Dua

2329 Words
Oji merangkul bahu Aksa. “Lu harus buktiin dulu kebenaran surat itu.” Aksa mendengkus. “Semalam gue mimpi lagi.”  “Mimpi itu lagi?”  Oji mendaratkan b****g di sebelah Aksa. “Itu cuma mimpi. Dan itu terjadi karena lu mikirin hal itu terus.” Aksa menarik napas. Dia setuju dengan perkataan sahabatnya itu.  “Jangan bilang elu kebelet kawin, gara-gara si Dara udah hamil  anak Indra.” Aksa kembali mendengkus. “Kenapa harus bawa-bawa Dara sih? Nggak ada hubungannya.” Oji terkekeh. Aksa menatap layar ponsel yang disenyapkan karena terus mendapat telepon dari Alika.  Oji mencebik. “Angkat, Man!” “Dia tuh lebih ribet dari Nayna, tau nggak!” Aksa menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan Alika.  [Halo, Bang.] “Ya.” [Nanti jemput aku, ya. Jam tiga sore. mmm jangan sampai telat.] “Ya.” Aksa menutup panggilan itu. “Kan lu liat, Ji?” “Kok dia kayak yang manfaatin elu, ya?” Aksa mengangguk-angguk setuju. “Padahal kita kenal baru sebulan.” Aksa menyeruput kopinya. “Minggu kemarin aja, dia pengen belanja, banyak benget beuh, ampe limit.” Aksa menekan puntung rokok ke asbak.  Oji menggelengkan kepala. Asap abu-abu itu membumbung di udara. Keluar dari mulut Oji seperti api yang keluar dari mulut naga. “Gue akan bantuin lu cari tahu siapa Alika.” “Tapi, Ji. Percuma sih. Gue tanya apa, dia jawab apa,” dengkus Aksa.  Oji tertawa. Dia tahu Aksa memang sibuk dengan pekerjaan yang hampir tiap hari menyiapkan keperluan untuk menayangkan berita terbaru. “Gue yang akan cari tahu tentang keluarganya.” “Thanks, ya,” ucap Aksa usai menyeruput kopinya.  *** Mobil Aksa berhenti di depan kampus Alika. Dia mengetuk-ngetukan jari ke setir mobil. Sesekali melirik ke luar menunggu Alika tak kunjung datang.  “Aku tuh disangka simpanan om-om,” ucap Alika mengejutkan Aksa.  “Terus?” Aksa tak berempati. Dia memutar setir. “Masa iya.” Alika berbalik memperhatikan Aksa. Aksa hanya mengangguk. Dia tidak keberatan jika di sebut om-om, tapi untuk sekelas dia? Menyimpan Alika? Tiba-tiba Aksa tertawa renyah. “Ya kali … om-om juga mikir, mau simpan perempuan seperti apa.”  “Jadi, menurut abang aku nggak pantes jadi simpanan om-om?” dengkus Alika sembari melipat kedua tangan di d**a. Aksa menggelengkan kepala. Sembari tersenyum miring. Dia tak mengerti apa isi otak Alika.  “Jalan!” rengek Alika.  “Ke rumah, ‘kan?” “Nggak.” Alika menggelengkan kepala. “Kenapa?” Aksa tetap fokus pada kemudinya.  “Nggak mau, katanya abang mau kenalin aku ke orang tuanya. Jadi, kapan wasiat itu dilaksanakan?” Aksa menarik napas. “Beri aku waktu dua minggu lagi.”  “Lama. Ini udah sebulan.” Alika mengerucutkan bibirnya.  “Kamu beneran nggak punya keluarga lagi?” tanya Aksa tiba-tiba.  Alika menoleh. “Mmmm.” Hanya itu yang Aksa dengar dari mulutnya.  “Kok nggak dijawab?”  “Nanti juga abang tahu.” “Sekarang. Kalau iya-iya. Kalau nggak, ya nggak. Apa susahnya ketimbang jawab gitu doang.” Aksa berhenti di lampu merah.  Awan hitam bergumul menutupi kecerahan langit. Kilat petir menyambar bersahut dengan angin yang riuh.  Aksa menoleh menanti jawaban Alika.  Alika hanya diam seolah tak terjadi apa-apa. “Kok liat akunya gitu banget sih?” Sudah Aksa duga. Alika pintar berkilah. “Kenapa kamu mau terima aku semudah itu?” tanya Aksa.  “Surat wasiat ‘kan?”  Aksa menarik napas. Lampu hijau menandakan dia harus kembali melajukan mobilnya.  Tiba-tiba Alika berdehem. “Kalau aku masih punya keluarga, apa abang nggak akan ngelaksanain wasiat itu?” Aksa menoleh sekilas. “Kalau kamu masih punya keluarga, aku akan minta izin keluargamu, untuk menikahimu secepatnya.” Alika merangkul dan bersandar di bahu pria yang baru sebulan dia kenal. “Aku masih punya mama,” lirihnya.  Mendadak kaki Aksa menginjak rem, membuat Alika terkejut. “Abang mah, ngagetin, ish.” Dia memukul manja lengan Aksa. “Mama kamu sekarang di mana?” “Di Bandung. Mama nggak tahu kalau Papa udah meninggal, mereka udah lama cerai.” “Kalau gitu kita temui mamamu.” “Tapi--”  Aksa kembali melajukan mobilnya. Dia memutar arah.  “Kita mau ke mana?” “ke Bandung.” “Nggak sekarang.” “Kenapa?” “Biar aku yang ngomong sama mama dan abang jang pernah ngomongin surat wasiat itu di depan mama.” “Kenapa?” tanya Aksa lebih keras.  “Ya pokoknya nggak boleh.” Aksa tetap melajukan mobilnya menuju Bandung.  “Ini hujan, kita pasti nyampenya tengah malam. Terus mau nginep di mana? Mending kalau mama ada, kalau nggak?” Aksa menginjak rem. Dia mendengkus. “Kalau gitu aku minta alamat mama kamu.” “Iya nanti, di kasih.” “Sekarang!” Alika ini benar-benar telah membuat Aksa jengkel.  “Iya, nanti aku WA kamu.” “Sekarang!” Aksa membulatkan mata. Wajah bengisnya mengintimidasi Alika.  “Ya oke.” Alika mengacungkan ponselnya. Mengetik sesuatu lalu mengirimkannya pada Aksa. “Udah.” “Awas ya, kalau bohong.”  “Galak banget, astaga.” Alika mengelus dadanya.  Sedari tadi mereka hanya berputar-putar di jalan tanpa tujuan yang jelas.  “Anterin aku pulang ah. Nggak diajak makan, nggak diajak jajan, malah diajak muter-muter ngukurin jalan,” keluh Alika.  *** Aksa sibuk menekuri laptop. Sampai dia tidak sadar ada Nayna di sisinya.  “Ya Allah, Bang. Masih sibuk aja, udah di rumah gini, santai napa.”  “Hey. Iya nih buat besok.” Nayna mengangguk. Dia tersenyum tipis membayangkan sesuatu.  “Kenapa?” tanya Aksa. “Mesem-mesem gitu. Jatuh cinta lo?” Nayna mengangguk.  “Gue bilangin laki lo. Ayo.” Nayna tertawa. “Emang nggak boleh jatuh cinta terus sama suami sendiri?” Aksa mencebik. Apa dia harus cerita pada Nayna. Dia tahu rahasianya di tangan Nayna akan aman. “Dek.” “Hmmm.” “Gue lagi deket sama cewek.” “Wah bagus dong.” Nayna mendekatkan wajahnya, menyimak baik-baik perkataan Aksa selanjutnya. “Terus-terus?” Aksa menarik napas. Dia menceritakan awal mula bagaimana dia bisa dekat dengan Alika hingga dia memutuskan akan menikahi perempuan yang tidak dia cintai. Dan bagaimana mimpi-mimpi itu menghantui malam-malamnya.  “Sebaiknya Abang jangan terlalu percaya sama mimpi, itu karena Abang terlalu terbebani aja.” “Gue harus gimana dong?” “Cari tahu dulu itu surat benar apa nggak. Takutnya abang kena prank, atau jangan-jangan lagi di jebak.” “Siapa yang mau jebak gue? Gue nggak ada musuh,” tegas Aksa.  “Ya soal wasiat itu wajar sih, aku percaya Abang ‘kan ingin tanggung jawab karena telah bikin papa si Alika ini meninggal.” “SSSSTTTT ... pelan-pelan.” Aksa mendelik.  “Oh iya lupa.” Nayna menutup mulutnya.  “Dengerin gue baik-baik, jangan sampai laki lo tahu soal ini,” bisiknya. Nayna mengernyit. “Kenapa emang, Abang masih sahabatan, ‘kan?” goda Nayna.  Aksa membasahi tenggorokannya dengan secangkir teh yang di bawa Nayna. “Masalahnya sih nggak ada untungnya juga dia tahu.” “Ya udah.” Nayna bangkit.  “Mau kemana?” Aksa menengadahkan wajah menatap Nayna. “Abhie nangis, nggak denger emangnya?” telunjuknya menunjuk ke kamar.  “Sayang … ni Abhie pengen mimi,” teriak Gibran.  “Tuh kak Gibran udah manggil. Udah ah, ini udah malam, Bang. Jangan tidur terlalu malam, nanti mimpi horor lagi,” kelakar Nayna seraya pergi.    Aksa mengangguk. Namun, bibirnya mencebik. “Ya udah sana.” Dia tersenyum tipis, melihat Nayna dengan Gibran membangun keluarga kecilnya. Apa mungkin sesuatu yang ia bayangkan akan terjadi bersama Alika.  Aksa bergidik. Jika masih bisa memilih, Aksa ingin sekali tidak memasukan Alika ke daftar hidupnya. “Masih kerja, Bang?” Gibran menghampiri.  “Eh lo.” Aksa salah tingkah. “Iya nih.” Semenjak sahabatnya itu menikahi Nayna, Gibran memanggilnya dengan sebutan abang. “Gue tuh berasa dituakan, kalau lu manggil gue abang.” Gibran berdiri di depan Aksa dengan gelas kosong di tangannya. “Kalau gue nanyanya gini, ‘Masih kerja, Sa?” Dia terkikik. “Elu pasti, pasti banget komentar, ‘emang gue Annisa.”  Aksa tertawa. “Lu bener, gue nggak bisa lupa, Annisa itu mantan terindah gue.” Pandangan Aksa menerawang jauh sembari menggelengkan kepala.  Gibran ikut menggelengkan kepala dan berlalu dari hadapan Aksa. Sebenarnya perempuan yang selalu Aksa anggap mantan terindah itu adalah misteri baginya. Namun, tidak bagi Oji. Bagaimana tidak, belasan tahun selalu ada di hati Aksa, bahkan namanya selalu terdengar indah saat Aksa menyebutnya dengan tulus.  *** Aksa memasang dasi di depan cermin. Dia menatap lama wajah tampannya. “Man, gue tau gue jomblo. Tapi masa iya gue harus nikah dengan cara seperti ini?” “Lu yakin?” tanya Oji ragu. “Lo nggak takut nyesel?” Aksa mengenakan jasnya lalu berbalik pada Oji, “Elu kenapa sih, nggak bisa banget cari fakta tentang Alika.” “Masalahnya gue udah ngubek-ngubek tuh tempat, kagak ada yang namanya Sumarni. Gue curiga si Alika bohong tentang ibu kandungnya.” Oji bangkit. “Man, gue nggak bisa lihat lu kayak gini, cuma karena wasiat, terus mimpi-mimpi itu? Ah … Bulshit, Man!”  Mimpi yang sering datang menghantui memang tentang wasiat itu, dan Aksa merasa terganggu, hingga memutuskan untuk mengabulkannya, meski hatinya terus menolak.  Aksa menarik napas. Dia tidak tahu harus bagaimana lagi, saat ini otaknya benar-benar buntu. Belum lagi dia menunggu kepastian dari seseorang.  “Sebaiknya, saran gue--” “Stop!” Dari kemaren-kemaren saran lu nggak ada gunanya.”  “Sa.” Oji mengekorinya. “Sa.”  Aksa tersenyum tipis. Panggilan itu membuat hatinya menghangat. Dia ingat betul saat masih bersama Annisa dan orang-orang memanggil “Sa”, maka mereka akan menoleh bersamaan. Dan itu selalu ada tawa antara mereka berdua, karena sejak saat itu teman-temannya selalu menggodanya, ‘di mana ada Aksa di situ ada Annisa’, begitupun sebaliknya, sejak masih sekolah dasar mereka memang sudah saling mengenal.  Aksa sudah duduk di depan penghulu, sementara Alika duduk di sampingnya. Dia hendak menikah, tapi di hatinya ada perempuan lain.  Sahabat dan keluarga menyayangkan keputusan Aksa yang terlalu mendadak, sementara hubungannya bersama Dara yang hampir tiga tahun, malah berakhir dengan perpisahan. Setelah Nayna menikah dan punya anak, dia memang jadi sedikit jauh dengan kakaknya sehingga dia tidak begitu mengenal Alika dengan baik.  “Sudah siap?” tanya penghulu.  “Si--” “Tunggu.” Danu berjalan cepat mendekat ke arah calon pengantin. Seketika semua orang menoleh ke arahnya dengan penuh tanya. “Pernikahan ini tidak boleh terjadi.” Danu berdiri di depan mereka. “Aksa menikahi Alika karena wasiat palsu yang dia terima.” Aksa segera bangkit dari duduknya, begitupun Alika.  “Alika tahu surat itu palsu, dia menerima Aksa karena sebuah ramalan yang tidak masuk akal,” Danu menambahkan.  “Danu,” desis Alika, marah.  Danu tak menghiraukannya dia tetap melanjutkan perkataannya, “Coba Anda minta Alika untuk menunjukkan foto ayahnya, apa benar orang yang Anda tabrak adalah ayah Alika?” ujar Danu yang membuat semua orang tercengang.  “Ini apa maksudnya?” bisik Nova pada Nayna. Begitupun Aydan yang menyikut Oji untuk meminta kejelasan. Gibran tak kalah tercengang menyaksikan semua ini.  “Aku minta kamu tunjukkan foto ayah kamu,” sergah Aksa. Alika tertunduk diam.  “Sekarang!” sentak Aksa. Alika terperanjat. Dia segera berjalan ke kamarnya untuk mengambil foto ayahnya.  Aksa sudah tidak sabar menunggu Alika kembali.  Alika menganjurkan sebuah bingkai kecil pada Aksa. Sedikit ragu karena kini semua akan terbongkar. Aksa meraihnya dan tersentak karena jelas itu berbeda dengan orang yang dia maksud. Harusnya  sebelum semua ini terjadi, Aksa meminta foto ayah Alika dari dulu. Kenapa dia melupakan hal kecil padahal itu sangatlah memberi pengaruh besar.  Aksa membuang napas. “Apa alasan kamu menerima saya, padahal kamu tahu saya hanya tersesat?” Aksa mencengkram tangan Alika hingga gadis itu meringis kesakitan. “Harta, hm?” tanya Aksa lagi. Alika menggelengkan kepala.  “Ramalan bodoh itu, hm?”  Alika mengangguk cepat.  “Arrrghhhh …” Aksa mengempas lengan Alika dengan kasar. “Gue memang bego.” Dia berlalu dari hadapan orang-orang.  Nayna menghela napas lega. “Abhie, uwa nggak jadi nikah, yeeee.” Nayna bertepuk tangan pada anaknya yang baru tiga bulan yang sedang di gendong Gibran.  “Kok senang banget sih?” Gibran mengernyit.  “Firasat aku nggak enak,” gumam Nanya. Dia mengambil alih Abhie dari pangkuan ayahnya. “Sini sayang sama bunda, biar ayah nyusulin uwa, ya.”  Oji berlari mengejar Aksa, begitupun dengan Gibran. Dia butuh kejelasan dengan semua yang terjadi.  Sementara Nayna dan kedua orang tuanya pergi dari tempat itu meninggalkan Alika tanpa basa-basi.  “Abihe.” Bayi kecil itu menatap wajah keriput Aydan dengan rambut putih yang mendominasi. “Kamu nggak jadi punya uwa baru,” kekehnya.  “Semua orang kok pada senang ya. Tapi, kok mama kasihan sama Alika.” “Mama?! Harusnya mama lebih kasihan sama bang Aksa. Masa nikah sama orang yang tidak dia sayangi hanya gara-gara wasiat yang nggak jelas.”  Nova dan Aydan menatapnya tajam. “Jadi kamu sudah tahu sebelumnya?”  Nayna tersenyum kikuk. “Sudah.” “Kenapa nggak bilang?”  Nayna menggelengkan kepala dan pergi menghindari introgasi kedua orang tuanya. “Abhie haus, mau mimi, iya ‘kan Bhie?” Nayna tersenyum yang dibalas senyuman bayi gembil itu. “Tuh ‘kan.”  Aydan menggelengkan kepala. Dia mencebik dan memilih ikut menyusul Aksa.  Alika mematung melihat semua orang membubarkan diri. Orang yang dia sewa untuk menjadi walinya pun, beranjak dari duduknya. Danu telah mengacaukan rencananya. Tidak ada yang tahu selain ramalan, sudah pasti jika Alika berharap akan makmur jika menjadi istri Aksa yang kaya raya.  Danu mendekat ke arahnya. “Gimana?” tanyanya sembari menyeringai.  Alika menyipitkan mata.  “Kamu tuh pura-pura bego, pura-pura beloon biar dapat simpati, ‘kan?” Danu berdecak. Orang lagi serius ngadepin masalah, kamu malah menjadikannya keuntungan.” Danu mengangkat wajahnya. “Itu ‘kan, hm?” Plakk! Suara tamparan menggaduhkan ruangan yang sudah sepi. “Tega kamu.” “Dengar ya, aku punya banyak bukti tentang kebenaran surat wasiat itu. Jadi kamu berhenti membodohi orang lain lagi. Sekarang kamu ikut aku.” Danu menarik tangan Alika.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD