimanapun juga Arfa adalah musuhnya. Musuh itu untuk diperangi bukan disayangi. "Nggak ada ganteng-gantengan! Dia setan!" ujar Manda. Dilla menganggukan kepalanya sambil membentuk mulutnya menjadi huruf 'o'. "Jadi benar lo barusan di sosor sama cowok?" telunjuk Dila berada di depan Manda. "Jangan bilang itu Dafa??" bola mata Dilla membesar. Ia memang mengenal Dafa dari Manda. Manda sampai memundurkan tubuhnya, "ihhh Dilla!!!! Tolong kondisikan telunjuk lentik lo ini," ucapnya. Dilla terkekeh, "ayo ceritakan dengan detail kejadian yang bikin lo kesel setengah mati ini," Pada akhirnya Kamanda menceritakan kejadian hari ini kepada Dilla. Jika tadi Dilla sibuk membayangkan seberapa gantengnya chef bernama Arfa yang Manda ceritakan, kini Dilla sibuk membayangkan betapa menyebalkannya sifat yang dimiliki oleh chef Arfa ini. Kalau nanti ia bertemu denga chef Arfa, Dilla berjanji akan menepuk kepalanya atau sekalian menghajar selangkangannya. "Nadilla Hagif???" panggil Manda. "Dillaaaaaa?? Hallooo??" Manda sudah berteriak untuk kedua kalinya. Dilla pintar sekali mengatainya tukang melamun, padahal mereka sama saja. Kalau sudah memikirkan sesuatu, orang disekitar akan terabaikan dan terlupakan. "Bengong aja terus," sindir Manda saat Dilla sudah kembali dari rencana panjang dalam otak pintarnya itu. Ck. Dilla ini kelihatannya saja anggun dan dewasa, tapi sebenarnya otaknya sama saja dengan Manda. Dilla menampakan gigi putihnya. Ia merasa malu karena Manda memorgoki dirinya yang sedang bengong. Padahalkan kebengongannya ini demi kebaikan Manda juga. "Jadi apa rencana lo?" tanya Dilla. Manda mendesah lemah, ia tidak tahu apa yang harus dirinya lakukan. Arfa terlalu licik. Lihat saja, belum apa-apa saja Arfa sudah berani mencuri satu ciuman dari bibirnya. Itu juga yang membuat Manda takut melawan Arfa. Dia tidak suka berurusan dengan Arfa lagi tetapi bagaimana kalau ternyata tidak ada yang bisa dirinya lakukan selain menemui setan Arfa?? "Gue nggak mau lagi berurusan sama orang itu!" Dilla mengerti. Kelakuan Arfa yang telah berani mencuri ciuman dari bibir Manda pasti membuat sahabatnya itu merasa ketakutan. Sebagai sahabat dekat, Dilla tahu persis masa lalu Manda. Setelah bertahun lamanya, tiba-tiba Arfa melakukan itu pada Manda. Pasti Manda sangat terkejut. "Lo pulang aja ke rumah mama lo, Manda. Lupain semuanya," usul Dilla. Inginnya Manda juga begitu tapi kalau sampai Behind The Scene bubar gara-gara dirinya, Manda pasti tidak akan pernah bisa hidup tenang. Manda menggelengkan kepalanya. Dia tidak bisa meninggalkan teamnya begitu saja dengan masalah yang telah dirinya sebabkan. "Gue nggak bisa pergi gitu aja, Dil. Lo tau kan gimana sifat gue?" ucap Manda. "Iya ya, lo itu bertanggung jawab," jelas Dilla. Gadis pemilik kedai ice cream itu ikut mendesah lelah. Sepertinya masalah Manda tidak main-main. Ini menyangkut tentang teman-temannya. Dilla merasa kasihan pada Manda. Coba saja Manda menerima tawarannya untuk bekerja di kedai ini, masalah seperti ini tidak akan terjadi. Tetapi sudah terlanjur. Dilla tidak bisa menyalahkan keputusan Manda. Ia hanya bisa mendukung Manda dengan sepenuh tenaga. Itupun kalau memang Manda membutuhkan tenaganya. Manda ini kan senang sekali memikul beban seorang diri. Dilla sangat yakin sepulangnya Manda dari tempat ini, rasa bersalah yang menggunung pasti membuatnya tidak bisa tidur dan gelisah. "Nginap di rumah gue aja," putus Dilla. Manda ingin protes tapi Dilla tidak menerima alasan apapun. Apa lagi tentang pakaian, milik Manda sudah banyak di rumah Dilla. Jadi mau tak mau Manda mengiyakan ajakan Dilla. Padahal ia sudah merencanakan ingin menangisi nasibnya. B e r s a m b u n g. Jangan lupa tekan LOVE ya terima kasih :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD